Pertama, jika yang meninggal bukan kerabat atau teman dekat, benarkah kita berduka? Kedua, jika ungkapan tersebut kembali kepada tujuan utama untuk menimbulkan rasa empati, mempererat hubungan sosial. Bukankah ada banyak perspektif dan kalimat lain yang lebih relevan? Misalkan; 'semoga keluarga yang ditinggalkan tetap sabar, tabah, dan kuat menghadapi'.Â
Sehingga esensi empati kesedihan yang kita tujukan kepada kelurga korban dari beberapa variabel tadi tetap terpenuhi. Kajian mengenai Budaya dan Identitas persis seperti fenomena yang bukan nash atau ajaran ini, berkaitan erat dengan ungkapan Ralph Linton, bahwa: "The culture of a society is the way of life of its members; the collection of ideas and habits which they learn, share and transmit from generation to generation" (Linton, 1945).
Narasi dan opini seperti ini sebenarnya sekedar membuka wacana pemikiran dan literasi bahwa kita punya banyak pilihan diksi, termasuk menawarkan perpsektif untuk memilih kata tanpa menghilangkan esensi empati tadi. Sehingga tidak salah jika Habib Ja'far dalam sebuah podcast-nya menyatakan; "Kita saat ini hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh standar-standar yang sudah dibuat sebelumnya, yang mana standar-standar itu tidak pernah sekalipun kita evaluasi validitasnya".Â
Apalagi jika meniti sejarah umat manusia, konsep kita itu jangankan tentang agama, tentang Tuhan saja berubah kok. Dari awalnya percaya kepada benda-benda, roh-roh, dewa-dewa, terus kepada satu Tuhan. Dan dalam Islam sendiri banyak sekali nash atau ajaran yang lewat kritik hadits juga bermasalah validitasnya. Begitu juga ucapan-ucapan selamat hari raya yang rata-rata di copy paste demi memenuhi timeline medsos tanpa berusaha mengkaji atau mengubahnya terlebih dahulu hanya karena orang banyak melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H