Jika menyimak motto Ahmadiyah yang mengusung dua diksi, yaitu; love for all, hatred for none (cinta kasih untuk semua, kebencian tidak untuk siapapun), itu sungguh suatu yang cukup menyejukkan untuk dibaca jika mengingat apa yang mereka yakini selalu menjadi ancaman bagi ketentraman penganut keyakinan lain.
Syarat-syarat dan kriteria sebagai penganut Islam sebenarnya terpenuhi dalam variabel dasar mereka; melaksanakan dua rukun penting, yaitu rukun Iman dan Islam. Hanya saja seperti layaknya ijtihad, manhaj, bahkan mazhab, dalam Islam memang sering terjadi gesekan ketika mengkaji atau memahamimya. Apalagi jika sudah bersinggungan kepada kultus selain Nabi Muhammad, maka tentu saja suatu keyakinan itu akan menjadi makanan empuk persekusi oleh pemegang ijtihad lain.
Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri sekaligus yang dikultuskan oleh jamaah dan anggota Ahmadiyah, sebenarnya juga menjalankan syari'at Islam, yaitu bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan mengakui Muhammad adalah Utusan Allah, menunaikan kewajiban shalat, membaca Al Qur'an, memberikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan juga menunaikan ibadah haji.
Perbedaan mendasarnya seperti yang diakui oleh Fareed Ahmad, Sekjen Nasional Hubungan Masyarakat Jemaah Muslim Ahmadiyah Inggris, organisasi Ahmadiyah Internasional yang berpusat di London, adalah 'anggapan' bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi penerus dan penjelmaan Imam Mahdi. Bagi kalangan Islam mainstream Imam Mahdi sendiri masih ditunggu kedatangannya sebagai penanda akhir zaman, bukan sekarang apalagi sudah wafat.
Hal mendasar kedua, adanya pemahaman yang keliru mengenai kumpulan tulisan yang dibukukan Mirza Ghulam Ahmad oleh penganutnya setelah wafat yang dinamakan Tadhkirah. Padahal Juru bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiandra, menepis pandangan bahwa Tadhkirah adalah kitab suci bagi Ahmadiyah, karena mereka setiap hari membaca Al-Qur'an sebagai panduan.
Dari seluruh proses rumit tentang keyakinan, manhaj, dan ijtihad tiap individu muslim dalam memahami konteks di atas, sebenarnya semua adalah masalah usang yang selalu diulangi secara terus menerus. Apa sih itu? Kedewasaan menyikapi perbedaan. Yaitu ketika suatu tindakan anarkis dilegalisasi dan dilindungi oleh negara berdasarkan pertimbangan menjaga keamanan dan ketertiban arus utama (mainstream).
Legalisasi itu tercantum dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Ahmadiyah pada tahun 1980. Kemudian diperkuat dengan fatwa lagi pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat, menyesatkan dan sudah keluar dari Islam.
Gelombang protes mendukung fatwa MUI yang menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan pun semakin menguat di mana-mana, meskipun gerakan mereka itu sah sebagai organisasi. Basis-basis Ahmadiyah marak menjadi sasaran, termasuk rumah pribadi, tempat ibadah dan bahkan banyak pula jamaah Ahmadiyah yang mendapat serangan fisik. Imbas dari fatwa MUI itulah yang dituding memicu 'kekerasan' atas nama agama seperti yang baru saja terjadi di desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalbar, Jum'at (3/9/2021).
Dari segi platform dasar dalam bernegara, Ahmadiyah sebenarnya sangat bertolak belakang dengan dua organisasi sebelumnya yang dibubarkan pemerintah, yaitu HTI dan FPI yang cenderung ingin mendirikan dan menjalankan syari'at Islam, bahkan ingin mendirikan kekhalifahan. Ahmadiyah justru anti terorisme. Beranggapan bahwa jihad itu bukan dengan kekerasan atau perebutan kekuasaan, melainkan dengan dakwah dan pena, serta gerakan kemanusiaan yang realitasnya memang mereka laksanakan di seluruh dunia.
Lalu kenapa masyarakat muslim mudah terpantik melakukan kekerasan? Pertama, adalah faktor psikologi dalam ajaran Islam sendiri yang dalam konteks kekinian sebenarnya sudah tidak menjadi isu menarik, yaitu pemahaman mengenai teologi kebenaran tunggal yang menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang tidak lahiriah. Kebenaran adalah apa yang saya dan kami yakini, di luar itu salah dan tidak boleh ada.