Rahman memang juga dikenal sebagai mufassir yang ide-idenya sering kontroversial di kalangan umat Islam. Hal ini dapat dilhat dari gagasan-gagasan tafsir kontekstualnya atas tema-tema Al-Qur'an. Gagasan itu dapat dilihat dalam karya-karyanya antara lain: Islam (1979), Major Themes of the Quran (1980), Interpreting the Quran (1986), dan yang lainnya. Beberapa contoh dapat dilihat antara lain dalam penafsiran Rahman pada ayat al-sariq wa al-sariqah faqtha'u aidiyahuma jaza`an bi ma kasabaa nakalan min Allah (QS.5:38) yang menurutnya berarti perintah menghalangi tangan-tangan pencuri untuk mencuri lewat perbaikan ekonomi, bukan dengan "potong tangan" seperti kebanyakan penafsiran konvensional.
Demikian juga pernyataannya "Al-Qur'an adalah firman Tuhan sekaligus kata-kata nabi" yang menimbulkan kontroversi sengit. Padahal pernyataan ini menurut Rahman justru mengokohkan argumentasi tentang proses turunnya wahyu pada nabi saw. yang meliputi tiga keadaan sekaligus: "kelainan" (supranatural), "obyektivitas", dan "sifat verbal" yang dimiliki Al-Qur'an.
Meskipun demikian jika kita kaji lebih serius dan teliti, justru ide-ide Rahman, yang terkesan kontroversial itu, sangat apresiatif dan mengikuti prosedur penafsiran tekstual warisan ulama tradisional. Hal ini terbukti pada penekanan ilmu nuzul  Al-Qur'an  yang dipandang Rahman sebagai salah satu prasarat vital bagi para mufassir agar mereka memperhatikan setting historis dan terhindar dari extravagance penafsiran liar atas Al-Qur'an.
Ketelitian dan kekritisan Rahman terhadap Islam kesejarahan dan Islam normatif dapat juga dilihat dari pendekatan dan metode yang digunakannya atas  kajian-kajian Islam. Dalam artikel mutakhirnya Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay (1985) --seperti diterjemahkan Ihsan Ali Fauzi dalam Ulumul Quran-- Rahman menyuguhkan empat metode dalam kajian keislaman: 1) metode historis; 2) metode fenomenologis; 3) metode personalistik; 4) metode literasi atau sastra. Keempat metode ini mampu menghadirkan kritik sekaligus solusi di seputar doktrin Islam kesejarahan dan persoalan kekinian yang dihadapi umatnya.
Dalam banyak hal, keempat metode di atas cukup ampuh dalam menyangkal pandangan negatif dari sejumlah tokoh orientalis terkemuka. Di antara mereka adalah: Ignaz Goldziher dengan karya monumentalnya Muhammedanische Studien (1890) yang secara metodologis oleh Rahman dipandang 'mendua', yaitu menguatkan sekaligus melemahkan, terutama pandangannya tentang hadits sebagai rekaman produk generasi awal, bukan murni dari nabi. Juga D.S. Margoliouth denan karyanya the Early Development of Muhammedanism (1914), dan J. Schacht dengan karyanya the Origins of Muhammadan Jurisprudence  (1952) serta sejumlah orientalis lain.
Di samping seputar doktrin Islam, Rahman juga merefleksikan ide- Â idenya pada persoalan sosial-kemasyarakatan yang dihadapi umatnya, termasuk demokrasi. Untuk yang terakhir, Rahman dalam artikelnya A Recent Controversy over the Interpretation of Syura--seperti disunting Dawam Rahardjo--secara implisit pernah memberikan kritikan pada konsepsi syura yang digagas A.A. Maududi dan Abdul Hamid Mutawalli (guru besar Ilmu Hukum Islam di Universitas Alexandria, Mesir). Keduanya berpendapat bahwa lembaga syura tidak sama dengan lembaga pemilu dan partisipasi massa dalam proses politik, sekalipun keduanya mengakui keberadaan parlemen sebagai salah satu bentuk pelembagaan syura.
Alasan kedua tokoh di atas---atas kekhasan sekaligus perbedaan syura dari lembaga pemilu dan partisipasi massa non-Islam---adalah didasarkan pada dua premis. Pertama, orang kebanyakan [kaum awam] pada dasarnya tidak memiliki kemampuan untuk sampai pada keputusan yang tepat mengenai urusan umum atau kemaslahatan umat. Kedua, fakultas moral orang kebanyakan tidak dapat diandalkan untuk bisa menentukan nilai dan tindakan yang benar, padahal prilaku negara harus dilakukan di antara Ahl al-Hall wa al-'Aqd  yang menjadi anggota dari Majlis Syura. Mereka inilah yang berhak menentukan seorang kepala negara (Rahardjo,1993:258- 259).
Bagi Rahman, kasus syura (seperti tergambar dalam QS. Ali Imran ayat 159 dan QS. Al-Syura ayat 38) harus dapat menggambarkan karakter kaum Muslimin dalam urusan dan prosedur politik yang menyangkut masyarakat. Sedangkan inti persoalannya bukan pada sisi teknis-metodisnya, melainkan lebih pada substansi dan tujuan dari syura itu sendiri. Argumen Rahman ini sekaligus menjelaskan--secara implisit-- bahwa rakyat atau umatlah yang memiliki kapasitas moral  untuk lebih mampu mengenali mana yang benar dan salah  atau yang baik dan buruk.
Kepedulian Rahman atas persoalan sosial-kemasyarakatan tidak terbatas pada pergolakan intern umat Islam. Dia juga memperhatikan nasib politik dan kedaulatan kaum Muslim--terutama Palestina--yang terkungkung hegemoni Barat, terutama Amerika Serikat. Pernyataan Rahman tentang Palestina, Israel, dan A.S. ini--seperti disunting Muchtar Pabotinggi-- disampaikan dalam ceramahnya di Pusat Studi Yahudi, Connecticut University, Strorrs pada musin semi 1981:
"Jelas Amerika Serikat sedang memainkan suatu peranan yang amat rawan serta penuh bahaya dan isu harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan rasa tangung jawab. Ini karena Israel secara harfiah merupakan ciptaan Barat, terutama Amerika. Tidak demikian halnya dengan negara-negara Arab, meskipun beberapa di antaranya dapat dimanipulasi hingga tingkat tertentu untuk beberapa waktu. Para pendukung Israel mengira bahwa Israel punya hal bermukim di Palestina dan bahwa bangsa-bangsa Arab serta kaum Muslimin yang justru mempertanyakan hak hidupnya tak memiliki kemanusiaan (Pabotinggi, 1986: 185).
Beberapa refleksi pemikiran Rahman seperti dipaparkan di atas, menggambarkan bahwa perhatian dan kepedulian dalam pergumulan intelektualismenya begitu terhayati. Ia sangat mengkawatirkan munculnya gerakan kadaluarsa (expired movement) yang akhirnya berdampak pada pembangunan mandul (arrested development) di tengah-tengah masyarakat Islam. Tentu saja kekawatiran ini  tidak mengada-ada, karena indikasi-  indikasinya jika tidak dihambat sedemikian rupa akan mejadi kenyataan buruk bagi umat Islam.