Seringkali kita menamakan aktifitas membaca Al Qur'an itu dengan sebutan; "mengaji". Padahal dari segi tata bahasa mengaji itu sinonimnya adalah mengkaji. Artinya menelaah apa yang dibaca, kemudian memahaminya. Artinya ada dialektika di sana.
Rata-rata kita tidak berada dalam tahap mengkaji Al Qur'an. Dalam pandangan saya, aktifitas tersebut hanyalah; melafalkan saja. Di level yang lebih konkrit, itu sekedar membunyikan huruf dengan aturan tajwid dan makhraj.
Narasi ini sama sekali bukan bermaksud mengkritisi aktifitasnya. Apalagi, aktifitas tersebut tetap baik dan mendapatkan ganjaran pahala (Muhammad Alawy, Al Qawaidatul Asasiyah: 9-10). Hanya penamaannya saja yang kurang relevan dengan realitas aktifitasnya. Baik mengaji ataupun membaca.
Melafalkan dan Mengaji
Seorang teman yang studinya khusus mengkaji ilmu tafsir Al Qur'an pernah berseloroh. Bahwa dalam tahapan kita saat ini, termasuk yang dilakukan di ruang terbuka (jalan & trotoar). Al Qur'an itu dalam tahapan "membaca" pun kita belum sampai ke sana, katanya. Teman tadi menganggap aktifitas itu sekedar merapal saja. Karena kalo membaca, setidaknya unsur memahaminya masih ada. Jika melapal dan  sekedar membunyikan huruf, jujur saja rata-rata pelafal tidak memahami isinya, lanjut teman tadi.
Di atas tingkatan menghafal, memang membaca. Sayangnya dalam indeks penilaian literasi kognitif dunia yang menggunakan sistim HOTS (Higher Order Thinkinhlg Skill) . Menghafal itu adalah level terendah setelah mengevaluasi, menganalisis, lalu mengkreasi. Sementara kurikulum pelajaran di sekolah kita hampir mayoritas mengarahkan siswa kepada tugas menghafal. Hal inilah mungkin, yang mengakibatkan kemampuan menalar dan menganalisis siswa Indonesia menjadi sangat rendah.
Dalam pemeringkatan PISA (Programe for International Student Assesment) 2015, yang diikuti oleh 540 ribu siswa dari 70 negara, siswa Indonesia menduduki peringkat 62 untuk sains, 61 untuk membaca, dan 63 untuk matematika. Pada tahun 2018 untuk nilai membaca malah turun. Yaitu berada di urutan 72 dari 78 negara peserta.
Sepertinya inilah dampak hal tersebut. Berapa orang dari kita yang melafalkan tapi mengerti artinya? Pertama, karena bahasa Al Qur'an adalah bahasa Arab. Kedua, jika ada terjemahannya kita juga harus tahu tafsirnya. Lalu ujung mengkaji tadi tentu saja mendapatkan pemahaman dari keseluruhan isinya. Kemudian mengimplementasikannya.
Jadi, jika mengingat rumitnya tahapan di atas, rasanya hanya orang tertentu (sebagian kecil) yang disebut mengaji/mengkaji Al Qur'an. Sebagian besar sekedar membunyikan hurufnya saja, dengan mem-branding jumlah jus yang sudah dilafalkan.
Dalam dunia akademik, sarjana-sarjana yang mengkaji isi Al Qur'an pasti kritis dan menemukan beberapa problem dalam setiap kajiannya. Kenapa begitu? Karena mengkaji tentu saja levelnya sudah memahami. Klausul kajian akademis syarat utamanya adalah menemukan fenomena atau masalah. Masalah ini dirumuskan, lalu dikemukakan dengan analisa mendalam.
Jika ada yang berpikir Al Quran itu tidak memiliki problem dan tidak bisa di otak atik pemaknaannya, terima saja apa adanya, tentu tidaklah pas. Karena Al Qur'an sendiri sebenarnya terdapat beberapa ayatnya yang mutasyabihat atau memiliki makna yang tidak jelas.
Itulah kenapa ulama-ulama besar terdahulu sangat banyak menemukan problem pada teks-teks Al Qur'an yang dalam bahasa Arab disebut dengan "musykilah". Judul-judul kitab mereka pun sebagian besar bertema musykilat Al Qur'an (problem Al Qur'an). Problem itulah yang membuat para sarjana mengkajinya, sampai muncul studi khusus kajian Ulumul Qur'an.
Jadi, dapat dipahami. Dalam dunia akademis yang setiap kajiannya bisa dipertanggungjawabkan, tidak ada sesuatu itu bersifat monostatis, monopersepsi, monosolusi, atau monokreasi. Semua memiliki ruang untuk didukung, dikembangkan, bahkan disanggah. Dengan syarat, menggunakan alat metodologis akademis. Tak berhenti pada tataran menghafal apalagi sekedar melafalkan.
Melafalkan Huruf dan Shalat di Ruang Publik
Di satu sisi, tak sedikit mereka yang mendukung kegiatan ibadah baik itu di jalan raya atau di trotoar di Indonesia, membandingkannya dengan aktifitas shalat di tempat umum di London atau New York. Mereka mengatakan di Inggris dan Amerika yang rata-rata non muslim saja kegiatannya terlaksana dengan lancar. Tidak ada gangguan. Bahkan Imam masjid New York menambahkan itu bukan karena masjid penuh, tapi karena memang bagian dari syi'ar, bahwa kita tidak takut.
Itu yang harusnya dicontoh. Kenapa di negara maju dan sekuler, mayoritas non muslim, bahkan tidak beragama, justru nilai-nilai Islam itu digunakan kepada yang minoritas. Kesadaran yang tinggi dalam hal toleransi ini menjadi bagian penting dalam mereka berinteraksi.
Kenapa ibadah di London dan New York itu tidak bermasalah? Kemungkinan Pertama, karena bentuk tingginya toleransi atas aktifitas agamis tadi. Kedua, mereka tidak peduli. Ketiga, bisa jadi tontonan menarik.
Pertanyaan besarnya; syi'ar apa yang di dapat dari situ? Berapa jumlah orang Barat di sana yang lalu tertarik dan masuk Islam? Bukankah yang rata-rata shalat itu adalah orang Islam diaspora dan imigran yang memang dari awal sudah Islam sejak lahir?
Jika melakukan perbandingan toleransi yang tinggi tadi. Harusnya nilai menghargai perbedaan itulah yang kita ambil. Lalu dibalik, apa yang terjadi jika di negara mayoritas kita yang muslim ini, ada sekelompok non muslim minoritas memenuhi jalan dan trotoar melaksanakan kebaktian dengan kidung-kidung pujian. Apakah yakin mereka tidak dibubarkan dengan bar-bar oleh penganut mazhab teologis tekstualis?
Adil sejak dalam pikiran ini yang berat, kita masih tersendat-sendat. Persoalannya, adalah keterbatasan pengetahuan dalam menerima kenyataan; bahwa sistim alam itu berjalan karena memang adanya perbedaan. Termasuk keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H