Mohon tunggu...
Laode Halaidin
Laode Halaidin Mohon Tunggu... BLOGGER -

Menulislah, karena itulah keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Sawit Menjadi Air Mata

5 September 2017   12:28 Diperbarui: 6 September 2017   13:46 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah yang saya dengar, yang saya lihat, kemudian saya himpun, setelah bertemu dan berdiskusi dengan warga Wiwirano. Pemerintah kabupaten dan desa, perusahaan beserta penguasa-penguasa tanah dengan asyiknya ber-tango diatas karpet, yang mencoba menyembunyikan debu kemiskinan (Budiman Sudjatmiko, buku: Anak-anak Revolusi 2). Jeritan mereka tidak terdengar, tersumbat oleh kehidupan yang semakin susah dan menghimpit. Kesusahan begitu membelenggu, kelaparan semakin menusuk-nusuk perut, para petani terus bekerja mencoba mempertahankan hidup.

Dari situ, banyak warga yang tidak tahan dengan penderitaan itu. Sawit mereka selama bertahun-tahun tidak bisa mendapatkan uang satu rupiah pun, dibiarkan membusuk dipohon. Saat panen hasil tiba, masyarakat bingung kemana sawitnya akan dijual. Janji perusahaan membangun pabrik tidak pernah terealisasi. Para petani kadang menjualnya di Sulawesi Tengah, tetapi terkendala pada infrastruktur jalan. Itupun dengan resiko, berhadapan dengan preman perusahaan.

Jalanan saat itu sangat rusak bahkan berhari-hari kami bermalam, itupun sawit kami sudah membusuk sebagian. Kadang juga kami dilarang dan ditahan sama pihak perusahaan agar tidak menjual sendiri diluar daerah. Kami rugi besar, ungkap pak Umarsetengah terbata-bata.

Yang tidak tahan dengan penderitaan, para petani lalu menjual kebun sawit yang ditangani oleh perusahaan (sawit plasma), lalu memilih pergi meninggalkan Wiwirano. Mereka kembali dikampung halaman atau pergi merantau di kota mencari kerja informal, menjadi buruh. Para petani itu tidak bisa menggarap pertanian yang lain karena keterbatasan lahan yang ada. Mereka betul-betul dibuat jatuh miskin.

Bertani yang lain pun kami tidak bisa. Kami tidak mempunyai banyak tanah. Tanah kami yang disediakan oleh pemerintah hanya 0,5 sampai 3 hektar. Itupun semua ditanami kelapa sawit oleh perusahaan. Banyak petani yang memilih pergi meninggalkan Wiwirano, karena tak ada lahan. Berharap sama hasil kelapa sawit susah, harganya sangat murah. Dulu Rp. 1.200, sekarang tinggal Rp. 950,00 sampai Rp. 750, 00. Belum lagi perusahaan melakukan pemotongan hasil dan keterlambatan melakukan pembayaran. Dulu janjinya setiap satu bulan, sekarang sudah tiga bulan perusahaan belum membayar, ungkap pak Sukrani, seorang transmigrasi asal Jawa.

Beberapa hari di Wiwirano, Konawe Utara, saya bertemu dengan banyak kemalangan. Sejak pertama menginjak tanah itu, terlihat hamparan tanaman kelapa sawit yang cukup luas, berjumlah 2.500 hektar. Pikirku, warga disini hidup lebih sejahtera. Jumlah itu ternyata tidak membuat kehidupan mereka beranjak pada kebaikan hidup, tetapi justru malah hidup serba susah. Petani sawit tidak berdaulat atas harga sawitnya. Harga sawit dipatok para tengkulak dengan harga Rp. 750,00. Hal itu merupakan salah satu alternatif agar hasil sawit mereka tidak membusuk dipohon. Jika menjualnya ke pabrik kelapa sawit, para petani sawit tidak mampu membiayai ongkos transportasinya.

Semua itu bermuara pada penghasilan yang pas-pasan. Bahkan sama sekali tak cukup hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Belum lagi kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Hasil sawit petani harganya dipotong dengan alasan pembayaran utang. PT. PN XIV hanya datang menagih/meminta ke masyarakat. Pada hal menurut Abdul Rahmat Badwin, yang merawat kelapa sawit petani sendiri. Perusahaan tidak lagi mengurus, tidak merawat dan tidak ada perlakuan sama sekali.

Yang menjadi kegelisahan Abdul Rahmat yaitu terkait dengan utang para petani. Ia mempertanyakan, mengapa utang petani tidak pernah lunas, pada hal sudah 15 tahun lebih. Selama dua tahun petani sawit berhenti membayar, tetapi perusahaan perkebunan kembali muncul melakukan penagihan.

Ini aneh. Perusahaan perkebunan ini memang nakal. Sepertinya ada yang dilindungi. Ia mencoba menggunting dalam lipatan, ungkap Abdul Rahmat Badwin.

Saya membayangkan, apa yang terjadi kepada masyarakat petani sawit Wiwirano adalah bagian dari eksploitasi. Mereka tak ubahnya seperti para pekerja rodi di zaman kolonial. Bukan saja dimiskinkan tapi dibuat bodoh. Para petani sawit itu, secara sadar dan tidak sadar mengemis pada tanahnya sendiri. Sawit telah berubah menjadi air mata. Sementara perusahaan perkebunan berdiri pada singasana bisnisnya, meraup ber-miliyar-miliyar keuntungan.

Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan Abdul Rahmat Badwin;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun