Pada tahun 2013 saja misalnya, proyek pipa gas mulai beroperasi dengan kapasitas 400 ribu barrel per hari. Kepemilikan proyek tersebut dikelola oleh perusahaan asal Tiongkok, India, Korea dan Myanmar sendiri. Banyaknya perusahaan swasta asing tersebut, membuat pemerintah Myanmar menyediakan banyak tanah, menyokong para pemodal besar untuk kepentingan bisnis. Kebijakan ini membuat perlawanan warga rohingya terutama dari pihak ARSA dan Arakan Independen Army yang beragama Budha.
Bagi Saskia Sassen, seperti dikutip Koran Sulindo, konflik yang terjadi di Rakhine memiliki dua fungsi yang tidak terencana, yakni (1) penganiayaan merupakan cara untuk mengusir mereka dari lahan dan sumber kehidupan mereka. Caranya dengan membakar rumah mereka sehingga warga Rohingya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan rumah mereka, (2) dengan mengadu domba rakyat dengan menekankan perbedaan agama. Tujuannya agar rakyat berkonflik dan melupakan perbuatan negara kepada rakyat.
Lebih lanjut Sassen menulis, "jutaan kaum tani kecil yang terusir dari tanahnya merupakan korban dari kebijakan rezim sehingga agak mengherankan ketika pengamat dan pemerhati HAM lebih fokus pada agama. Padahal, sepertiga dari luas hutan Myanmar telah hilang."
Melihat Indonesia
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kejadian di negara bagian Rakhine, memang sulit untuk tidak membandingkannya dengan apa yang terjadi di Indonesia. Tanah, dijadikan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Perampasan tanah terhadap petani, sama halnya dengan merampas kehidupan petani itu sendiri.
Ketika diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, konflik-konflik yang terjadi antara petani miskin, petani kaya, buruh tani dan para pemodal memperoleh legitimasi hukum. Tetapi tahun 1963 dan 1964, kejadiannya semakin rumit saat pelaksanaan undang-undang tersebut. Seperti yang dikatakan dalam buku Noer Fauzi Rahman, "Petani dan Penguasa", alasannya adalah berupa pengelolaan administrasi yang buruk, korupsi dan oposisi dari pihak tuan-tuan tanah dalam bentuk manipulasi.
Kebijakan politik agraria yang dibangun oleh rezim orde baru, yang merupakan bagian dari otoritarianisme menganggap Land Reform hanyalah permasalahan teknis belaka. Bagi Winardi, 1993, pemerintah orde baru tidak menganggap masalah tanah sebagai dasar pembangunan, melainkan tanah hanya menjadi masalah rutin birokrasi pembangunan. Akibatnya, pengurusan tanah tidak berjalan dengan baik, bahkan pada tingkat pedesaan keterlibatan militer semakin mempersempit partisipasi petani dalam program Land Reform.
Hal tersebut menimbulkan berbagai konflik, akibat hak-hak petani akan tanah terabaikan. Soetrisno menulis, konflik yang terjadi bukan berhubungan dengan internal desa, tetapi eksternal, pihak luar desa yakni para pemodal besar dan pemerintah. Perusahaan perkebunan banyak mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Dengan banyaknya investasi modal perkebunan yang masuk, pemerintah orde baru selalu bersedia menyiapkan tanah, menyokong para pemodal bahkan itu harus menggerus kehidupan petani dari tanahnya. Kekuasaan orde baru seringkali melakukan penindasan dengan cara-cara kekerasan (coersion), dan penaklukan dengan cara-cara ideologis (concent) untuk merampas tanah dari petani.
Harapan baru rakyat petani muncul, ketika gerakan demokrasi berhasil menggulingkan rezim Soeharto dari kekuasaanya, tahun 1998. Para petani yang telah dirampas tanahnya, memiliki keberanian untuk menduduki tanah yang sebelumnya dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Petani berani memasuki konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH), tanah konservasi, pertambangan bahkan tanah yang telah selesai masa kontrak Hak Guna Usaha (HGU).
Seperti petani lainnya, petani Indonesia sangat bergantung dengan tanah-tanah yang ada. Harapan yang terbangun kandas setelah perusahaan perkebunan menguasai kembali satu-persatu tanah-tanah, lewat bantuan pemerintah dan militernya. Lewat dana talangan Badan Penyelamatan Perbankan Nasional (BPPN), perusahaan perkebunan kembali memonopoli lahan, yang berlanjut sampai saat ini. Menurut Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA), sebagaimana yang tertulis di Koran Sulindo, hal tersebut terjadi setelah Presiden Abdul Rahman Wahid jatuh, para pengusaha perkebunan di masa rezim Soeharto sukses mengkonsolidasikan diri berkat bantuan Amerika Serikat dan sekutunya.
Akibat sistem ini, kini banyak petani yang tergusur dari kehidupannya. Para petani kemudian melakukan perlawanan akibat ketidakadilan itu. Perlawanan-perlawanan petani di daerah kian menggemah, menolak kerusakan lingkungan serta memperjuangkan lahan mereka yang tergusur akibat ulah kapitalisme. Para pemodal dengan rakusnya, merampas tanah petani untuk kepentingan perkebunan, pertambangan dan pendirian pabrik-pabrik.