Sebuah lembaga riset digital marketing Emarketer menyatakan bahwa pengguna smartphone aktif di Indonesia itu diperkirakan berjumlah sekitar 100 juta orang. Kemudian Wearesocial lembaga riset lain juga mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia menggunakan dan menatap gadget rata-rata minimal 9 jam perhari.
Yang mengejutkan adalah hasil riset dari Central Connecticut State University yang malah berbanding terbalik dengan kenyataan 2 hasil lembaga riset di atas tentang minat baca orang Indonesia yang berada pada urutan paling bawah kedua di dunia setelah Botswana, sebuah negara di Afrika bagian selatan. Bahkan Unesco menambahkan, fakta tersebut menggambarkan minat baca kita hanya 0,001%. Artinya hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang suka membaca.
Jadi apa yang dilihat masyarakat Indonesia selama lebih dari 9 jam menggunakan gadgetnya? Nah mungkin hasil riset Semiocal dari Perancis ini bisa menjawab pertanyaan tersebut. Mereka mengungkapkan fakta, bahwa masyarakat Indonesia itu paling tidak sopan, berisik, dan cerewet di dunia maya karena sepanjang hari sibuk berkicau, menonton film, bermain game, mengirim dan melihat gambar/status teman/idola, yang sama sekali bukan untuk menambah pengetahuan.
Realitas ini sungguh membingungkan. Karena ada semacam budaya yang sudah mengakar dan tumbuh pada masyarakat kita untuk menghabiskan waktunya ke dalam persoalan yang bukan urusannya dan justru rajin membaca opini yang jauh dari fakta.Â
Hal ini juga mungkin yang menjadi penyebab tumbuh suburnya provokasi di dunia maya yang mengakibatkan konflik sosial di dunia nyata, termasuk mudahnya orang-orang yang minim literasi terdoktrin untuk melakukan perbuatan intoleran, radikalisme, dan sulit menerima realitas keragaman.
Ini mencerminkan sebuah keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Karena di era post-truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi untuk menguatkan apa yang sudah menjadi keyakinannya.
Dalam teori pengetahuan yang mengemukakan tentang studi kultural, studi ini berada pada posisi tertinggi. Ia berfungsi menjadi peta budaya/jalan serta pemandu bagi peneliti.Â
Komponen utama agar peta/jalan tersebut tetap pada jalurnya adalah membaca/iqro. Setelah membaca langkah substansial selanjutnya adalah memahami yang kita baca.Â
Yang sering jadi masalah adalah banyak orang membaca tapi tidak mampu memahami dan mengungkap makna terhadap apa yang telah ia baca. Jika membaca tapi tidak paham adalah sebuah persoalan, bagaimana dengan yang tidak membaca sama sekali?.
Inilah problem masyarakat kita saat ini, ketika di depan kita dengan jelas terpampang bagaimana rasio minat baca itu sangat jauh dari cukup untuk mengantarkan kita kepada kemajuan. Sehingga ketika sebuah fenomena terjadi kita begitu mudah terpantik, kemudian menolaknya mentah-mentah dengan dasar ketidaktahuan.
Beberapa kajian yang bertujuan merumuskan teori baru dan tindakan/praksis yang bersifat emansipatoris, yaitu sebuah konsepsi yang berusaha memadukan antara teosentris, antroposentris dan kosmosentris.Â
Artinya teori ini berusaha membebaskan umat manusia dari hegemoni-hegemoni tertentu yang bersumber dari ajaran yang berbasis dogma dan non ilmu pengetahuan. Maka dapat dipastikan ia akan ditolak habis-habisan oleh kalangan tertentu dari kaum teologis dengan tingkat religiusitas tinggi. Karena basisnya adalah taat dan percaya, bukan berpikir.
Kondisi yang sama juga terjadi kepada konsep-konsep multikulturalisme, pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, bahkan  komunisme dalam studi-studi emansipatoris tadi. Diantaranya bahkan dibuat dalam singkatan, tujuannya untuk menganalogikan konsep tersebut sebagai penyakit berbahaya yang harus dijauhi dengan menamakannya sebagai penyakit Sipilis yaitu, sekulirisme, pluralisme, dan liberalisme.
Hal ini juga yang menjadi penyebab kenapa pergerakan indeks pembangunan manusia kita sangat lambat, ditambah birokrasi yang tidak menyediakan ruang bagi sumber daya manusia kita untuk naik level.Â
Kenapa? Karena mata dan telinga kita sehari-hari disibukkan dengan persoalan yang tidak substantif dan cenderung membodohi dengan tujuan mengurangi kompetisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H