Mohon tunggu...
Dr Halid MAg
Dr Halid MAg Mohon Tunggu... Dosen - Dr. Halid, M.Ag. adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta.

Dr. Halid, M.Ag. (Halid Alkaf) adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta (sejak tahun 2000 - sekarang); juga menjadi penulis, peneliti, dan editor. Sejak 2006 hingga sekarang menjadi adviser dan Content QC di PT Merak Multimedia dan PT Falcon Publishing.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fazlur Rahman: Tokoh Neomodernisme Islam (Bagian 1)

29 Desember 2024   20:39 Diperbarui: 29 Desember 2024   20:39 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pengantar

Bagi kalangan umat Islam yang intens mempelajari pemikiran modern di dunia Islam, tentu tidak asing lagi dengan nama Fazlur Rahman. Tokoh kelahiran Hazara, Pakistan, pada 21 September 1919 ini, oleh sebagian kalangan dijuluki sebagai "Bapak Neomodernisme Islam". Rahman telah mewariskan sederetan pencerahan intelektual untuk pengembangan paradigma dan rekonstruksi Islam masa depan. Buya Syafi'i Maarif---tokoh intelektual Islam Indonesia yang juga menjadi salah satu murid Rahman---pernah berkomentar: "dia [Rahman-pen] adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam masalah pembaruan pemikiran Islam secara total dan tuntas".

Rahman mengidentifikasi dirinya sebagai reformis muslim yang sangat optimis dengan posisi dan penyelesaiannya sendiri, juga dengan pengembangan paham yang rasional dan progresif. Karakter ini diasosiasikannya pada sejumlah tokoh besar dunia lainnya, seperti: Iqbal, Muhammad Ibn Abdul Wahab, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Hazm. Sedangkan karakter antagonistik bagi Rahman adalah Abu Hamid al-Ghazali; seorang reformis yang sangat hati-hati dengan latar belakang intelektual yang tidak konstan dan cenderung labil.

Rahman juga dikenal sebagai sosok intelektual yang apresiatif sekaligus kritis terhadap Islam kesejarahan dan pergumulan umatnya dengan proses modernisme. Sebagai seorang intelektual, Rahman sadar betul akan peran dan tanggung jawabnya bagi proyek masa depan umat Islam, meskipun resiko pahit harus ditanggungnya; berupa sejumlah kontroversi dan hujatan yang datang silih berganti. Namun Rahman memang seorang pribadi yang utuh dan kokoh dalam pendirian. Pribadi yang demikian sempat digambarkan Wan Mohd. Nor---cendekiawan muslim Malaysia yang menjadi salah satu murid Rahman---ketika Rahman menanggapi seputar isu-isu kontroversial: "Nor, umat Islam telah terlena ratusan tahun. Kalau anda mau membangunkannya, seharusnya anda menggunakan shock treatment  dan bukannya dengan cara yang lemah lembut" (Wan, 1991: 107).

Hal lain yang juga menarik untuk adalah konsep "Neomodernisme Islam" yang ditawarkan Rahman. Konsep ini berupa metode dan gerakan alternatif yang diyakininya mampu memberikan arahan dan pijakan bagi proyek ke depan umat Islam. Pengaruh dari konsep ini dapat dilihat di beberapa negara dan kalangan intelektual muda Islam, termasuk di Indonesia, di mana Nurcholish Madjid yang sempat berguru kepada Rahman, menjadi tokoh utamanya di negeri ini. Bagaimana dan mengapa Rahman berpijak kokoh pada konsep ini, nampaknya perlu dikaji lebih lanjut.

Rahman, Pakistan, dan Karier Intelektulismenya

Rahman lahir pada 21 September 1919 (bersamaan tahun dengan tokoh Islam Rasional Indonesia, Harun Nasution), di distrik Hazara, daerah Barat Laut Pakistan. Daerah ini memang terkenal sebagai tempat lahirnya tokoh-tokoh pemikir liberal, seperti: Iqbal, Syed Amir Ali, dan Syekh Wali Allah. Iklim intelektual yang kondusif ada di daerah ini, sehingga tidak heran bila Rahman kemudian tumbuh menjadi salah satu tokoh rasional dan modernis.

Rahman dibesarkan dari lingkungan Sunni dengan tradisi mazhab Hanafi; mazhab yang secara umum lebih rasionalis dibanding tiga mazhab Sunni lainnya: Syafi'i, Maliki, dan Hanbali. Rahman kecil mengenyam pendidikan agama dari ayahnya langsung, seorang guru agama tradisonalis dari Deoban, dan pendidikan formal dari madrasah bergengsi di anak benua Indo-Pakistan yang didirikan oleh Muhammad Qasim Nanautavi (Amal,  1989: 80). Muhammad Qasim Nanautavi (m. 1880) dikenal sebagai tokoh intelektual dan sufi besar asal Deoband, India.

  Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya pada jurusan Sastra Arab di Departemen Ketimuran Universitas  Punjab dan memperoleh gelar sarjana pada 1942. Selanjutnya pada 1946, Rahman mengambil program Ph.D. di Lahore dan di permulaan studinya bertemu dengan A.A. Maududi. Pertemuan ini sempat direkam Rahman dalam bukunya Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition (1982:117): "...The more you study, the more your practical faculties will be numbed. Why don't you come and join the Jama'at? The field is wide open". (...Semakin banyak kamu belajar, kemampuan praktismu semakin berkurang, mengapa tidak bergabung saja dengan Jama'at? Pintu terbuka untukmu"). Namun ajakan itu ditolak Rahman dengan halus dan santun.

  Sekalipun puluhan tahun tinggal di Indo-Pakistan, Rahman tetap merasa tidak puas, bahkan kecewa terhadap perkembangan pendidikan dan iklim intelektual yang berlangsung. Yang lebih membuat kesal Rahman justru kebanyakan tokoh dan pemikir negeri itu merasa cepat puas dan betah dalam euphoria politik. Mereka bukannya mengerahkan potensi dan kapasitas intelektualnya pada tantangan-tantangan keras ke depan. Pengembangan orientasi pendidikan Islampun kemudian hanya menjadi slogan kosong.

Kecaman Rahman bukan hanya ditujukan di negerinya, tetapi juga di wilayah negeri Timur Tengah, terutama al-Azhar, Mesir. Untuk yang terakhir ini, dia berkomentar :"...But none of these works forced the authorities of al-Azhar to modify the content of their Islamic teaching. The reasons are not far to seek. The fact is that al-Azhar represents the late medieval body of Islamic thought with certain new and minor modifidations (Rahman, 1982: 100)". ("...Namun tidak ada dari karya-karya itu yang mampu menggugah para otoritas al-Azhar untuk memodifikasi ajaran Islam mereka. Alasannya tidak sulit dijawab, yaitu fakta bahwa al-Azhar mewakili warisan model pemikiran Islam abad pertengahan akhir dengan modifikasi baru yang minor).

Situasi yang demikian memaksa Rahman hengkang ke luar negeri. Sasaran utama justru di Barat, yaitu Oxford University, Inggris. Di universitas terkenal ini, di samping mengikuti kuliah-kuliah formal, dia juga giat mempelajari bahasa-bahasa Barat. Sejumlah bahasa yang dikuasaina Rahman adalah: Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab, dan Urdu sendiri sebagai bahasa tanah airnya. Penguasaanya pada sejumlah bahasa tersebut, pada gilirannya, sangat membantu upayanya untuk memperluas dan memperdalam studi-studi Islam, lewat penelusuran literatur-literatur keislaman yang ditulis para orientalis dalam bahasa mereka. Dia banyak menimba ilmu dari Barat. Meski demikian, dia tetap kritis terhadap pandangan mereka yang berkaitan dengan Islam dan umatnya.

Pada tahun 1950, Rahman berhasil merampungkan studi doktoralnya di Oxford University tersebut dengan disertasi bertema "Avicenna's Psychology" (Psikologi Ibnu Sina). Dia juga menerjemahkan salah satu karya monumental Ibn Sina berjudul Kitb al-Najh  dan mengkaji lebih mendalam tentang pemikiran-pemikiran Ibn Sina. Kajian intensif tentang Ibn Sina ini, menjadikan Rahman dikenal sebagai ahli tentang Ibn Sina di kalangan sarjana ketimuran (Amal, 1989: 82).

Setelah meraih gelar Ph.D dari Oxford University pada 1950, Rahman tidak langsung kembali ke Pakistan yang saat itu masih baru merdeka. Kecemasan bahwa sarjana keislaman yang terdidik di Barat jika kembali ke negerinya akan dikucilkan bahkan ditindas, masih kuat menghantui benak Rahman. Akhirnya dia memutuskan untuk menetap sambil mengajar di Durham University, Inggris, dan kemudian di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, di mana dia menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy. Di Kanada inilah, Rahman menjalin persahabatan yang karib dengan orietalis kenamaan, W.C. Smith yang ketika itu menjabat sebagai Directur Institute of Islamic Studies, McGill University.

  Pada awal 1960-an, Rahman akhirnya kembali ke negerinya. Pendidikan formal serta pengalamannya mengajar bertahun-tahun di sarang orientalisme, di tambah memang pengaruh dari pemikir-pemikir liberalis di Indo-Pakistan, menjadikan Rahman sebagai modernis Pakistan yang berpikiran liberal dan radikal.  Istilah "liberal" dan "radikal" di sini adalah, Rahman berusaha menghindari subjektivitas personal dan ikatan emosional pada mazhab-mazhab tertentu.

Ketika ditanyakan padanya tentang "shalat yang tiga", dia secara bebas mengemukakan bahwa praktek kalangan Syi'ah tentang itu sebagai bukti historis yang absah, di samping "salat yang lima" di kalangan Sunni. Keduanya pernah dipraktekkan Nabi SAW. Rahman justru mengkritik kalangan Sunni yang membuat pembakuan "shalat yang lima" dengan menenggelamkan (bahkan menganggap salah) "shalat yang tiga" sebagai alternatif yang keabsahannya sama-sama kuat (Rahman, 1979: 36; Amal, 1989: 79).

Ada setidaknya tiga kubu yang menyebabkan tensi politik-keagamaan cukup tinggi di Pakistan saat itu: fundamentalis, modernis, dan tradisionalis. Dalam observasi Rahman---seperti disunting Dawam Rahardjo---ketiga golongan ini mempunyai ciri khas penting. Pertama, golongan fundamentalis yang bercita-cita menegakkan nilai-nilai "abad pertengahan" dalam dunia kontemporer, sebagai reaksi terhadap domenasi Barat sekuler yang dinilai dekaden. Kedua, golongan modernis yang melihat Islam dalam kaca mata Barat, karena pengaruh pendidikan yang menyebabkan mereka tidak puas dengan status quo dunia Islam. Golongan kedua ini, sebagaimana golongan fundamentalis, merasa gelisah dengan kemiskinan spiritual abad modern. Namun perbedaannya adalah, yang pertama memahami dan ingin menyesuakan diri dengan nilai- nilai baru, termasuk dari Barat. Sedangkan yang kedua bersikap menolak dan tidak mau memahami. Ketiga, golongan tradisionalis-konservatif yang puas dengan warisan Islam mapan dan ingin tetap mempertahankannya. Golongan ini berbeda dengan kaum fundamentalis, karena yang terakhir ini menginginkan kebangkitan dan perubahan dengan berpegan pada ajaran Islam yang murni (Rahardjo,1993:268).

Rahman sendiri dimasukan ke dalam kubu modernis sehingga menimbulkan sederetan kritik dan hujatan pedas pada diriya. Ketika Rahman ditunjuk sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, banyak hujatan datang dari kalangan tradisional. Mereka berpendapat bahwa jabatan itu merupakan hak priveles seorang 'alim  yang trdidik secara tradisional (Amal,1989:84). Demikian juga kunjungan singkatnya di negeri kita pada sekitar Agustus 1985, Rahman memenuhi undangan seminar Kecenderungan Baru Kajian Islam yang diselenggarakan LIPI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Departemen Agama. Di sini ia sempat diwawancarai majalah mingguan Tempo prihal hukum "potong tangan", ia menegaskan :"sangat mengerikan...merupakan tradisi yang lahir di Arab Saudi, bukan dari hukum Islam (Tempo, Edisi 24 Agustus 1985, h.78). Menurut penuturan Syafi'i Maarif, komentar Rahman di Tempo tentang potong tangan ini diterjemahkan kebahasa Inggris dan Arab oleh pihak yang tidak bersimpatik dan menyerahkannya pada Rabithah 'Alam Islami  di negeri- negeri Muslim. Para ulama Rabithah marah pada pernyataan itu, dan ketika didengar oleh Rahman, ia menantang mereka berdiskusi tentang hukum potong tangan itu, tetapi mereka tidak memenuhinya (Maarif, dalam Amal, 1989:106).  

Demikian juga pemikiran keagamaan Rahman lainnya yang membuahkan kontroversi-kontroversi di Pakistan. Setidaknya ada tujuh kontroversi---di bidang pemikiran hukum Islam---yang sempat dicatat oleh Taufik Adnan Amal: 1) kontroversi tentang hadits dan sunnah; 2) kontroversi tentang ordonansi kukum kekeluargaan Muslim; 3) kontraversi tentang Keluarga Berencana; 4) kontroversi tentang riba dan bunga bank; 5) kontroversi tentang zakat sebagai pajak; 6) kontroversi tentang sembelihan mekanik; 7) kontroversi tentang wahyu Al-Qur'an.                         

Pada 1970, Rahman akhirnya kembali ke Chicago dan menetap di sana. Selama di Chicago, Rahman giat melakukan riset tentang keislaman dan perkembangan umatnya. Bersama Leonard Binder, dia pernah memimpin sebuah proyek penelitian tentang "Islam dan Perubahan Sosial" dengan melibatkan banyak sarjana yang masih muda. Mulyanto Sumardi sempat menyunting hasil riset itu yang memfokuskan perhatiannya pada lima tema pokok: 1) pendidikan agama dan perubahan peranan ulama dalam Islam; 2) syari'ah dan kemajuan ekonomi; 3) keluarga dalam masyarakat dan hukum Islam masa kini; 4) Islam dan prihal legalitas politik; 5) perubahan konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat Muslim masa kini (Sumardi, 1982: 155).

Di samping kegiatan riset dan pelatihan selama berada di Chicago, Illinois, Amerika, Rahman juga menghasilkan sejumlah karya tulis bermutu, antara lain: The Philosophy of Mulla Sadra (1975); Islam (1979); Major Theme of the Quran (1980); Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982); dan sederetan karya lainnya. Karya lain Rahman adalah Prophecy in Islam (1958), Selected Letters of Seikh Ahmad Sirhindi (1968), Islamic Methodology in History (1984), dan Health and Medicine in Islamic Tradition: Change and Identity (1987). Di kota ini pula, Rahman menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 26 Juli 1988. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun