Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Indeks Intelektualitas NU dan Muhammadiyah, Refleksi Pendidikan Timur dan Barat

2 Mei 2022   23:58 Diperbarui: 7 Juli 2022   12:40 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: kemenag.go.id

Media sosial, terutama Facebook adalah salah satu platform diskusi yang menarik. Keunggulannya ia terbuka dibaca oleh semua orang walau kita tidak berteman. Siapapun bisa langsung ikut menanggapi setiap opini. Lebih lagi, ia mempunyai algoritma mutual friends yang bisa mengarahkan penggunanya kepada komunitas dengan tingkat pemikiran dan intelektualitas yang seragam dan hampir sama pola nya. Karenanya, sumber-sumber pengetahuan relatif menjadi semakin banyak.

Bagaimana kita melacak indeks intelektualitas kader-kader NU dan Muhammadiyah di media sosial? Salah satu variabel utama intelektualitas itu dianggap bagus adalah adanya perkembangan yang terus menerus di pemikiran individu atau kelompok hingga membentuk diskursus yang intens di media sosial. Saya akui di media sosial, kader-kader NU lebih banyak mendominasi hal tersebut. Diskursus menjadi hidup dengan kehadiran sekelompok intelektual yang gayeng dan dinamis ini.

Pemicu berkembangnya pemikiran itu karena adanya sifat dalam metodologi beberapa kajian yang tidak kaku. Sifat ini ada dalam tradisi kajian-kajian Barat, wabil khusus di Eropa dengan paradigma kritisnya (barat, hanya penamaan atau ciri saja, bukan letak geografis karena tergantung dari posisi mana kita berada). Kiblat mazhab Eropa ini, dalam studi wacana lebih cenderung ke sekolah Frankfurt yang di lead oleh Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Louis Althusser, juga Jurgen Habermas. Berpatokan kepada tradisi kajian analisis Marxisme yang kritis.

Rata-rata penggerak mazhab Frankfurt ini berafiliasi ke Yahudi, ketika pergerakan pembersihan oleh Nazi mulai menyasar ke mereka, sebagian melarikan diri keluar terutama ke Amerika Serikat. Teoritis-teoritis bermazhab kritis ini kemudian menularkan paradigma tersebut ke para teoritis Barat. Itulah yang membuat kita bisa menggeneralisir kenapa intelektual-intelektual yang sekolah di Barat rata-rata berpikir kritis dalam setiap proposisi pada kajian mereka.

Fenomena dalam penelitian dengan paradigma kritis ini, ditolak mentah-mentah oleh intelektual lain (sesama NU, yang mungkin terafiliasi oleh mazhab tekstual) yang tengah belajar atau sudah menyelesaikan studinya di Timur Tengah (kita sebut saja Timur). Puncaknya (mungkin karena cuaca Timteng yang panas) mereka menganjurkan agar kader muslim jangan bersekolah ke Barat. Selain syubhat, sekolah di Barat melahirkan cara berpikir yang sekuler dan liberal, kata mereka. Intelektual Timur ini lebih cenderung kepada mazhab dengan paradigma positivistik yang sifatnya linier dan kaku.

Perbedaan paradigma dalam metodologi ini, berimbas ketika intelektual Barat berusaha mengkaji kitab-kitab tafsir dalam al-Quran yang bagi intelektual Timur tabu untuk di kaji secara mendalam. Mereka beranggapan jika kajian yang terlalu kritis bisa berakibat menggugat isi al-Quran. Sebenarnya, yang digugat adalah tafsir/interpretasinya sebagai produk manusia atau ilmuan terdahulu. Intelektual Timur berpedoman ada kaidah-kaidah dalam Ulum al-Quran yang tak bisa ditabrak begitu saja. Padahal dalam teologi Asy'ariyah yang menjadi pegangan mayoritas ahlus sunnah wal jamaah, basis teologi kajiannya justru rata-rata harus kritis. Mengedepankan akal, dan tidak bersandar pada teks yang baku.

Ketika kajian tafsir ini dilakukan oleh intelektual Barat yang sejak awal cara pandangnya sudah kritis, tentu saja menimbulkan gesekan di kalangan mereka sendiri. Karena kajian paradigma kritis cenderung menggugat teks dengan interpretasinya yang otonom. Dalam studi tafsir (hermeneutika) Barat, teks berlepas dari maksud pembuat teks. Antara pembuat teks dengan pembaca teks batasannya dibuka selebar mungkin. Ketika tafsirnya berbeda, itu dapat dipahami sebagai buah dari analisa peneliti yang memiliki latar belakang juga berbeda.

Artinya, intepretasi/tafsir berada dalam kewenangan peneliti sebagai key instrument yang melakukan interpretasi, tentu sesuai dengan metode interpretasi yang sangat ketat. Oleh sebab itu muncul-lah stempel dari intelektual Timur, bahwa intelektual Barat adalah kaum revisionisme Marxisme, yang secara fundamental dianggap berniat merubah isi al-Quran. Disini menurut saya tidak bertemunya 2 titik tersebut.

Timur yang positivistik linier pada batas tertentu, sementara Barat tidak linier dan tak berhenti di satu kriteria. Kajiannya terus berkembang, mempertanyakan, dan membongkar dengan pendalaman. Ditambah lagi ciri-ciri studi pada level doktoral, sampai post doctoral memang tidak lagi berada dalam ranah eksplorasi seperti studi master. Tapi sudah dalam tahap eksploitasi besar-besaran. Dan ternyata, intelektual Timteng yang protes dan keberatan dengan paradigma intelektual Barat tersebut, sebagian adalah mahasiswa master yang juga baru studi pada semester awal. Studi mereka mungkin linier kepada satu jurusan semenjak di bangku sekolah menengah bahkan mungkin sekolah dasar. Ketika melanjutkan studi ke Timur Tengah otomatis mereka tidak menemukan referensi yang berbeda.

Padahal jika berkaca kepada indeks pengetahuan dunia secara general, siapa yang bisa memungkiri jika kemajuan peradaban, ilmu pengetahuan, pendidikan, kesejahteraan, dan tingkat kebahagiaan, saat ini memang di lead oleh Barat? Apalagi urutan dalam World University Ranking menempatkan universitas Timur Tengah terlempar sangat jauh jika dibandingkan dengan universitas Barat bahkan universitas di Asia sendiri.

Diskursus antar intelektual NU ini menjadi variabel untuk menilai bahwa telah terjadi peningkatan akselerasi akademis. Sementara di kalangan kader intelektual Muhammadiyah, tidak saya temukan "sedinamis" itu. Kecenderungan diskursusnya terlalu formil, datar, kaku, stagnan, dan tidak berkembang, serta mengarah kepada kemunduran. Diskursusnya masih tidak bisa move on dari persoalan khilafiyah dan branding kehebatan amal usaha yang tidak menyentuh kepada persoalan umat kekinian.

Menurut pendapat penulis yang kader Muhammadiyah, faktor utamanya; Pertama, dalam tubuh Muhammadiyah sendiri sudah "terkontaminasi" mazhab-mazhab tekstual yang menutupi diri dari berkembangnya pengetahuan dari luar dan kritis yang basisnya adalah mempertanyakan. Kedua, Muhammadiyah tampaknya tengah berkhidmat menjadi korporasi bisnis dengan amal usahanya yang di-branding dimana-mana.

Akibatnya, para intelektual ini walaupun mengenyam pendidikan di Barat, (apalagi yang di Timur) menjadi ambigu bahkan tidak berani melebarkan opini dan diskursusnya secara kritis di media sosial. Padahal, di saat dunia tengah mengalami revolusi ketiga setelah revolusi kognitif dan agrikultur; revolusi teknologi informasi melalui media sosial adalah jendela dan sarana publikasi pemikiran intelektual yang paling cepat di respon oleh masyarakat awam, yang tidak terlalu berminat membuka jurnal.

Pertanyaannya, dapatkah diskursus di media sosial dijadikan variabel untuk menilai dan mengukur bahwa itu adalah diskusi intelektual? Bisa, karena topik yang dibahas adalah artikel, jurnal, dan buku intelektual lain atau karya-karya mufasir terdahulu yang tentu saja bebas nilai, dan terbuka untuk ditambahkan, dukung, atau di koreksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun