Apa yang terjadi dengan petani Sragen, Sunarji adalah puncak gunung es, yang menuntut haknya tas tanah. Akibat penyempitan lahan yang selama ini dikuasai pihak perkebunan, ia bersama 800 petani lainnya mencoba mengerjakan lahan yang telah habis masa HGU-nya oleh PTPN IX. Namun para petani itu, seringkali mengalami intimidasi dan kriminalisasi. Dengan kuasa modal, para petani ditangkapi dan dimasukan di dalam penjara.
Hal lainnya juga, apa yang terjadi dengan petani-petani di Muna, di desa Wantiworo dan Kafofo. Atas dasar investasi dan pembangunan ekonomi, para petani Wantiworo dan Kafofo mengalami ketidakberdayaan, melihat tanah-tanah mereka digusur untuk perkebunan tebu. Bersama dengan elit dan pemerintah desa, perusahaan perkebunan melakukan berbagai manipulasi untuk menguasai lahan-lahan petani. Ada bentuk manipulasi tanda tangan persetujuan, ganti rugi lahan yang tidak jelas serta bentuk intimidasi-intimidasi lainnya.
Bukan tak mungkin, konflik-konflik agraria akan terus berkepanjangan, jika pemerintah abai terhadap permasalahan yang dialami petani. Tanah adalah urat nadi bagi petani, dimana para petani bisa mencari penghidupan, mengelolahnya untuk menghasilkan makanan sehari-hari. Ketimpangan kepemilikan tanah, membuat petani kadang meradang, membuat mereka terus miskin berkepanjangan. Entah sampai kapan, para petani terus berada dalam kungkungan hidup kemiskinan itu.
Meskipun kini Presiden Joko Widodo tengah menjalankan Land Reform, untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah, dimana melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), Jokowi membagikan 9 juta hektare kepada rakyat petani, namun bagi AGRA program tersebut justru akan menuai banyak masalah. Bagi AGRA, dalam jangka panjang program tersebut justru membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi hanya memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan perbankan dengan menyita aset kaum tani. Proyek ini terhubung dengan skema Bank Dunia sebelumnya melalui Land Administration Project, (Koran Sulindo, 18-30, 9/2017, Volume II-No.19).
Kekerasan Rohingya, bukan tanpa arti bagi Indonesia. Bangsa ini tidak bisa menutup mata dan mengabaikan, bahwa konflik yang terjadi di Myanmar merupakan fakta lain dari perampasan tanah. Negara bisa chaos, jika rakyat petani terus dibelenggu dengan kebijakan yang tidak adil dan sewenang-wenang. Hal itu tentu kita tidak inginkan terjadi di negeri yang indah dan kaya ini.
Negara harus memberi kedaulatan kepada petani dan mengelola kekayaan alam bangsa ini untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Saya mengutip tulisan Didit Sidarta di Koran Sulindo "Membiarkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan dan pemilikan tanah bagi sebagian besar masyarakat adalah kesewenang-wenangan. Menutup mata terhadap konflik penguasaan tanah di dalam kawasan hutan yang tak kunjung terselesaikan secara tuntas adalah sikap korup."
Mari, berbuat sesuatu untuk petani...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H