Mohon tunggu...
Laode Halaidin
Laode Halaidin Mohon Tunggu... BLOGGER -

Menulislah, karena itulah keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Sawit Menjadi Air Mata

5 September 2017   12:28 Diperbarui: 6 September 2017   13:46 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui pemerintah, warga kemudian menyediakan lahan-lahan yang ada untuk digarap dan ditanami oleh perusahaan perkebunan. Sementara itu, bank Agro (bank BRI) sebagai penyedia pinjaman modal. Besaran pinjaman warga kepada bank Agro kala itu berkisar 13 juta/1 hektar. Saat itu masyarakat Wiwirano, dari beberapa informasi yang saya himpun, hanya mengetahui besaran utang saja, tanpa ada perincian secara jelas.

PT. PN XIV dalam perjanjiannya, semua kegiatan, mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemupukan, perawatan serta pemanenan hasil dilakukan oleh perusahaan sendiri. Perusahaan juga berjanji akan mendirikan pabrik. Warga saat itu hanya dijanjikan menunggu hasil, dalam artian menunggu pembayaran lahan. Selebihnya dari hasil panen itu, perusahaan melakukan pemotongan untuk pembayaran utang pada bank Agro.

Itulah awal perjanjian masyarakat dengan perusahaan PT. PN XIV yang dikemudian hari justru tidak ditepati bahkan dilanggar. Perusahaan perkebunan hanya menanam, dipelihara dan dibiarkan berbuah. Tetapi perusahaan tidak bisa memanen hasil sawit karena pabrik belum tersedia. Akibatnya buah sawit itu rusak dan membusuk dipohon. Para petani kemudian melakukan demonstrasi dan perlawanan, menuntut perusahaan agar menepati janjinya. Sebagian para aktivis masyarakat saat itu dipenjarah. Ini adalah bagian dari kelicikan perusahaan, kata Abdul Rahmat Badwin, seorang aktivis petani sawit Wiwirano.

Abdul Rahmat Badwin merupakan seorang aktivis petani sawit di desa Tetewatu, kecamatan Wiwirano. Ia merupakan mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Kalimantan Timur tahun 1990. Di Wiwirano, ia bersama teman-temannya, terus memperjuangkan hak-hak petani yang selama ini diabaikan oleh perusahaan PT. PN XIV.

Ia terus menentang perusahaan perkebunan, agar hak-hak petani sawit dapat diberikan. Dengan usia yang sudah tergolong tua, semangatnya masih berkobar. Bahkan ia pernah membubarkan sebuah musyawara, lantaran tidak ketemu kesepakatan dengan pihak perusahaan. Idealismenya masih tinggi. Ia sama sekali tidak tergiur ketika ditawarkan jabatan dan sejumlah uang.

Saya pernah didatangi oleh seseorang, menanyakan saya mau jadi apa.Ditawarkan uang pun tidak akan menerimanya. Bagi saya itu suatu ketelodoran, sama halnya kita menjual idealisme. Itu juga akan menyakiti masyarakat yang lain.Saya memilih untuk menjadi petani.Semua ini adalah kodrat dari yang kuasa. Jika kita menentang, tidak mau menerima, berarti sama halnya kita melawan kehendak yang kuasa. Saya tidak pernah menyesal dengan keputusanku. Dengan menjadi petani, maka saya bebas, saya merdeka dan menjadi diriku sendiri, kata Abdul Rahmat Badwin dengan penuh semangat.

Namun demikian, memang tidak selalu muda menyelesaikan persoalan ketika berhadapan dengan kekuasaan perusahaan. Sudah lebih dari 10 tahun ia terus menyuarakan hak-hak petani, melalui dialog dan juga demonstrasi. Semua tanpa hasil, nihil. Perusahaan selalu memiliki banyak akal, mengamankan aktivis (para mahasiswa) dengan diberikan uang amplop, kemudian dibantu aparat kepolisian dan pemerintah setempat.

Banyak yang ikut membantu kami, kata Abdul Rahmat, termasuk para aktivis mahasiswa di Kendari. Tapi suara mereka seperti putus ditengah jalan, dibungkam. Setelah kita telusuri, ternyata para aktivis mahasiswaitudiamankan oleh perusahaan dengan diberikan amplop. Dari situ, maaf, kami tidak lagi mempercayai aktivis mahasiswa, ungkap Abdul Rahmat B. saat memulai mencoba menjelaskan.

***

Sebelum warga transmigrasi mendiami, Wiwirano sebagai daerah setengah belantara. Hutan masih lebat, sementara penduduk lokalnya belum terlalu banyak. Semua orang bisa memulai hidup baru di Wiwirano, termasuk seorang pembunuh dan perampok sekalipun. Warga transmigrasi kemudian bermunculan sekitar tahun 1997-1998. Saat itu, tanah Wiwirano menjadi tanah emas bagi para pengusaha perkebunan sawit. Ini merupakan suatu keajaiban bagi tanah Wiwirano, diprediksi menjadi suatu kebangkitan masyarakat setelah masuknya perusahaan perkebunan sawit pada tahun 1999.

Tetapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Wiwirano berubah menjadi daerah yang penuh dengan ketidakwarasan. Berubah menjadi tempat yang aneh, miskin dan terbelakang. Yang kaya dan yang banyak tanah hanya mereka para kepala desa dan kroni-kroninya. Sementara petani yang mempunyai lahan 0,5 sampai 3 hektar, masih menjadi sampah ketidakdilan bagi perusahaan. Para petani itu, telah diperlakukan semena-mena oleh pihak perusahaan perkebunan PT. PN XIV.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun