Mohon tunggu...
Dr Halid MAg
Dr Halid MAg Mohon Tunggu... Dosen - Dr. Halid, M.Ag. adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta.

Dr. Halid, M.Ag. (Halid Alkaf) adalah dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta (sejak tahun 2000 - sekarang); juga menjadi penulis, peneliti, dan editor. Sejak 2006 hingga sekarang menjadi adviser dan Content QC di PT Merak Multimedia dan PT Falcon Publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diskursus Islam & Politik (Bagian 2): Polemik Menghadirkan Islam Indonesia di Era Modern

31 Desember 2022   20:53 Diperbarui: 31 Desember 2022   21:18 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Upaya melakukan strukturisasi Islam dalam bentuk hubungan antara negara dan pemberlakuan syariah Islam, dalam pengertiannya yang luas, seperti disinyalir Natsir, juga didukung oleh Amien Rais, meski dengan beberapa catatan kritis. Walaupun Amien secara tegas mengatakan bahwa tidak ada negara Islam, tetapi dia masih tetap menempatkan Islam sebagai parameter berbangsa dan bernegara. Pernyataan Amien bahwa “Tidak ada Negara Islam” itu, dimuat pertama kali di majalah Panji Masyarakat, No. 379 tahun 1982.

Menurut Amien, Islam dapat menerima bentuk pemerintahan republik selama kehendak rakyat masih cocok dengan kemauan Al-Qur`an. Namun demikian, jika berbenturan dengan kebenaran dan wahyu Ilahi seperti yang dikandung Al-Qur’an, keputusan yang sudah dikehendaki seratus persen oleh rakyat tersebut (dalam bentuk republik) harus secara tegas ditolak dan dilawan mati-matian. Jadi, menurut Amien, Islam bisa menerima musyawarah, demokrasi, dan republik, jika ukuran akhirnya adalah kebenaran mutlak yang datang dari Allah SWT.  

Hal yang mungkin perlu dipertanyakan adalah mengapa pemikiran Amien pada dekade 1980-an awal dan berkembangan berikutnya mengalami perubahan. Hasil wawancara Panji Masyarakat dengan Amien pada awal 1980-an itu mengisyaratkan pemikiran Amien yang progresif-liberal tentang Islam dan negara, tetapi di penghujung tahun 1990-an justru terbalik, cenderung konservatif. Bisa jadi, pemikiran Amien yang berubah-ubah itu (dari penilaian yang bercorak substantif menjadi formalistik) didorong oleh motif tertentu. 

Pertama, ingin menyembunyikan identitas atau pemikiran aslinya karena melihat adanya simpatisan dari beberapa ormas Islam seperti Masjumi yang masih kuat. Kedua, awal 1980-an masih masa-masa ‘rawan’ membicarakan soal Islam yang berhaluan konservatif-formalistik (misalnya dukungan pada pemberlakuan syariat Islam atau Piagam Jakarta) sehingga penegasan Amien bahwa tidak ada negara Islam, bisa jadi karena dipengaruhi oleh motif dan konteks seperti tersebut. Ketiga, mencari simpati massa untuk penggalangan dukungan pada dirinya, terutama pada Pemilu 1999 di mana dia sendiri menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) periode 1999 – 2004.

Meskipun PAN berasaskan Pancasila (tidak berasaskan Islam) yang karenanya termasuk kategori partai nasionalis, namun Amien sadar bahwa identifikasi masyarakat Indonesia (khususnya umat Islam) terhadap dirinya sebagai kader Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan sama sekali. Dan sebagian masyarakat Muhammadiyah, masih memiliki ikatan emosional yang kuat dengan partai Masjumi di masa lalu. Tidak heran bila Amien tidak ‘terlalu liberal’ dalam menyuarakan ide-ide sosial-politiknya, terutama dalam kaitannya antara Islam dan negara.

Di saat penegasan Amien bahwa tidak ada negara Islam itu (ketika Amien diwawancara Panji Masyarakat pada awal 1980-an), Nurcholish masih ragu; apakah benar-benar Amien sudah berubah (dari sebelumnya yang meyakini adanya negara Islam—pen) atau karena motif lain. Keraguan Nurcholish itu ditulis ketika melakukan surat-menyurat dengan Moh. Rom. Nurcholish kemudian menjelaskan dalam isi surat itu sebagai berikut: 

“Dengan sendirinya saya sangat menyetujui wawasan teman saya itu (Amien—pen) dan terbit keinginan untuk memberi komentar dukungan. Wawancara Saudara Amien itu saya tunjukkan kepada Saudara Ahmad Syafi’i Ma’arif, teman saya yang lain (sudah memperoleh Ph.D-nya dan sekarang sudah kembali ke Yogya). Saudara Syafi’i sendiri merasa rada heran terhadap Saudara Amien karena, katanya, gagasan itu tidak sejalan dengan jalan pikirannya yang selama ini dikenalnya. Mungkin Amien sedang menghadapi berbagai desakan di tanah air”.

Terlepas dari fluktuatifnya pemikiran Amien tersebut, pada dasarnya pemikirannya itu lebih menempatkan Islam pada tataran doktrin-normatif. Istilah “kebenaran mutlak” yang ditegaskan Amien, memperkuat asumsi bahwa perspektif doktrin-normatif masih sangat kuat dalam pemikirannya itu. Padahal problematika sosial-politik umat Islam (termasuk sosial-budaya, ekonomi, dan lainnya) tidak cukup hanya dicermati dari perspektif teologi-normatif, melainkan harus dikaji lebih jauh pada problematika sosial-empirik. 

Dengan demikian, bisa disimpulkan secara sederhana bahwa Amien sebenarnya salah satu tokoh Islam Indonesia yang menganjurkan pentingnya mengembangkan nilai-nilai Islam dalam bentuknya yang formalistik; dalam arti mengikuti standar syariah Islam, meski dalam pengertian yang substantif, tidak pada pengertian struktural dalam bentuk kenegaraan.

Berbeda dengan Amien yang cenderung menempatkan Islam (tepatnya doktrin Islam) pada tataran normatif, Nurcholish Madjid lebih memandang Islam dalam konteks pergumulan dengan realitas sosial-keagamaan dan sosial-politik. Nurcholish menganjurkan perlunya umat Islam Indonesia mencari hubungan yang substantif antara Islam dan politik (demokrasi). Nurcholish termasuk tokoh-pemikir yang menganjurkan umat Islam Indonesia agar mencari nilai-nilai substantif dari ajaran agamanya, bukan terjebak pada atribut-simbolik (seperti mencari hubungan teologis antara nama sebuah partai dengan keyakinan-keagamaan).

Namun begitu, Nurcholish tidak berarti menegasikan sama sekali atribut-simbolik (seperti institusi atau partai politik), karena itu juga penting, setidaknya menjadi instrumen bagi pengejewantahan ide-ide yang substantif. Tentu saja ukurannya harus jelas, yaitu bahwa atribut-simbolik tersebut tidak boleh menegasikan nilai-nilai substantif yang ada di dalamnya.

Dalam kaitan tersebut, salah satu cendekiawan muslim yang juga pengamat politik Islam Indonesia, Bahtiar Effendy, menilai bahwa apa yang dilakukan Nurcholish dengan bersedia masuk pada institusi ICMI atau berkampanye untuk PPP pada pemilu 1977, bukanlah penyimpangan dari slogan “Islam Yes, Partai Islam No” yang dilontarkan Nurcholish pada awal 1970 itu. Bahtiar juga menegaskan bahwa pernyataan budayawan Emha Ainun Nadjib, “Islam Yes, Partai Islam Yes” bukanlah secara substansial mengasyaratkan revisi simbolik atas frase Nurcholish tentang  “Islam Yes, Partai Islam No”. 

Pemikiran teologi-keagamaan yang dilontarkan Nurcholish tersebut, terutama kaitan antara sekularisasi dan liberalisasi dengan problematika keberagamaan umat Islam Indonesia, juga bisa dilihat dari pandangannya seputar Islam dan negara, termasuk hubungannya dengan ideologi negara Pancasila. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo, edisi 29 Desember 1984, Nurcholish menegaskan bahwa istilah atau perkataan “negara Islam” sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah.

Dia merujuk pada referensi kesejarahan di mana nabi Muhammad sendiri baru dimakamkan tiga hari setelah meninggal. Hal itu menurut Nurcholish, karena penggantinya tidak jelas. Pola suksesi tidak jelas. Dampak dari keadaan itu adalah ketidakjelasan. Dengan tetap konsisten pada pandangannya di era 1970-an, Nurcholish berpandangan bahwa gagasan negara Islam tidak lain hanyalah merupakan kecenderungan apologetis.  

Penegasan Nurcholish bahwa tidak ada negara Islam sebenarnya bisa dipahami dari mainstream pemikirannya yang bermuara pada pemaknaan nilai-nilai substantif dan upaya sekularisasi ajaran Islam, dalam pengertiannya yang kontekstual dan tidak terjerumus pada simbolisme agama. Dalam arti bahwa agama tidak dijatuhkan nilainya hanya pada batas simbol (atribut-keagamaan) dengan menegasikan nilai-nilai substantif yang ada di dalamnya. Pada akhirnya, ide-ide Nurcholish tentang tidak adanya atau tidak pentingnya status negara Islam, juga mengatarkan pada pandangannya bahwa Pancasila sebagai ideologi negara bagi bangsa Indonesia.

Menurut Nurcholish, sikap menerima umat Islam Indonesia terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah sebanding dengan Konstitusi (Piagam—pen) Madinah karena nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam, juga karena fungsinya sebagai kesepakatan antar golongan untuk membangun masyarakat politik secara bersama. Demikian pula sama halnya dengan umat Islam Indonesia yang tidak memandang Pancasila dan UUD 1945 itu sebagai alternatif terhadap agama Islam, Rasulullah saw dan para pengikut nya pun tidak pernah terbetik dalam pikiran bahwa Konstitusi Madinah itu menjadi alternatif bagi agama baru mereka.   

Rujukan historis yang dijelaskan Nurcholish di atas, dengan membandingkan realitas historis umat Islam Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. yang kemudian menghasilkan al-Shahīfah al-Watsīqah (perjanjian damai antara umat Islam dan umat Yahudi ketika Rasulullah saw. di Madinah—pen) atau Konstitusi Madinah—dalam istilah Nurcholish—di satu sisi, dengan anjurannya agar umat Islam Indonesia tidak memiliki beban psikologis dan tidak mencurigai Pancasila sebagai upaya pemerintah melakukan domistifikasi Islam Politik di sisi lain, merupakan upaya cerdas Nurcholish untuk menempatkan Islam dalam konteks keindonesiaan secara proporsional dan bijak.

Hampir sama dengan Nurcholish dalam memandang artikulasi politik Islam Indonesia adalah Abdurrahman Wahid. Menurut Wahid, dalam terminologi bahasa Arab, negara itu sama dengan al-hukm yang berarti hukum, sehingga tidak memiliki bentuk negara sama sekali maupun sistem pemerintahan definitif seperti yang ada di masa modern sekarang. Yang terpenting bagi Wahid adalah etik kemasyarakatan dan komunitas. Pemahaman Wahid tentang hal tersebut dapat dilihat dalam tulisannya, “Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama”, dalam jurnal Aula, edisi Mei 1985.

Wahid berpedoman pada realitas historis bahwa suksesi kekuasaan dalam Islam tidak memiliki format yang tetap dan tunggal, seperti istilah istikhlāf (kekhalifahan—pen), bai’ah (ikatan janji setia atas dasar kesepakatan bersama—pen), dan ahlul hall wa al-‘aqd (semacam sistem formateur—pen).  

Wahid selanjutnya mengatakan bahwa jika memang Nabi saw menghendaki berdirinya sebuah “negara Islam”, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan “bermusyawarahlah kalian dalam persoalan”. Masalah sepenting ini bukannya dilembagakan secara kongkrit, melainkan dicukupkan dengan sebuah diktum saja, yaitu: “masalah mereka haruslah dimusyawarahkan antara mereka.” Mana ada negara dalam bentuk seperti itu? Demikian pendapat Wahid yang secara tegas menolak adanya praktik negara Islam di masa Nabi SAW.

Landasan teologis Nurcholish dan Wahid dengan berpijak pada realitas-hitoris itu, diperkuat oleh Munawir Sjadzali. Dalam bukunya berjudul Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Munawir merujuk pada beberapa keputusan penting yang terkait dengan beragam kebijakan Rasulullah SAW dan pola kepemimpinan empat khalifah yang memimpin setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dalam kaitan ini, Munawir mengatakan bahwa Piagam Madinah yang oleh banyak pakar politik didakwakan sebagai konstitusi negara Islam yang pertama itu, ternyata tidak menyebut agama negara. 

Semasa empat al-Khulafa al-Rasyidun pun, tidak terdapat satu pola baku mengenai cara pengangkatan khalifah atau kepala negara. Menurut Munawir, sejarah empat al-Khulafa al-Rasyidin menunjukkan bahwa tidak terdapat petunjuk atau contoh tentang cara bagaimana mengakhiri masa jabatan seorang kepala negara. Mereka berempat (Abū Bakr, ‘Umar, Utsmān, dan ‘Alī—pen) semuanya mengakhiri masa tugasnya karena wafat. 

Titik persamaan antara Wahid dan Nurcholish tersebut bisa dilihat dari perspektif nilai-nilai etik kebangsaan yang merujuk pada Q.S. (al-Hujurāt [49]: 13 ) yang di dalamnya terdapat terminologi syu’ūb (suku-suku) dan qabā`il (kabilah-kabilah atau bangsa-bangsa). Menurut kedua tokoh Islam Indonesia ini, kedua terminologi ini tidak menganjurkan sekaligus tidak menyinggung format negara, melainkan mengandung arti substantif berupa nilai-nilai etik komunitas masyarakat.  

Beragam terminologi sosial-politik dalam Al-Qur`an, sunah Nabi SAW, maupun praktik politik umat Islam di masa lalu itu, bisa dijadikan alasan teologis bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai universal dan bisa menjadi inspirasi bagi semua umat manusia dari semua golongan dan agama dalam penegakan sebuah negara. Nilai-nilai etik kemasyarakatan dalam beragam dimensi kehidupan, termasuk dalam konteks sosial-politik, yang terkandung dalam Islam pada dasarnya selaras dengan konsep rahmatan lil ‘ālamīn (rahmat bagi alam semesta) yang dibawa Nabi Muhammad SAW. 

Pengayaan nilai-nilai universal ajaan Islam dalam kaitannya antara sistem politik dan pemerintahan bisa juga merujuk pada terminologi al-syūrā (musyawarah), al-ummah (umat, bangsa), al-‘adl (keadilan), ta’āruf (komunikasi, saling kenal), ta’āwun (kerjasama), dan lainnya. 

Beberapa terminologi yang terkandung dalam Al-Qur`an ini, bisa dijadikan pijakan doktrin-normatif yang berisi nilai-nilai etika sosial bagi pembentukan sistem pemerintahan dan kenegaraan dalam konteks negara bangsa (nation-state) di era modern seperti sekarang. Artinya, beberapa konsepsi universal dalam Al-Qur`an maupun praktik kehidupan yang dijalankan Nabi SAW, bisa dikaitkan secara kontekstual dengan perkembangan lokal yang ada di sebuah negara tertentu.

Dengan merujuk pada konsepsi di atas, atribut-formalistik sebuah negara Islam menjadi tidak strategis dan penting. Dalam pandangan pemikir dan aktivis Islam berhaluan progresif tersebut, yang terpenting justru adalah menumbuhkan nilai-nilai etik dan moralitas sosial di masyarakat. Apalagi Indonesia adalah negara yang memiliki kemajemukan agama, golongan, suku bangsa, dan ras, sehingga upaya pencantuman negara Islam akan menimbulkan kecemburuan sosial yang serius.  Pada akhirnya, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan polarisasi dalam memandang dan menyikapi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di masa depan.

Jargon “desakralisasi” yang dipopulerkan Nurcholish, pada dasarnya mengarah pada pengambaian atribut-atribut formalisme Islam dalam konteks kehidupan umat Islam, baik dalam kaitannya dengan sosial-keagamaan maupun sosial-politik, termasuk ekonomi, budaya, dan lainnya. Dengan demikian, desakralisasi mengahruskan pentingnya beragama dalam bingkai yang kontekstual dan substantif sehingga nilai-nilai yang dikembangkan kaum beragama menjadi lebih dinamis dan bersinergi dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. 

Sumber referensi: 

  • Abdurrahman Wahid, “Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?” (majalah Tempo, 26 Maret 1983).
  • Agus Edi Santoso (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid – Mohamad Roem (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1997).    
  • Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998).
  • Amien Rais,  “Tidak ada Negara Islam” (majalah Panji Masyarakat, No. 379 tahun 1982).
  • Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998).  
  • Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung: Mizan, 2000).
  • M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995).  
  • Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993, edisi kelima).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun