Kedua, adalah mayoritas. Karena mayoritas itu pasti benar dan legal setiap tindakannya. Ketiga, legalisasi dari aparatur sendiri yang di sisi penegakkan hukumnya dalam persoalan melindungi ijtihad, keyakinan, dan kebebasan umat menjalankan ritual keagamaan, masih sangat lemah dan selalu gagal di setiap periode kekuasaan. Utamanya karena selalu berkompromi dan kalah oleh arus utama yang mayoritas tadi (kecuali ketika Gus Dur berkuasa).
Ketika pertimbangan keamanan mayoritas menjadi variabel penting, tak jarang agama dan keyakinan lain yang secara UU dan hukum negara jelas-jelas diakui pun, hanya karena mereka minoritas tetap saja dipersulit. Baik itu ketika mereka mau mendirikan tempat ibadah, atau sekedar menjalankan ritual ibadah satu minggu bahkan satu bulan sekali. Sementara, si mayoritas lima kali dalam sehari lewat menara tertinggi mengamplifikasi volume TOA-nya, memekakkan telinga dari delapan penjuru mata angin sekeras mungkin, si minoritas masih tetap bisa calm down dan menerima.
Struktur penanganan masalah hukum terhadap mayoritas seperti ini sebenarnya terjadi di mana-mana. Karena jumlahnya banyak, mereka legal melakukan suatu tindakan yang secara hukum jelas-jelas salah. Artinya suatu kesalahan dibalik menjadi kebenaran karena alasan jumlah, bersamaan momennya ketika persoalan private selalu ditarik ke ruang publik.
Disinilah problemnya, kenapa kajian agama itu memiliki banyak perbedaan tafsir sementara kajian sains tidak. Acuan kajian sains menggunakan teori distribusi normal Gauss yang memiliki dua acuan; yakni mean (nilai rata-rata) dan standar deviasi atau simpangan baku, sehingga variabel biasnya sangat minim, tafsir berbasis keilmuannya jelas, dan jauh dari konflik.
Dua acuan dalam teori distribusi normal tersebut tidak bisa dipakai dalam kajian memahami regulasi agama. Karena agama memastikan nilai rata-rata dan deviasi itu tidak ada. Format yang dipakai hanya menggunakan dua klausul yaitu benar dan salah. Ketika menyikapi perbedaan, sifatnya langsung kaku, lalu menjustifikasi. Tidak ada ruang untuk pendapat lain, harus diikuti dan wajib ditegakkan secara berjama'ah tanpa melakukan observasi sama sekali.
Inilah yang menyebabkan kita itu banyak tapi seperti buih.
Penulis, adalah Sekretaris PD Muhammadiyah Barito Utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H