Seorang pemimpin yang berintegritas dan bermartabat, akan menghasilkan kebijakan yang positif dan produktif di kalangan mereka yang dipimpin. Kadar integritas dan martabat itu diukur dari seberapa tegas dan konsisten seorang pemimpin dalam menjalankan peraturan dan kebijakan yang dihasilkan.
Salah satu prinsip utama seorang pemimpin adalah harus berani "menderita" demi kepentingan bangsa dan negara. Pepatah kuno Belanda, Leiden is lijden (Memimpin adalah menderita), tampaknya belum tercermin dalam kepemimpinan saat ini. Maksud "menderita" di sini adalah merujuk pada keberanian sang pemimpin untuk menghindar dari berbagai sikap dan perilaku yang mengarah pada materialisme, nepotisme, dan pragmatisme.
Slogan atau pepetah "Memimpin adalah menderita" itu, juga bisa dimaknai bahwa dirinya harus siap berkomitmen menjalankan kebijakan dan peraturan yang lebih mengutamakan kepentingan yang lebih luas; demi kepentingan negara dan bangsa---meski hal itu mungkin akan mengurangi gemerlap materi dan kekuasan yang akan diperoleh dirinya, keluarganya, kerabatnya, dan kroninya. Â
Mentalitas Yang DipimpinÂ
Selain pemimpin harus didukung dan bersinergi dengan mentalitas yang dipimpin (terpimpin). Apalah artinya seorang pemimpin, jika masyarakat yang dipimpin belum siap dan enggan dibina ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Slogan "revolusi mental" yang sempat membahana di negeri ini, seolah menyusut perlahan, dan kemudian padam.
Lihatlah di sekitar kita, masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan, menerobos lampu lalu lintas, berjualan liar di pinggir jalanan pasar, dan perilaku kurang baik lainnya yang menunjukkan mentalitas yang rendah dan tidak bermartabat. Lihatlah anak-anak dan para remaja yang masih senang nongkrong-nongkrong tidak jelas, berkerumun membentuk geng motor jalanan, perkelahian dan tawuran antarsekolah, dan lainnya.
Itu menjadi salah satu indikator bahwa masyarakat yang dipimpin, belum bisa bersinergi dengan pemimpinnya; entah karena kurangnya sosialisasi, pembinaan, pendampingan, dan sejenisnya, atau karena krisis keteladanan dari pemimpin mereka; sehingga mereka juga merasa 'menikmati' sikap dan perilaku pragmatis, materialistik, dan hedonistik. Pada akhirnya, poa hubungan yang partisipatoris dan simbiosis-mutualistik antara pemimpin dan yang dipimpin menjadi sulit untuk dibangun.
Pemberdayaan Masyarakat
Membangun tatanan masyarakat yang adil dan berwibawa tidak cukup hanya melalui jalur-jalur struktural dan hukum, melainkan juga perlu adanya pemberdayaan masyarakat yang lebih humanis dan bersinambungan. Masyarakat perlu diberdayakan secara komprehensif; mulai dari pola pikir, mental, dan perilaku; hingga terbentuk sebuah budaya dan karakter bangsa yang lebih terdidik, santun, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Membangun pemberdayaan di masyarakat bukan hanya pada aspek fisik saja: infra struktur, bantuan pangan seperti BLT [Bantuan Langsung Tunai], sekolah gratis, dan sejensinya. Lebih dari itu dan bahkan lebih penting, adalah membangun kesadaran akan pentingnya menjadi manusia yang memiliki karakter dan sikap sebagai bangsa yang maju dan berperadaban modern: memiliki kedisiplinan, menghargai pekerjaan, menjaga lingkungan, mematuhi peraturan, berempati pada sesama, dan sebagainya. Tentu saja, upaya menuju ke arah itu bukan pekerjaan yang mudah, perlu peran serta pemerintah, pemuka agama, dan tokoh masyarakat, agar program pemberdayaan masyarakat itu bisa berjalan baik, sistemik, dan berkelanjutan.
Pendidikan Karakter