Diskursus antar intelektual NU ini menjadi variabel untuk menilai bahwa telah terjadi peningkatan akselerasi akademis. Sementara di kalangan kader intelektual Muhammadiyah, tidak saya temukan "sedinamis" itu. Kecenderungan diskursusnya terlalu formil, datar, kaku, stagnan, dan tidak berkembang, serta mengarah kepada kemunduran. Diskursusnya masih tidak bisa move on dari persoalan khilafiyah dan branding kehebatan amal usaha yang tidak menyentuh kepada persoalan umat kekinian.
Menurut pendapat penulis yang kader Muhammadiyah, faktor utamanya; Pertama, dalam tubuh Muhammadiyah sendiri sudah "terkontaminasi" mazhab-mazhab tekstual yang menutupi diri dari berkembangnya pengetahuan dari luar dan kritis yang basisnya adalah mempertanyakan. Kedua, Muhammadiyah tampaknya tengah berkhidmat menjadi korporasi bisnis dengan amal usahanya yang di-branding dimana-mana.
Akibatnya, para intelektual ini walaupun mengenyam pendidikan di Barat, (apalagi yang di Timur) menjadi ambigu bahkan tidak berani melebarkan opini dan diskursusnya secara kritis di media sosial. Padahal, di saat dunia tengah mengalami revolusi ketiga setelah revolusi kognitif dan agrikultur; revolusi teknologi informasi melalui media sosial adalah jendela dan sarana publikasi pemikiran intelektual yang paling cepat di respon oleh masyarakat awam, yang tidak terlalu berminat membuka jurnal.
Pertanyaannya, dapatkah diskursus di media sosial dijadikan variabel untuk menilai dan mengukur bahwa itu adalah diskusi intelektual? Bisa, karena topik yang dibahas adalah artikel, jurnal, dan buku intelektual lain atau karya-karya mufasir terdahulu yang tentu saja bebas nilai, dan terbuka untuk ditambahkan, dukung, atau di koreksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H