Itulah kenapa ulama-ulama besar terdahulu sangat banyak menemukan problem pada teks-teks Al Qur'an yang dalam bahasa Arab disebut dengan "musykilah". Judul-judul kitab mereka pun sebagian besar bertema musykilat Al Qur'an (problem Al Qur'an). Problem itulah yang membuat para sarjana mengkajinya, sampai muncul studi khusus kajian Ulumul Qur'an.
Jadi, dapat dipahami. Dalam dunia akademis yang setiap kajiannya bisa dipertanggungjawabkan, tidak ada sesuatu itu bersifat monostatis, monopersepsi, monosolusi, atau monokreasi. Semua memiliki ruang untuk didukung, dikembangkan, bahkan disanggah. Dengan syarat, menggunakan alat metodologis akademis. Tak berhenti pada tataran menghafal apalagi sekedar melafalkan.
Melafalkan Huruf dan Shalat di Ruang Publik
Di satu sisi, tak sedikit mereka yang mendukung kegiatan ibadah baik itu di jalan raya atau di trotoar di Indonesia, membandingkannya dengan aktifitas shalat di tempat umum di London atau New York. Mereka mengatakan di Inggris dan Amerika yang rata-rata non muslim saja kegiatannya terlaksana dengan lancar. Tidak ada gangguan. Bahkan Imam masjid New York menambahkan itu bukan karena masjid penuh, tapi karena memang bagian dari syi'ar, bahwa kita tidak takut.
Itu yang harusnya dicontoh. Kenapa di negara maju dan sekuler, mayoritas non muslim, bahkan tidak beragama, justru nilai-nilai Islam itu digunakan kepada yang minoritas. Kesadaran yang tinggi dalam hal toleransi ini menjadi bagian penting dalam mereka berinteraksi.
Kenapa ibadah di London dan New York itu tidak bermasalah? Kemungkinan Pertama, karena bentuk tingginya toleransi atas aktifitas agamis tadi. Kedua, mereka tidak peduli. Ketiga, bisa jadi tontonan menarik.
Pertanyaan besarnya; syi'ar apa yang di dapat dari situ? Berapa jumlah orang Barat di sana yang lalu tertarik dan masuk Islam? Bukankah yang rata-rata shalat itu adalah orang Islam diaspora dan imigran yang memang dari awal sudah Islam sejak lahir?
Jika melakukan perbandingan toleransi yang tinggi tadi. Harusnya nilai menghargai perbedaan itulah yang kita ambil. Lalu dibalik, apa yang terjadi jika di negara mayoritas kita yang muslim ini, ada sekelompok non muslim minoritas memenuhi jalan dan trotoar melaksanakan kebaktian dengan kidung-kidung pujian. Apakah yakin mereka tidak dibubarkan dengan bar-bar oleh penganut mazhab teologis tekstualis?
Adil sejak dalam pikiran ini yang berat, kita masih tersendat-sendat. Persoalannya, adalah keterbatasan pengetahuan dalam menerima kenyataan; bahwa sistim alam itu berjalan karena memang adanya perbedaan. Termasuk keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H