Mohon tunggu...
Haliemah Noor Qathrunnada
Haliemah Noor Qathrunnada Mohon Tunggu... Freelancer - CPM

Keep smart

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Cinta Tanpa Gas

30 Juni 2024   11:42 Diperbarui: 30 Juni 2024   14:23 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cinta terhadap buah hati tak bertepi, itulah rasa cinta yang dimiliki oleh setiap orang tua kepada anaknya. Rasa itu bersemi di dalam hati dan bermuara indah di ruang ekspresi atas cinta dan kasih sayang. Kasih sayang yang tumbuh sejak dari masa kehamilan hingga kehadirannya di pelupuk mata. Inilah ekspresi rasa yang tiada tara ketika itu dimiliki oleh setiap orang tua terhadap buah hatinya. 

Cinta adalah nilai yang tulus tak berharap sebuah timbal balik yang berujung pada pengaharapan tak bertepi. Ketulusan itu menjadi sebuah rasa dan tekad yang tinggi dalam memupuk etos dalam mengemban amanah sebagai orang tua. Amanah yang dianugerahkan kepada setiap orang tua atas kepemimpinannya dalam pengasuhan anak. 

Dalam pengasuhan anak diperlukan kesiapan matang dalam menjalani tugas buaian sejak dini, hal ini mencangkup beberapa muatan kajian dari beberapa disiplin ilmu pengetahuan. Tentunya literasi ini menjadi kebutuhan secara abadi selama status sebagai orang tua itu melekat pada seseorang. Berbagai kajian dari sisi kesehatan, psikologi perkembangan, sosiologi, pendidikan dan hukum mesti dipelaji oleh mereka untuk proses pengasuhan yang maksimal dan perlindungan atas hak-hak anak. 

Konvensi PBB tentang Hak Anak menyebutkan bahwa ada empat hak dasar anak yang harus dipenuhi. Itu adalah Hak Kelangsungan Hidup, Hak Perlindungan, Hak Tumbuh Kembang, dan Hak Berpartisipasi. Pertama: Hak Kelangsungan Hidup; Hak dasar ini berarti selain berhak untuk hidup, setiap anak berhak untuk mempertahankan dan terpelihara hidupnya. 

Hak Kelangsungan Hidup juga berarti setiap anak berhak untuk dicatatkan kelahirannya, memiliki identitas dan kebangsaan, dan sebisa mungkin mengenal dan dipelihara oleh orang tua kandungnya. Kedua: Hak Perlindungan; Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan keterlantaran. 

Ketiga: Hak Tumbuh Kembang; Ini adalah hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan dan standar hidup yang layak. Yang dimaksud dengan standar hidup yang layak adalah lingkungan kehidupan yang layak untuk menunjang perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial. Keempat: Hak Berpartisipasi; Setiap anak berhak untuk menyatakan pendapatnya dan didengarkan pendapatnya dalam hal-hal yang berkaitan dan memengaruhi hidupnya.

Pengasuhan penuh cinta terekspresikan dengan tutur bahasa yang santun dan berkesetaraan. Hal ini mengangkat isu egaliter dalam menjalin komunikasi dengan anak, bahwa ketika anak mengutarakan sesuatu atas pendapatnya orang tua mensejajarkan diri dengan mendengarkannya dan menanggapinya dengan bijak. 

Tak jarang teriakan anak yang memekik gendang telinga pun, ditanggapinya dengan tenang dan menyambutnya dengan bahasa teguran dan datar secara nada untuk memperbaikinya dalam tutur kata bernada rendah. Permainan intonasi suara menjadi seni dalam membangun komunikasi untuk menepis ketersinggungan pada anak dan menafikan rasa bahwa posisi anak sedang dalam persidangan orang tua pada suhu kenyamanan anak. 

Uniknya setiap anak dalam masa perkembangan mereka menjadi momen tersendiri dalam kehidupannya, orang tua yang mengasuhnya pun menyimpan berjuta kenangan pahit getirnya proses pendidikan pertama yang dienyam seorang anak sebelum melangkahkan kakinya di bangku sekolah.

Fondasi mental yang kuat selalu dipupuk oleh para orang tua kepada anak mereka untuk menyambut kompetisi berprestasi mereka di lingkungan sekolah dan bersosialisasi dengan lingkungan yang akrab dengan perbedaan menjadikannya siap dan tangguh.

Mengikut sertakan ruang sadar anak dalam proses berpikir anak dalam pengasuhan, dapat mendorong anak lebih bertanggung jawab atas tugas dan tanggung jawabnya. 

Walaupun memerlukan waktu yang lebih panjang dalam pelaksanaannya, namun anak secara bertahap diperkenalkan dengan beberapa step agenda dengan pencapaian visi dan misi atas setiap atahan yang diberikan orang tua untuk sebuah pencapaian pemahaman anak atas kinerja yang dilakukannya. Maka, pelibatan sisi kognitif ini hadir dalam pemberian stimulus psikomotorik anak yang akan terbentuk dalam afeksi anak yang cakap. 

Kekerasan verbal acap sekali didapatkan dalam lingkup rumah tangga, ini masih dimaknai seuatu yang biasa terjadi ketika proses pengasuhan terjadi kendala gap perspektif antara orang tua dan anak. 

Sentuhan psikologis yang menaruh luka, tidak hanya bersifat sesaat namun dapat terjadi secara jangka panjang maupun permanen. Hal ini dapat berbentuk labelling negatif terhadap anak atas relasi kuasa dalam lingkup keluarga serta peneguran yang bermuatan kebencian hingga mengakibatkan kegagalan dalam proses pendidikan dalam arahan yang diberikan. 

Suatu hal yang kerap terlupa pada diri setiap orang tua bahwa motor penggerak daya juang anak adalah mental psikologis yang matang, ketika ranah tersebut tergores bahkan menarik luka yang akut maka tak jarang anak akan mengalami degredasi atas kapasitasnya yang telah terbangun sejak dini. 

Pengasuhan secara tegas tidak berarti dengan metode nge-gas yang memberikan intervensi kepada anak secara psikologis untuk melaksanakan setiap perintah yang diberikan oleh orang tua, karena hal ini akan menumpulkan peranan otot syaraf anak dalam merespon realitas yang ada. 

Di sinilah cikal bakal taqlid tumbuh tanpa mau mengetahui sebah dan musabab suatu perkara, karena kondisi otak anak telah terkunci oleh sebuah doktrin tanpa pengetahuan. Akal yang menjadi anugerah terbesar Allah SWT akan tumpul ketika proses pengasuhan dengan menggunakan metode nge-gas ini dipermanenkan. 

Peranan orang tua sebagai pendidik bersama guru di lingkup sekolah selayaknya membentuk sebuah wahana juang bersama dalam peningkatan SDM bangsa dalam meningkatkan fungsi kognitif dan psikomotorik anak berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Diharapkan budaya pengasuhan kolonial ini terkikis oleh zaman yang menggerus asas ketimpangan relasi kuasa dalam lingkup keluarga bahwa setiap anggota keluarga adalah narasumber bagi anggota lainnya, maka bermain peran inilah yang menjadi tugas orang tua dan anak untuk menumbuhkan toleransi yang ditanamkan sejak lingkup terkecil, yakni keluarga. 

Yakinlah Indonesia besar dengan Bhinneka Tunggal Ika yang kaya akan khazanah daerah di seluruh khatulistiwa. Merawat cinta untuk keluarga dan bangsa menuju perdamaian budaya secara nasional dan global. Wallaahu A'lam Bishowaab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun