Mohon tunggu...
Dr Halid MAg
Dr Halid MAg Mohon Tunggu... Dosen - Dr. Halid, M.Ag. adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta.

Dr. Halid, M.Ag. (Halid Alkaf) adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta (sejak tahun 2000 - sekarang); juga menjadi penulis, peneliti, dan editor. Sejak 2006 hingga sekarang menjadi adviser dan Content QC di PT Merak Multimedia dan PT Falcon Publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diskursus Islam & Politik (Bagian 2): Polemik Menghadirkan Islam Indonesia di Era Modern

31 Desember 2022   20:53 Diperbarui: 31 Desember 2022   21:18 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Titik persamaan antara Wahid dan Nurcholish tersebut bisa dilihat dari perspektif nilai-nilai etik kebangsaan yang merujuk pada Q.S. (al-Hujurāt [49]: 13 ) yang di dalamnya terdapat terminologi syu’ūb (suku-suku) dan qabā`il (kabilah-kabilah atau bangsa-bangsa). Menurut kedua tokoh Islam Indonesia ini, kedua terminologi ini tidak menganjurkan sekaligus tidak menyinggung format negara, melainkan mengandung arti substantif berupa nilai-nilai etik komunitas masyarakat.  

Beragam terminologi sosial-politik dalam Al-Qur`an, sunah Nabi SAW, maupun praktik politik umat Islam di masa lalu itu, bisa dijadikan alasan teologis bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai universal dan bisa menjadi inspirasi bagi semua umat manusia dari semua golongan dan agama dalam penegakan sebuah negara. Nilai-nilai etik kemasyarakatan dalam beragam dimensi kehidupan, termasuk dalam konteks sosial-politik, yang terkandung dalam Islam pada dasarnya selaras dengan konsep rahmatan lil ‘ālamīn (rahmat bagi alam semesta) yang dibawa Nabi Muhammad SAW. 

Pengayaan nilai-nilai universal ajaan Islam dalam kaitannya antara sistem politik dan pemerintahan bisa juga merujuk pada terminologi al-syūrā (musyawarah), al-ummah (umat, bangsa), al-‘adl (keadilan), ta’āruf (komunikasi, saling kenal), ta’āwun (kerjasama), dan lainnya. 

Beberapa terminologi yang terkandung dalam Al-Qur`an ini, bisa dijadikan pijakan doktrin-normatif yang berisi nilai-nilai etika sosial bagi pembentukan sistem pemerintahan dan kenegaraan dalam konteks negara bangsa (nation-state) di era modern seperti sekarang. Artinya, beberapa konsepsi universal dalam Al-Qur`an maupun praktik kehidupan yang dijalankan Nabi SAW, bisa dikaitkan secara kontekstual dengan perkembangan lokal yang ada di sebuah negara tertentu.

Dengan merujuk pada konsepsi di atas, atribut-formalistik sebuah negara Islam menjadi tidak strategis dan penting. Dalam pandangan pemikir dan aktivis Islam berhaluan progresif tersebut, yang terpenting justru adalah menumbuhkan nilai-nilai etik dan moralitas sosial di masyarakat. Apalagi Indonesia adalah negara yang memiliki kemajemukan agama, golongan, suku bangsa, dan ras, sehingga upaya pencantuman negara Islam akan menimbulkan kecemburuan sosial yang serius.  Pada akhirnya, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan polarisasi dalam memandang dan menyikapi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di masa depan.

Jargon “desakralisasi” yang dipopulerkan Nurcholish, pada dasarnya mengarah pada pengambaian atribut-atribut formalisme Islam dalam konteks kehidupan umat Islam, baik dalam kaitannya dengan sosial-keagamaan maupun sosial-politik, termasuk ekonomi, budaya, dan lainnya. Dengan demikian, desakralisasi mengahruskan pentingnya beragama dalam bingkai yang kontekstual dan substantif sehingga nilai-nilai yang dikembangkan kaum beragama menjadi lebih dinamis dan bersinergi dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. 

Sumber referensi: 

  • Abdurrahman Wahid, “Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?” (majalah Tempo, 26 Maret 1983).
  • Agus Edi Santoso (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid – Mohamad Roem (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1997).    
  • Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998).
  • Amien Rais,  “Tidak ada Negara Islam” (majalah Panji Masyarakat, No. 379 tahun 1982).
  • Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998).  
  • Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung: Mizan, 2000).
  • M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995).  
  • Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993, edisi kelima).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun