Mohon tunggu...
Nada Fadhilah
Nada Fadhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - luv FK

Berusaha mendapat mengakukan sarjana Bahasa dan Sastra di salah satu universitas negeri Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Potret Tak Terduga Kampung Sewan

19 Februari 2021   09:23 Diperbarui: 19 Februari 2021   10:33 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Seri Misteri Favorit: Misteri Kota Tua Yovita Siswati

Bacaaan atau tontonan anak sangat berpengaruh terhadap pola pikirnya. Aspek psikopedagogik memandang bahwa dari karya sastra bisa merangsang tingkah laku pembaca dari rentetan kisah yang digambarkan penulis. Rahman, F. juga menyebutkan bahwa karya sastra selain menampilkan nilai estetik juga menampilkan nilai kehidupan. Diharapkan anak-anak bisa senang dengan karya sastra dan bisa merefleksikan nilai pelajaran dari karya sastra tersebut. Dengan mengusung sifat mimesis dalam karya sastra meminimalisir keterlenaan anak-anak dalam menghadapi masalah di kehidupannya. Oleh sebab konsep need for achievement (kebutuhan untuk berprestasi) pada bacaan karya sastra anak itu penting.

Karya sastra anak tidak akan jauh dari dongeng. Dongeng identik dimaknai sebagai bacaan yang dibacakan orang tua sebelum si anak tidur. Namun dongeng sendiri memiliki makna general di KBBI, yaitu cerita yang tidak benar-benar terjadi, seperti kisah seribu satu malam. Sementara menurut Hegel dongeng bisa menjadi alat yang berguna untuk penyair kelas atas atau kelas mana pun, baik untuk menyalurkan aspirasinya atau sekedar hiburan. 

Seperti di Yunani yang mengambil tokoh hewan dalam dongengnya, beraliran komedi daripada tragedi. Kebanyakan dongeng yang ada, tidak beraliran mimesis. Karya dapat dikatakan mimesis karena di dalamnya terdapat unsur-unsur tiruan fiktif atau representasi dari penulis terhadap dunia. Ada juga mimesis yang berbentuk satire (sindiran halus) yang biasanya menggunakan gaya bahasa paradoks. Tidak dipungkiri, karya sastra yang beredar di Indonesia yang memakai aliran mimesis juga jarang ditemukan. Novel misteri Kota Tua menjadi salah satu jenis novel yang beraliran mimesis. Pokoknya secara sederhana, mimesis kata Plato adalah kolaborasi dari imajinasi dengan tiruan terhadap dunia nyata.

Tema-tema karya sastra yang bergenre misteri banyak sekali modelnya. Beberapa karya sastra yang bertema misteri untuk anak-anak berbentuk dongeng atau cerpen. Di majalah Bobo contohnya. Dalam ceritanya, penyelesai masalah diselesaikan oleh tokoh-tokoh fiktif. Oleh karena itu saya menyarankan bacaan anak yang mencerminkan kisah-kisah nyata dengan campuran imaji seperti novel-novel Yovita Siswati. Novel-novel yang ditulis beliau kebanyakan bertema misteri.

Di dalam kisahnya mengenalkan kebudayaan-kebudayaan daerah. Salah satu karyanya, yaitu Misteri Kota Tua yang membawanya sampai menjadi nominasi International Board on Books for Young (IBBY) di Auckland New Zealand pada tahun 2016. IBBY merupakan sebuah kontes bagi seluruh dunia yang memiliki tujuan untuk menyatukan buku-buku dan anak-anak. Novel ini berkisah tentang seorang anak yang bernama Beno. Ia baru pindah ke Kampung Sewan, Tangerang Utara. Ayahnya membeli rumah yang sudah tua namun luas bukan main. Jadi Beno berkeinginan untuk menyelidikinya. Setelah dua minggu Beno tinggal di rumah itu. Ada seorang Kakek yang datang mengendap-endap ke gudang yang kini beralih fungsi menjadi garasi rumah Beno. Ternyata kakek itu membawanya ke petualangan seperti yang diinginkan Beno.

Selama pemecahan misteri, novel ini mengaitkan nilai-nilai sosial---budaya yang cukup terkenal di Tangerang. Penjelasannya bukan hanya dideskripsikan saja, tapi dibarengi dengan ilustrasi yang unik. Awal mula nilai sosial tampak dari penjelasan Sari yang bercerita mengenai Kampung Sewan. Jadi Beno mengikuti kakek yang mengendap-endap ke rumahnya. Namun di tengah jalan ia kehilangan jejaknya. Beno bertemu sari, gadis yang diikat dua rambutnya yang suaranya nyaring. Lalu akhirnya mereka berdua mencari kakek yang sering disapa Aki Uban oleh orang-orang sana. Dalam perjalanan ke rumah yang sering mengunjungi Aki Uban, Sari berceloteh mengenai kampung Sewan itu:

"Kawasan ini namanya Kampung Sewan, Sari mulai berceloteh"

Penjelasan Kampung Sewan digambarkan lewat ilustrasi bergambar yang menarik. Lalu tulisannya pun dibedakan dari tulisan lain:

Tampak dari gambar beserta uraian di atas, Yovita mengekspor kawasan China Benteng di Tangerang dengan ilustrasi seseorang dengan baju adat Tionghoa pada masa kolonial. Letak Kampung Sewan tidak pedalaman, sebab kini daerah tersebut tidak jauh dari keramaian transportasi dan pusat perbelanjaan. Ditambah kampung Sewan tidak jauh dari Bandara Soekarno Hatta, kurang lebih hanya 17 km. Sejengkal pengetahuan ini bertambah. 

Kini bukan hanya terasa seperti pinggir kota saja. Jalanan yang kecil, hanya masuk mobil satu, lalu kabel-kabel listrik yang semeraut, saking padatnya rumah-rumah di sana, dan juga polusi suara serta polusi asap. Namun ternyata gang tersebut memiliki cerita bersejarah. Siapa sangka gang tersebut pernah dipakai orang-orang Tionghoa yang menetap di Indonesia pada jaman kolonial? Walaupun kini gang tersebut sudah berevolusi. Hanya beberapa orang Tionghoa yang menetap di sana. Dari penjelasan ilustrasi dijelaskan bahwa kini daerah Sewan menjadi pabrik dan rumah-rumah petak. Ada beberapa, satu atau dua rumah yang masih mempertahankan ciri khas dari rumah Tionghoa.

Ketika Sari dan Beno menuju rumah yang kenal dekat dengan Aki Uban, Beno merasa pegal dan lapar. Mereka memutuskan duduk di Rumah Kawin. Penjelasan mengenai pernikahan adat Tionghoa tidak secara langsung diucapkan Sari. Namun lewat penjelasan ilustrasi gambar membuat pembaca mempunyai gambaran terkait alat music Gambang Kromong.

"Baru mereka duduk, Sari mulai berceloteh tentang pernikahan Tionghoa." 

Masyarakat Sewan akrab dengan kebiasaan adat Tionghoa. Di adat pernikahan komunitas Tionghoa Tangerang atau sering disapa China Benteng terdapat pertunjukan Seni Tari Cokek. Di mana saat ini Tari Cokek yang diiringi orkes Gambang Kromong masih ditarikan. Menjadi tarian pengiring pengantin bagi suku Betawi Tangerang. Beberapa masyarakat Sewan masih menggelar pementasan tersebut terlihat dalam percakapan Sari dan Beno seperti tampak pada dialog berikut:

"Nah, itu orkes gambang kromong. Pasti nanti malam akan ada pesta pernikahan." Kata sari sambil menelan roti.

Kutipan di atas tampak Yovita ingin memberitahu orkestra Gambang Kromong masih ditampilkan di Kampung Sewan. Namun eksistensi orkestra gambang kromong kini tidak sepopuler masa kolonial. Hanya acara-acara tertentu saja seperti imlek, upacara pernikahan, dan kematian. Ketika proses penyelidikan,  mereka menemukan secarik kertas. Beno dan Sari mencari bantuan untuk memecahkan petunjuk yang mereka temukan di Rumah Aki Uban. Ternyata seseorang yang ditemui dulu pemain tehyan, seperti tampak pada dialog berikut:

Engkong Halim menoleh sambil tersenyum. "Ya, ini namanya tehyan. Bunyinya enak sekali. Dulu orkes Engkong merajai pentas-pentas gambang kromong. Sayang sekarang permintaan manggung Sudah jarang. Kamu tahu gambang kromong kan?"

Perkataan dari Engkong menyatakan minat akan orkes gambang kromong sedikit. Yovita mengaitkan permasalahan sosial mengenai masyarakat yang sudah globalisasi. Kini orkestra gambang kromong dimainkan bersama gitar, saksofon, atau alat musik modern lainnya. Bagi masyarakat Jakarta dan Tangerang pasti pernah menemukan arak-arak ondel-ondel? Sebenarnya musik yang dimainkan juga gambang kromong. Selain Tari Cokek, Gambang Kromong, masyarakat Sewan dan sekitarnya mengadakan Festival Perahu Naga setiap tahunnya, sejak zaman dahulu, hingga saat ini. Buktinya sebagai berikut:

"Minum mengepalkan tangan. Seandainya muka cowok mendekat sebelum angkutan datang, aku harus bersiap, pikirnya. Beno mulai melamun memandangi sungai. Iya jadi teringat penjelasan teringat di museum tadi tentang sungai itu."

Dari kutipan di atas, ketika dalam penyelidikannya mereka pergi ke Museum Sejarah Cina Benteng. Terletak di pasar lama yang berseberangan dengan Sungai Cisadane. Dijelaskan dari ingatan Beno akan cerita pemandu di museum dengan ilustrasi gambar agar lebih terbayang bentuknya seperti apa. Terlihat bahwa penggambaran mengenai kebiasaan-kebiasaan dan latar tempat terlukis dengan apik dan jelas. Yovita menaruh nilai-nilai sosial di sela-sela penyelidikan mengenai Aki Uban yang sering memantau rumahnya Beno. Terlihat pada kutipan sebagai berikut:

"Sudah beberapa hari belakangan ini Beno memergoki kakek itu sering mengintip-intip ke dalam rumahnya."

Dari sanalah awal mula problemanika novel ini. Misteri Kota Tua ingin mengungkapkan daerah sudut pinggir Kota Tangerang yang punya cerita di masa Kolonial. Di halaman ke dua dari belakang kita tahu bahwa Yovita tumbuh di Kampung Sewan. Kemungkinan novel ini juga terdapat unsur prasangka. Penyimpangan dalam menggambarkan problematikanya dan menyelesaikannya. Akan tetapi terkait mengenai latar tempat: kondisi rumah di Sewan, Museum, Klenteng Boen tek Bio di pasar lama, Sungai Cisadane. Hanya saja tempat-tempat itu sudah lebih modern tidak tradisional yang diilustrasikan. Terlepas dari itu, novel ini mengajarkan pembaca tidak menyerah dan bergantung pada orang lain atau makhluk gaib. Perhatikan kutipan berikut:

"Pada saat mereka disekap di di gudang luas yang Bahkan suara mereka akan tenggelam dengan bisingnya Deru pesawat udara. Beno Mencari ide lain agar bisa keluar dari gudang. ia mengusulkan menggunakan mulut untuk membuka tali yang mengikat tangannya. Berkat usaha Ito yang menggigit tali ikatan Bano. Lalu Beno melihat lubang angin. " mungkin ehm... kita bisa menyusun ehm... kotak-kotak kayu itu," Usul kito. "Menjadi seperti tangga maksudmu?" Tanya Beno. Untuk turun keluar mengusulkan. "... beberapa kotak itu dililitkan ehmm... tali tambang." Beno mempunyai siasat sebab kemungkinan tali itu putus. " maka dari itu yang badannya paling kurus harus keluar terlebih dulu untuk mencari bantuan." Usul Beno."

Terlihat Beno memutar pemikirannya, mencari akal untuk bisa minggat dari gudang. Maka dari itu nilai-nilai tersebut menjawab bahwa buku ini mendedikasihkan rakyat untuk memajukan bangsa Indonesia. Yovita, S. merekam kisah Aki Uban di novel ini bak piringan hitam yang terlupakan dari masyarakat Kampung Sewan sekitarnya. Yovita berusaha memutar kenangan. Masa-masa awal Kampung Sewan, Tangerang dan sekitarnya menjadi pemukiman Cina Benteng.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun