Mohon tunggu...
Laode Halaidin
Laode Halaidin Mohon Tunggu... BLOGGER -

Menulislah, karena itulah keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sulawesi Tenggara dalam Pusaran Dinasti Politik

21 Juni 2017   13:35 Diperbarui: 21 Juni 2017   13:45 2345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekuasaan menurut Daniel Dhakidae, memang begitu nyata dan juga sekaligus begitu misterius. Kekuasaan nyata, ketika berada dalam genggaman yang kemudian membuat penguasa berbuat leluasa, apakah berkaitan dengan dimensi kebijakan maupun tanggungjawab sosial. Sementara kekuasaan misterius, ketika kekuasaan itu beralih, lepas dari genggaman---lalu diperolehnya kembali lewat legitimasi anak, istri dan sanak famili.

Hal itu, memang sungguh misterius, bukan! Meskpiun kekuasaan yang demikian, gampang untuk diselewengkan oleh penguasanya sendiri.

Maka dari itu, kita patut mengamini sebuah "dalil kekuasaan" (Alfan Alfian, 2016), yang diutarakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan oleh pemegangnya dan kekuasaan mutlak sudah pasti menyeleweng. Minimal, inilah yang berlaku disetiap daerah, saat penguasa mencoba membiakan dinasti politik.

Politik dinasti merupakan produk politik yang bermasalah. Secarah hukum memang tidak dilarang. Namun jika dilihat dari dimensi kebijakan, dinasti politik kerap banyak menimbulkan masalah yang justru merugikan publik. Tengoklah daerah-daerah yang hari ini menerapkan dinasti politik---yang terjadi malah menjadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berakhir di jeruji besi.

Lalu, apakah seandainya Sulawesi Tenggara bila diterapkan dinasti politik, juga akan menghadapi banyak masalah? Disini kita bukan mengawang-ngawang atau berasumsi. Tetapi berbicara fakta bahwa biasanya sebuah dinasti berusaha membek-ap kepentingan keluarga dengan mencalonkannya untuk meraih jabatan kembali. Hal tersebut bisa dilakukan melalui istrinya, anaknya dan mungkin juga keluarganya yang lain.

Jadi, tidak menutup kemungkinan penyalahgunaan wewenang itu akan terjadi. Karena biasanya, ketika sang ayah selesai menjabat, kepentingan atau urusan bisnis masih banyak yang belum terselesaikan. Atau bisa jadi ada perkara hukum yang ditinggalkan. Sehingga untuk mengamankan posisi itu, salah satunya anak, istri atau bagian dari keluarga harus berkuasa.

Sulawesi Tenggara dalam hal ini tengah berada dalam bayang-bayang dinasti politik. Itu dapat terlihat, ketika para politisi muncul dipermukaan dengan wajah yang itu-itu saja. Sebagian yang wara-wiri di media sosial merupakan politisi atau wajah lama, yang saat ini, anak, istri, suami dan sebagian keluarganya tengah menduduki jabatan-jabatan penting.

Sebut saja, yang pertama misalnya Ir. Asrun, yang masih menjabat sebagai wali kota Kendari. Dalam pemilihan wali kota beberapa bulan yang lalu, anaknya Adriatma Dwi Putra (ADP) berhasil keluar menjadi jawara, untuk memimpin wali kota Kendari lima tahun kedepan. Kemenangan itu tidak terlepas dari campur tangan ayahnya, dengan menggunakan mesin birokrasi yang ada. Bukti yang paling kuat, menjelang pilkada 2017 beberapa bulan yang lalu, ia melakukan berbagai manufer dengan mengganti beberapa pejabat eselon I, III dan IV, dari tingkat kepala dinas sampai dengan kepala kelurahan.

Dengan masa jabatan yang tinggal menyisakan beberapa bulan lagi, Ir. Asrun tengah melakukan sosialisasi untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. Ia adalah orang yang berhasil memperkuat posisinya membangun dinasti sejak tahun 2014. Dinasti politiknya yang dibangun di Kendari hari ini tengah berjalan mulus. Dengan terpilihnya Adriatma sebagai wali kota, tak menutup kemungkinan kedepan ia akan disiapkan oleh ayahnya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. Saat ini Ir. Asrun tinggal bagaimana menata basis dan finansial untuk menuju kursi Gubernur.

Yang ke dua, Tina Nur Alam, yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI Komisi VI. Tina atau yang mempunyai nama lengkap Asnawati Hasan, merupakan istri Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang saat ini masih dijadikan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan modal prestasi dan populer suaminya Nur Alam, ia dengan optimis akan mendapat dukungan dari masyarakat.

Barangkali, disini publik akan diuji. Apakah masyarakat tetap akan mendukungnya? Pasalnya, Nur Alam, saat ini tengah dirundung masalah, diduga menyalahgunakan wewenang, dengan mengeluarkan izin pertambangan pada rentang waktu tahun 2009-2014. Sosok Tina Nur Alam, masuk dalam gelanggang politik merupakan produk dinasti politik, yang dibangun oleh Nur Alam sejak tahun 2008 silam. Sejak Nur Alam menjadi Gubernur pada tahun 2008-2013, istrinya, Tina berhasil menyabet kursi DPR RI pada tahun 2014 lalu.

Dalam kasusnya, Nur Alam disebutkan telah menerbitkan surat keputusan (SK) Persetujuan  Percadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) yang dilakukan di Buton dan Bombana. Bagi KPK, Surat Keputusan tersebut telah menyalahi aturan.

Ketiga, Ridwan Bae, dimana ia tengah menjabat sebagai anggota DPR RI, komisi V. Ridwan Bae juga hendak membangun dinasti politik di Sulawesi Tenggara. Itu dapat terlihat ketika ia mencalonkan anaknya L.M. Ihsan Taufik, pada pemilihan bupati di Muna Barat beberapa bulan yang lalu. Meskipun kalah, tetapi dalam langka politiknya ia hendak membangun kekuasaan dinasti politik dari bawah.

Ridwan Bae merupakan sosok politisi yang populer di Sulawessi Tenggara. Ia adalah ketua Golkar Sultra, seorang pengusaha yang sangat loyal dengan pembiayaan politik. Dalam karir politiknya, ia berhasil menjadi bupati Muna selama dua periode 2000-2010. Namun, langka kerjanya di Muna sebenarnya tidak menunjukan begitu signifikan, bahwa ia memiliki visioner untuk membangun daerah.

Muna saat itu dibuat terkatung-katung. Bahkan diakhir masa jabatannya periode pertama, ia sempat diduga melakukan korupsi lelang kayu jati. Ia dinilai menyalahi aturan proses lelang, sebagaimana Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No 319 tahun 1997. Dan dalam laporan pertanggungjawaban Bupati Muna pada tahun 2003, ada ketidaksesuaian dengan realisasi pendapatan dari hasil lelang kayu jati. Bukan saja itu, ia diduga melakukan korupsi terkait penimbunan penataan kawasan kumuh di kelurahan lagasa dan kelurahan tula.

Dari informasi yang dihimpun oleh wikidpr.org, sejak 2004 Ridwan Bae, dilaporkan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) ke KPK yang terkait dengan dugaan korupsi pelelangan kayu jati. Seharusnya menurut WALHI pemerintah Kabupaten Muna menerima pendapatan sebesar 15 miliar lebih pada tahun 2002 dan 2003. Namun, dalam laporan pertanggungjawaban bupati Muna, Ridwan Bae tahun 2003, Kabupaten Muna hanya memperoleh hasil pelelangan kayu jati sebesar 8 miliar.

Kekalahan anaknya, bukan akhir dari langka politik Ridwan. Minimal, ia telah berhasil membangun dinasti politik, dimana ponakannya L.M. Rusman Emba menjadi Bupati Kabupaten Muna. Tidak menutup kemungkinan, ke depan Ridwan Bae akan mencalonkan anaknya atau ponakannya untuk berebut kuasa di pemilihan Gubernur. Saat ini, Ridwan Bae tinggal bagaimana memuluskan langkahnya untuk menuju kursi Gubernur.

Ke empat, Rusda Mahmud. Ia disebut-sebut sebagai Bupati dua periode (2007-2017) yang berhasil memodernisasi Kolaka Utara. Namun, cerita keberhasilan itu (memang berhasil dari segi pembangunan fisik), masih menyimpan masa kelam yang diduga terkait korupsi proyek pertambangan dan dugaan penyelewengan APBD Kolaka Utara.

Kepemimpinan Rusda Mahmud di Kolaka Utara banyak menuai kritik. Pasalnya, ia menempatkan sebagian keluarganya pada jabatan-jabatan penting di pemerintahannya. Dinasti politik yang dibangun Rusda Mahmud, terlihat ketika ia mendukung Nur Rahman Umar dan H. Abbas sebagai Bupati Kolaka Utara.

Nur Rahman Umar sebelumnya menjabat sebagai kepala dinas pertambangan Kolaka Utara yang tidak pernah diganti selama dua periode, selama kepemimpinan Rusda Mahmud. Ini terlihat seperti ada konsensus ikatan kekeluargaan yang dibangun, demi memuluskan kekuasaan di Kolaka Utara. Sementara H. Abbas dari beberapa informasi dari media bahwa ia bersepupu dengan Rusda Mamud.

Kemenangan Nur Rahman Umar dan H. Abbas di Kolaka Utara merupakan satu langka yang dibangun Rusda Mahmud untuk menuju kursi Gubernur. Minimal, ia telah mempunyai basis pendukung atau massa di Kolaka Utara. Ini tentu akan membuktikan bahwa Rusda Mahmud merupakan politisi yang diperhitungkan di Sulawesi Tenggara. Dinasti itu, telah ia bangun lewat kerabat, relasi dan juga keluarga.

Ke lima, Sjafei Kahar. Ia merupakan mantan Bupati Buton. Sjafei Kahar telah memulai membangun dinasti sejak tahun 2001-2011, berawal dari birokrat, ketua Golkar Buton dan bupati. Pada tahun 2011 ia mendorong anaknya (saat ini menjabat sebagai bupati Buton Selatan), Agus Faisal Hidayat sebagai bupati Buton. Namun dalam perjalanannya, ia dikalahkan oleh Umar Samiun.

Tak hanya sampai disitu. Tahun 2014, Sjafei Kahar  mendorong istrinya, Waode Salmatia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif lewat partai Demokrat. Istrinya berhasil menyabet kursi DPRD Provinsi dengan kekuatan basis dan finansial yang dimiliki oleh suaminya, Sjafei Kahar.

Tahun 2017, Sjafei kembali mendorong anaknya, Agus Faisal Hidayat untuk maju di pilkada Buton Selatan. Agus berhasil memenangi pilkada Buton Selatan. Kemenangan Agus, merupakan senjata Sjafei untuk memuluskan jalan politiknya menuju Gubernur. Ia adalah orang pertama, yang menyebarkan balihonya dijalan-jalan sebagai calon Gubernur. Dengan itu, Sjafei ingin menegaskan bahwa ia adalah politisi yang layak diperhitungkan. Ia telah mempunyai peluru, untuk mengerahkan basis dan finansial yang ada.

Ke lima politisi diatas, telah memegang kekuasaan di masing-masing wilayah. Secara tidak langsung itu terlihat lewat dinasti politik yang mereka bangun. Mereka dengan gampang dapat memanfaatkan jabatan-jabatan para bupati dan wali kota, yang melalui dinasti politiknya untuk mengerahkan pendukung, baik dukungan secara finansial maupun basis masanya.

Melalui keluarga politik itu, maka bagi mereka bukan sesuatu yang sulit untuk berkuasa di Sulawesi Tenggara. Mereka bisa melakukan apapun, demi meraih kekuasaan tersebut. Maka apa yang dikatakan oleh filosof Bertrand Russel, semakin meyakinkan bahwa dari keinginan manusia yang tidak  terbatas, di dalam kepalanya adalah keinginan untuk berkuasa.

Daerah Sultra kedepan akan menapaki jalan terjal. Kita tak tau siapa kedepan yang akan berkuasa. Namun bagi saya, selama beberapa puluh tahun ke depan, Sultra akan terus berada dalam pusaran dinasti politik.

Namun, kita selayaknya bertanya, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Kita patut memperhitungkan, bagaimana konflik kepentingan yang terjadi ketika daerah dijabat oleh keluarga dari dinasti politik. Ini justru akan berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat. Mestinya, daerah ini lebih besar dari beberapa keluarga dinasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun