Berita duka mulai menghiasai layar LCD gadget di kota kita, dan Indonesia umumnya, setiap hari. Akan menjadi langgam biasa. Berbahayanya, warga pun kelihatannya tidak seperti awal-awal pandemi dulu yang berusaha sibuk mencari tahu, si Fulan kira-kira di mana ya tertular virus tersebut. Tujuannya untuk berjaga-jaga supaya tidak tertular. Sekarang tampak menjadi biasa saja.Pada beberapa tulisan sebelumnya, saya pernah menyampaikan, alam sekarang melakukan evaluasi. Yang kuat bertahan yang lemah akan tumbang. Agak kasar memang. Tapi sebenarnya ini ungkapan kekesalan kepada mereka yang tampak tidak percaya covid ini ada.
Berusaha melonggarkan prokes. Tetap berkeliaran. Ngotot memenuhi area publik dan tempat ibadah. Serta melakukan branding menolak vaksin atas dasar keharaman atau ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Saya sangat percaya sains, studi, dan hasil riset. Bahwa yang parah dan berujung pada kematian adalah orang-orang yang belum vaksin. Jika ada yang positif tapi sudah vaksin umumnya tidak parah. Jika ada yang meninggal jumlahnya pun sangat kecil dibanding yang positif atau berujung kematian karena tidak vaksin.
Sangat bersyukur sebagai ASN kami mendapatkan vaksin gelombang kedua setalah nakes. Bahkan dulu saya katakan andai vaksin itu berbayar saya akan berikhtiar untuk membeli.
Lain cerita. Karena berita duka ini naik indeksnya, ada yang menarik saya amati. Dulu, ada kelompok yang sibuk mengurus masalah urusan fiqih umat hingga meluruskan kata-kata khusnul khotimah yang harus dibuang huruf (k) nya hingga menjadi husnul khotimah. Karena memang adanya perbedaan arti yang bertolak belakang dari keduanya. Dan sekarang tampaknya hasil meluruskan itu berhasil. Rata-rata pengucapannya sudah benar husnul khotimah; berakhir dengan baik. Sementara khusnul khotimah adalah berakhir hina.
Namun di luar ilmu fiqih tadi saya lebih tertarik dengan waktu penggunaan kata dan awalan 'semoga' tersebut. Semoga itu adalah kata do'a dan harapan. Artinya netizen berharap yang meninggal berakhir dengan baik proses sakaratul mautnya.
Yang jadi masalah, yang di do'akan berakhir dengan baik itu orangnya sudah meninggal. Artinya buat apa berdo'a agar orang meninggal berakhir dengan baik, sedangkan kan dia sudah melewati proses tersebut. Bahkan ada yang sudah terhitung hari. Dan kita tidak tahu berakhir baik apa tidak ketika Izrail mencabut nyawanya.
Artinya, yang dido'akan husnul khotimah itu harusnya justru kita-kita yang hidup ini nanti supaya bisa berakhir/meninggal dengan baik, bukan yang sudah meninggal. Tapi masalah muncul lagi. Jika Anda mengucapkan husnul khotimah kepada yang masih hidup orang bisa salah paham karena sepertinya malah mendo'akan kawan sendiri cepat meninggal.
Itulah, bagi yang sudah biasa dan lama berinteraksi, langsung atau via medsos. Saya hampir jarang bahkan tidak pernah latah mengucapkan ungkapan duka di medsos ketika ada orang meninggal. Bagi saya, itu basa basi dan hanya sebuah peristiwa lumrah yang pasti akan dialami setiap makhluk yang bernafas. Andai ada do'a pun terkhusus itu saya ucapkan syirriyah tidak jahriyah, bahkan dalam hati saja. Toh saya meminta bukan kepada Dzat yang Maha Tuli, apalagi kepada manusia.
Pada tahap berikutnya dalam suasana ini selain husnul khotimah, ada lagi satu kalimat ucapan yang secara kritik historis juga bermasalah, yaitu ucapan; turut berduka cita. Dalam hal ini, tentu kita tidak bicara mengenai benar atau tidaknya ucapan tersebut. Tapi lebih berfokus kepada relevansi penggunaan kata dan kalimat yang jika didalami cenderung muncul akibat budaya dan kebiasaan yang sudah biasa dilakukan orang-orang terdahulu, lalu diikuti, menjadi kebiasaan, dari generasi ke generasi, sekedar untuk bersimpati dan empati kepada korban.Â
Pertama, jika yang meninggal bukan kerabat atau teman dekat, benarkah kita berduka? Kedua, jika ungkapan tersebut kembali kepada tujuan utama untuk menimbulkan rasa empati, mempererat hubungan sosial. Bukankah ada banyak perspektif dan kalimat lain yang lebih relevan? Misalkan; 'semoga keluarga yang ditinggalkan tetap sabar, tabah, dan kuat menghadapi'.Â
Sehingga esensi empati kesedihan yang kita tujukan kepada kelurga korban dari beberapa variabel tadi tetap terpenuhi. Kajian mengenai Budaya dan Identitas persis seperti fenomena yang bukan nash atau ajaran ini, berkaitan erat dengan ungkapan Ralph Linton, bahwa: "The culture of a society is the way of life of its members; the collection of ideas and habits which they learn, share and transmit from generation to generation" (Linton, 1945).
Narasi dan opini seperti ini sebenarnya sekedar membuka wacana pemikiran dan literasi bahwa kita punya banyak pilihan diksi, termasuk menawarkan perpsektif untuk memilih kata tanpa menghilangkan esensi empati tadi. Sehingga tidak salah jika Habib Ja'far dalam sebuah podcast-nya menyatakan; "Kita saat ini hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh standar-standar yang sudah dibuat sebelumnya, yang mana standar-standar itu tidak pernah sekalipun kita evaluasi validitasnya".Â
Apalagi jika meniti sejarah umat manusia, konsep kita itu jangankan tentang agama, tentang Tuhan saja berubah kok. Dari awalnya percaya kepada benda-benda, roh-roh, dewa-dewa, terus kepada satu Tuhan. Dan dalam Islam sendiri banyak sekali nash atau ajaran yang lewat kritik hadits juga bermasalah validitasnya. Begitu juga ucapan-ucapan selamat hari raya yang rata-rata di copy paste demi memenuhi timeline medsos tanpa berusaha mengkaji atau mengubahnya terlebih dahulu hanya karena orang banyak melakukannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI