Mohon tunggu...
Dr Halid MAg
Dr Halid MAg Mohon Tunggu... Dosen - Dr. Halid, M.Ag. adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta.

Dr. Halid, M.Ag. (Halid Alkaf) adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta (sejak tahun 2000 - sekarang); juga menjadi penulis, peneliti, dan editor. Sejak 2006 hingga sekarang menjadi adviser dan Content QC di PT Merak Multimedia dan PT Falcon Publishing.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fazlur Rahman: Tokoh Neomodernisme Islam (Bagian 2)

30 Desember 2024   23:46 Diperbarui: 30 Desember 2024   23:46 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tentang Neomodernisme Islam

Pengkajian tentang neomodernisme Islam di Indonesia memang belum dilakukan secara lebih sistematis dan mendalam. Akan tetapi arahan-arahan pengantar yang mempermudah pemahaman tentang konsep ini pernah dilakukan oleh sebagian ilmuwan muda Muslim yang progresif dan dinamis. Di antaranya adalah Taufik Adnan Amal, sarjana Syariah lulusan 1988, dalam bukunya Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (1987), juga Ahmad Amir Aziz, yang memperoleh dana bantuan penelitian dari Toyota Foundation pada 1997, dengan tema Pengaruh Pemikiran Fazlur Rahman terhadap Gerakan Pemikiran Neomodernisme Islam Indonesia (1997). Untuk mengkaji lebih jauh tentang konsep ini, ada baiknya diidentifikasi terlebih dulu peta-peta gerakan intelektualisme di dunia Islam. Rahman, dalam hal ini, membaginya ke dalam empat gerakan (Amal,1987:17-20).

Pertama, revivalisme pramodernis yang muncul pada abad ke-18 dan ke-19 di Arabia (oleh Muhamad Abdul Wahab dengan Wahabiyyah-nya), di India (pimpinan Syaikh Wali Allah), dan di Afrika (oleh Muhamad Ali al-Sanusi dengan Sanusiah-nya). Di antara ciri umum gerakan ini adalah : 1) anjuran untuk kembali kepada Islam sejati (Quran dan Sunnah) serta melenyapkan takhyul dan khurafat; 2) anjuran melenyapkan predeterministik; 3) anjuan untuk melakukan jihad, jika perlu dengan senjata.

Kedua, modernisme klasik yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Di antara ciri menonjol   dari gerakan ini adalah perluasan makna ijtihad yang antara lain meliputi hubungan antara akal dan wahyu, pembaharuan pranata sosial seperti pendidikan, politik, dan bentuk pemerintahan representatif dan konstitusional. Gerakan ini dapat dilihat misalnya di Mesir dan Turki dengan tokoh-tokohnya antara lain :al-Tahtawi, Jalaluddin al-Afghani, Muhamad Abduh, Sultan Mahmud II, Mustapa Kemal, dan lainnya.

Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis yang dicirikan antara lain dengan gagasan demokrasi dan praktiknya serta bentuk lembaga pendidikan Islam yang mengalami modernisasi. Gerakan ini juga mendasari dirinya pada basis pemikiran modernisme klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka neorevivalisme merupakan reaksi terhadap modernisme klasik. Tema-tema pipuler gerakan ini antara lain: bunga bank tidak sah menurut hukum Islam, tidak mengenakan busana Muslimah dan ikut KB adalah dosa besar, dll. 

Keempat, neomodernisme yang muncul dari pengaruh sekaligus pengkritik neorevivalisme. Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai "juru bicara" gerakan ini. Bagi Rahman, meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan reaksi dengan munculnya neorevivalisme. Pertama, ia tidak menguraikan  secara tuntas metodenya dalam menangani permasalahan-  permasalahan umat. Sedang beberapa masalah penting di Barat justru ditanganinya secara sepotong-potong (ad hoc), seperti masalah demokrasi dan status wanita. Kedua, masalah-masalah ad hoc  yang dipilihnya sebenarnya ada dan bagi dunia Barat, sehingga ada kesan kuat bahwa mereka telah terbaratkan atau agen westernisasi (Amal,1987:21).

Rahman menganjurkan agar gerakan neomodernisme mampu mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslimin harus mengkaji dunia Barat beserta gagasan-gagasannya secara obyektif, juga pada gagasan dan ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri, Islam. Mereka juga harus mengembangkan prasarat keyakinan diri tanpa mengalah kepada Barat secara membabi buta atau menafikannya sama sekali. Bila kedua hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan sesuatu yang sulit, bahkan; kelangsungan hidupnya sebagai masyarakat Muslimpun akan sangat meragukan. 

Apa yang dapat kita tangkap dari gagasan-gagasan tersebut,  pada dasarnya merupakan upaya keras Rahman dalam menempatkan sphere Islam kesejarahan dan pergumulan umatnya secara kohesif dan sinergis. Pada kedua aras inilah, Rahman meyakini bahwa metode dan gerakan neomodernisme yang ditawarkannya mampu menyanggah peradaban umat Islam ke depan. Upaya keras ini dapat diperhatikan pada sejumlah karya tulis dan gerakan intelektualismenya yang menunjukkan sebuah kometmen untuk melihat Islam secara genuine dan kritis, baik dari dalam (inward view) maupun dari luar (outward view). Dari sini, secara teknis, dapat kita tangkap bahwa Rahman menyuguhkan argumentasi-argumentasi logik-rasional di seputar doktrin Islam dan pergumulan umatnya dengan dunia realitas dan modernitas. Dalam bahasa yang lebih populis, neomodernisme Islam yang ditawarkan Rahman merupakan proyek penyembuhan dan penemuan kembali (rediscovery) jati diri umatnya menuju terbangunnya peradaban kemanusiaan yang luhur.

Refleksi Pemikiran Rahman

Tidak mudah memahami keseluruhan pemikiran Rahman tentang Islam secara deskriptif maupun enumeratif. Hal ini karena seperangkat piranti pendukung yang diperlukan cukup banyak; melingkupi latar perkembangan intelektualisme, pendekatan dan metode yang digunakan, juga kultur serta pergumulannya dengan dunia luar, terutama Barat. Yang lebih memungkinkan adalah, menangkap isarat-isarat (baik eksplisit maupun implisit) umum     yang ada, baik melalui gagasannya sendiri ataupun dari komentar dan penilaian sejumlah tokoh yang lebih dekat dan intens dengan pemikiran Rahman.

Seperti disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa Rahman adalah intelektual yang sangat teguh dan tegas dalam mengkaji Islam melalui sumber utamanya: Al-Qur'an dan hadits. Karenanya, dia juga dikenal sebagai mufassir canggih abad ke-20 yang melakukan elaborasi terhadap persoalan-persoalan Islam dan pergumulan umatnya. Setidaknya predikat itu pernah dilontarkan Riffat Hassan, tokoh intelektual wanita berkebangsaan Pakistan yang menjadi guru besar Studi-Studi Islam di University of Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Ketika ditanya majalah mingguan  Tempo  tentang siapa saja mufassir terbaik yang pernah dikenal, ia menjawab: "saya kira tak ada satupun ilmuwan yang sempurna di dunia ini. Saya belajar selama dua puluh tahun, dan saya belajar banyak dari Iqbal dan Fazlur Rahman, kendati pendapatnya ada yang tidak saya setujui. Dua orang ini termasuk yang bagus dalam era kita (Tempo, edisi 28 Agustus 1993).

Rahman memang juga dikenal sebagai mufassir yang ide-idenya sering kontroversial di kalangan umat Islam. Hal ini dapat dilhat dari gagasan-gagasan tafsir kontekstualnya atas tema-tema Al-Qur'an. Gagasan itu dapat dilihat dalam karya-karyanya antara lain: Islam (1979), Major Themes of the Quran (1980), Interpreting the Quran (1986), dan yang lainnya. Beberapa contoh dapat dilihat antara lain dalam penafsiran Rahman pada ayat al-sariq wa al-sariqah faqtha'u aidiyahuma jaza`an bi ma kasabaa nakalan min Allah (QS.5:38) yang menurutnya berarti perintah menghalangi tangan-tangan pencuri untuk mencuri lewat perbaikan ekonomi, bukan dengan "potong tangan" seperti kebanyakan penafsiran konvensional.

Demikian juga pernyataannya "Al-Qur'an adalah firman Tuhan sekaligus kata-kata nabi" yang menimbulkan kontroversi sengit. Padahal pernyataan ini menurut Rahman justru mengokohkan argumentasi tentang proses turunnya wahyu pada nabi saw. yang meliputi tiga keadaan sekaligus: "kelainan" (supranatural), "obyektivitas", dan "sifat verbal" yang dimiliki Al-Qur'an.

Meskipun demikian jika kita kaji lebih serius dan teliti, justru ide-ide Rahman, yang terkesan kontroversial itu, sangat apresiatif dan mengikuti prosedur penafsiran tekstual warisan ulama tradisional. Hal ini terbukti pada penekanan ilmu nuzul  Al-Qur'an  yang dipandang Rahman sebagai salah satu prasarat vital bagi para mufassir agar mereka memperhatikan setting historis dan terhindar dari extravagance penafsiran liar atas Al-Qur'an.

Ketelitian dan kekritisan Rahman terhadap Islam kesejarahan dan Islam normatif dapat juga dilihat dari pendekatan dan metode yang digunakannya atas  kajian-kajian Islam. Dalam artikel mutakhirnya Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay (1985) --seperti diterjemahkan Ihsan Ali Fauzi dalam Ulumul Quran-- Rahman menyuguhkan empat metode dalam kajian keislaman: 1) metode historis; 2) metode fenomenologis; 3) metode personalistik; 4) metode literasi atau sastra. Keempat metode ini mampu menghadirkan kritik sekaligus solusi di seputar doktrin Islam kesejarahan dan persoalan kekinian yang dihadapi umatnya.

Dalam banyak hal, keempat metode di atas cukup ampuh dalam menyangkal pandangan negatif dari sejumlah tokoh orientalis terkemuka. Di antara mereka adalah: Ignaz Goldziher dengan karya monumentalnya Muhammedanische Studien (1890) yang secara metodologis oleh Rahman dipandang 'mendua', yaitu menguatkan sekaligus melemahkan, terutama pandangannya tentang hadits sebagai rekaman produk generasi awal, bukan murni dari nabi. Juga D.S. Margoliouth denan karyanya the Early Development of Muhammedanism (1914), dan J. Schacht dengan karyanya the Origins of Muhammadan Jurisprudence  (1952) serta sejumlah orientalis lain.

Di samping seputar doktrin Islam, Rahman juga merefleksikan ide-  idenya pada persoalan sosial-kemasyarakatan yang dihadapi umatnya, termasuk demokrasi. Untuk yang terakhir, Rahman dalam artikelnya A Recent Controversy over the Interpretation of Syura--seperti disunting Dawam Rahardjo--secara implisit pernah memberikan kritikan pada konsepsi syura yang digagas A.A. Maududi dan Abdul Hamid Mutawalli (guru besar Ilmu Hukum Islam di Universitas Alexandria, Mesir). Keduanya berpendapat bahwa lembaga syura tidak sama dengan lembaga pemilu dan partisipasi massa dalam proses politik, sekalipun keduanya mengakui keberadaan parlemen sebagai salah satu bentuk pelembagaan syura.

Alasan kedua tokoh di atas---atas kekhasan sekaligus perbedaan syura dari lembaga pemilu dan partisipasi massa non-Islam---adalah didasarkan pada dua premis. Pertama, orang kebanyakan [kaum awam] pada dasarnya tidak memiliki kemampuan untuk sampai pada keputusan yang tepat mengenai urusan umum atau kemaslahatan umat. Kedua, fakultas moral orang kebanyakan tidak dapat diandalkan untuk bisa menentukan nilai dan tindakan yang benar, padahal prilaku negara harus dilakukan di antara Ahl al-Hall wa al-'Aqd  yang menjadi anggota dari Majlis Syura. Mereka inilah yang berhak menentukan seorang kepala negara (Rahardjo,1993:258- 259).

Bagi Rahman, kasus syura (seperti tergambar dalam QS. Ali Imran ayat 159 dan QS. Al-Syura ayat 38) harus dapat menggambarkan karakter kaum Muslimin dalam urusan dan prosedur politik yang menyangkut masyarakat. Sedangkan inti persoalannya bukan pada sisi teknis-metodisnya, melainkan lebih pada substansi dan tujuan dari syura itu sendiri. Argumen Rahman ini sekaligus menjelaskan--secara implisit-- bahwa rakyat atau umatlah yang memiliki kapasitas moral  untuk lebih mampu mengenali mana yang benar dan salah  atau yang baik dan buruk.

Kepedulian Rahman atas persoalan sosial-kemasyarakatan tidak terbatas pada pergolakan intern umat Islam. Dia juga memperhatikan nasib politik dan kedaulatan kaum Muslim--terutama Palestina--yang terkungkung hegemoni Barat, terutama Amerika Serikat. Pernyataan Rahman tentang Palestina, Israel, dan A.S. ini--seperti disunting Muchtar Pabotinggi-- disampaikan dalam ceramahnya di Pusat Studi Yahudi, Connecticut University, Strorrs pada musin semi 1981:

"Jelas Amerika Serikat sedang memainkan suatu peranan yang amat rawan serta penuh bahaya dan isu harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan rasa tangung jawab. Ini karena Israel secara harfiah merupakan ciptaan Barat, terutama Amerika. Tidak demikian halnya dengan negara-negara Arab, meskipun beberapa di antaranya dapat dimanipulasi hingga tingkat tertentu untuk beberapa waktu. Para pendukung Israel mengira bahwa Israel punya hal bermukim di Palestina dan bahwa bangsa-bangsa Arab serta kaum Muslimin yang justru mempertanyakan hak hidupnya tak memiliki kemanusiaan (Pabotinggi, 1986: 185).

Beberapa refleksi pemikiran Rahman seperti dipaparkan di atas, menggambarkan bahwa perhatian dan kepedulian dalam pergumulan intelektualismenya begitu terhayati. Ia sangat mengkawatirkan munculnya gerakan kadaluarsa (expired movement) yang akhirnya berdampak pada pembangunan mandul (arrested development) di tengah-tengah masyarakat Islam. Tentu saja kekawatiran ini  tidak mengada-ada, karena indikasi-  indikasinya jika tidak dihambat sedemikian rupa akan mejadi kenyataan buruk bagi umat Islam.

Di samping itu, serangkaian aktivitas intelektualismenya terbingkai dalam rimbunan gagasan dan konsep yang orisinil, segar, dan progresif. Tak heran bila Rahman menjadi salah satu tokoh fenomenal yang dapat disejajarkan dengan al-Afghani, Iqbal, dan sederetan tokoh Islam dunia lainnya.

 

Penutup

Demikianlah spektrum ringkas pemikiran Fazlur Rahman, penggagas konsep Neomodernis Islam yang banyak memberikan sumbangan positif  bagi prospek umat Islam, khususnya dalam pergumulan dan dinamika peradaban kemanusiaan modern. Semoga bermanfaat...!

Daftar Pustaka:

Amal, Taufik Adnan.1987. Metode dan Alternatif Neomodernisme Isam Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.

-----.1989. Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.

Fauzi, Ihsan Ali. "Kritik Fazlur Rahman atas Kajian Islam" dalam Ulumul Quran. Vol. III. No.2. 1992.

Hassan, Riffat, dalam majalah mingguan "Tempo, edisi 28 Agustus 1993".

Nor, Mohd. Wan. 1991. "Fazlur Rahman, Kesan Seorang Murid dan Teman" dalam jurnal Ulumul Quran. Vol. II. 1991. 

Pabotinggi, Mochtar. !986. Islam: Antara Tradisi Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan-Muslim. Jakarta: YOI.

Rahman, Fazlur. 1979. Islam (terjemahan Senoaji Saleh dengan judul asli Islam, 1987). Jakarta: Bina Aksara.

-----. 1980. Major Themes of the Quran (terjemahan Anas Mahyudin dengan judul asli Tema-Tema Pokok Alquran, 1983). Bandung: Pustaka.

-----. 1982. Islam and Modernity: Transformation of on Intellectual Tradition. Chicago: Chicago University Press.

Rahardjo, Dawam.1993. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa. Bandung: Mizan.

Sumardi, Mulyanto. 1982. Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran. Jakarta: Sinar Harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun