Warming up pilpres 2024 tampaknya sudah dimulai. Di beberapa group-group WhatsApp Muhammadiyah, baik itu group organisasi, amal usaha, masjid, bahkan group keluarga sudah beredar kampanye-kampanye halus yang bermaksud menggiring opini pemilih. Konten disebarkan berupa video-video pendek dengan narasi melankolis. Tentu saja genre-nya berupa identitas keagamaan.
Satu-satunya yang tampil mengenalkan diri, diharapkan, dan di gadang-gadang menjadi presiden adalah gubernur DKI Jakarta saat ini. Ia dianggap menjadi referesentasi umat Islam "kaffah" (persis Prabowo dulu yang sekarang sudah satu tim dengan Jokowi) yang tersumbat penyaluran politiknya selama 2 kali pilpres. Kandidat lain sepertinya belum mengenalkan diri atau tidak mengenalkan diri karena memang belum waktunya.
Pada pilpres 2014 dan 2019 penulis termasuk yang antusias mendukung salah satu capres, lewat debat di media sosial. Namun ketika pemikiran saat ini mulai mengalami pencerahan dalam memandang hidup, entah kenapa sekarang tidak terlalu berminat lagi berdebat seperti dulu, walaupun misinya adalah meluruskan sebaran-sebaran yang provokatif dan tidak valid. Padahal salah satu yang baru-baru ini di share adalah video ceramah Gus Baha yang juga agak membelah identitas, yang diberi caption bahwa kejayaan PDIP dan Komunisme sudah tidak bisa lagi diharapkan pada 2024. Â
Penulis tidak membahas pilpres dan calon-calon yang akan bertarung baik sekarang ataupun nanti. Namun lebih tertarik pada konten-konten yang disebar ternyata masih tidak jauh dari isu-isu seperti pada 2 pilpres yang lalu. Dan ternyata masih sangat seksi; yaitu komunisme. Itu menandakan bahwa pilpres 2024 ke depan gorengan-gorengan politik identitas masih akan menyemaraki timeline platform media sosial kita.
Narasi video Gus Baha itu mungkin berupa video yang sudah dipotong atau diedit. Berisi ulasan yang menjelaskan bahwa organisasi, perkumpulan, dan partai pertama di Indonesia itu di inisiasi oleh tokoh-tokoh pedagang Islam. Bukan kelompok lain. Kita mengenalnya dengan Sarekat Islam. Riset disertasi penulis sebenarnya di introduction mengulas dengan gamblang sejarah berdirinya Sarekat Islam dan Komunisme ini. Termasuk lahirnya organisasi-organisasi lain.
Jadi ketika ada yang bicara seolah mau menghadap-hadapkan antara Sarekat Islam dengan Komunisme rasanya menjadi rancu. Partai Komunis itu justru lahir dari rahim organisasi Islam, yaitu Sarekat Islam tadi. Pendiri Partai Komunis sebagian adalah pendiri Sarekat Islam yang semuanya juga tokoh-tokoh Islam. Itulah kenapa dalam perjalanannya, pada tubuh SI itu pecah dan terbagi menjadi dua faksi, yaitu faksi merah dan faksi putih. Faksi merah inilah yang kemudian bermetamorfosa menjadi Partai Komunis Indonesia di bawah pimpinan Semaun.
Tokoh-tokoh agama saat ini sepertinya juga agak sulit untuk membedakan antara komunis sebagai ideologi dan PKI sebagai partai. Begitu juga tuduhan pemberontakan yang diarahkan kepada PKI pada tahun 1926, 1948, dan terakhir 1965. Isu PKI sebagai dalang beberapa pemberontakan itu sebenarnya ada frame time nya. Menguat, melandai, lalu menguat kembali.Â
Starting point nya di tahun 1965 pasca G30 S, terus di 1966 saat keluarnya TAP MPRS No. 25/66, berlanjut setalah pelantikan Suharto di 1967 dan terus berjalan selama 32 tahun kekuasaan Suharto sampai 1998. Melandai pada era Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Menguat kembali pada periode kedua SBY, saat adanya pilgub DKI 2012 di mana era media sosial tengah mencapai hegemoninya, lalu pilpres 2014 dan 2019, yang calonnya adalah Joko Widodo. Sampai saat ini.
Di mana letak missing-nya? Dalam riset itu saya menyebutnya dengan struktur diskursif. Yaitu sebuah wacana yang dibuat secara terus menerus untuk membuat stempel bahwa suatu kelompok itu profan dan harus dijauhi. PKI yang diduga melakukan pemberontakan pada 1926 dan 1948 itu sejak berdiri pada 1917, baru dinyatakan terlarang pada 1966. Anehnya, selama hampir 50 tahun dari 1917-1965 tidak ada yang menggugat PKI sebagai partai terlarang. PKI malah menjadi 5 besar partai yang meraih suara terbanyak pada beberapa pemilu. Tidak ada yang berubah dari PKI, yang berubah adalah struktur diskursif yang disematkan kepadanya.
Baru kemudian pasca peristiwa G30 S pada tahun 1965 lah framing tentang PKI menjadi seperti air bah mengguncang jagat Indonesia yang dalam studi critical discourse analysis disebut dengan struktur diskursif tadi. Pada penelitian terdahulu saya juga men-citasi beberapa studi yang menjadikan ideologi komunis ini sebagai topik kajian. Terutama 2 kajian berbeda dari peneliti Barat yang memaparkan temuan dengan proposisi yang sama; bahwa pada beberapa kondisi, antara Islam dan Komunisme itu sebenarnya kompatibel. Sama-sama pernah memberontak, dan sama-sama pernah berjuang melawan Belanda.
Artinya, jika alasan pelarangan karena melakukan pemberontakan, lalu framing pemberontak itu adalah keji, profan, dan tidak dibenarkan. Sebenarnya Islam juga pernah melakukan pemberontakan pada kedaulatan negara Indonesia yang kita kenal dengan pemberontkan DI/TII yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Bahkan jika kita mengurut ke belakang pada guidence yang berpegang pada ayat-ayat Al Qur'an, beberapa ulama menyatakan bahwa Islam memang ditegakkan dengan pedang dan kekerasan.
Hal itu menandakan perjuangan menegakkan ideologi itu bisa dilakukan dengan berbagai cara; termasuk kekerasan, pemberontakan, dan juga perang. Lantas ketika ada kelompok lain menggunakan cara itu untuk mencapai tujuannya, kita keberatan. Padahal pada beberapa kesempatan, kelompok kita juga menggunakan cara yang sama untuk menegakkan ideologi tersebut.
Point-nya sederhana. Pilpres adalah peristiwa politik. Yaitu ketika sekelompok orang bersiasat ingin meraih kekuasaan. Di ujung kekuasaan itu hanya ada; uang. Itulah sebenarnya yang dikejar oleh sekelompok orang tadi.
Dukung mendukung sah-sah saja. Tapi cobalah berkaca bahwa tidak ada politik dan orang-orang politik itu memperjuangkan ideologinya selain uang dan kekuasaan. Ketika mereka terpilih kita bermimpi mereka akan menegakkan syari'at, agama, identitas, atau ideologi kita. Sebenarnya tidak. Justru struktur diskursif yang terus menerus kita buat, bahwa kelompok sini benar, dan yang sana salah itulah yang menjadi halangan mimpi tadi susah terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H