Pagi itu sekira tahun 2006.
Kulihat isi dompetku. Sungguh mengenaskan. Kosong melompong tak ada isinya sama sekali. Jangankan puluhan dan ratusan ribu, ribuan rupiah pun tak ada sama sekali.
Ujian pada awal-awal pernikahan ujiannya bukan pada saling memahami, tapi juga ujian ekonomi. Gaji kami berdua sebagai tenaga honorer walau digabung pun tak mencapai titik temu. Selalu merenggang, kurang. Yang menjadi penyelamat hanyalah kebaikan mertua yang membayarkan rumah kontrakan.
Tapi apakah ujian ini  menjadi bahan pertengkaran? Sama sekali tidak. Kami sama-sama memiliki latar belakang agama meyakini bahwa jika sudah memilih melaksanakan sunah dan perintah Allah, Dia pasti menjaminkan rezeki. Soal sedikit dan banyak, itu hanya soal porsi. Yang jelas, rezeki pasti Allah jaminkan untuk hamba-hamba-Nya. Prinsip saya, Allah ngasih perut, Dia Maha Bertanggung jawab menyediakan isinya. Dia menciptakan, Dia pula yang memberi jaminan.
Prinsip saya benar-benar terbukti. Pagi itu HP jadul ku memekik keras memecah kerasnya kehidupan. Ust. Edison, itulah pemanggil yang kusimpan di ponsel saya. Segera kuangkat saja. Ustaz Edison tak mungkin pagi-pagi menelepon jika tak ada sesuatu yang penting.
"Aa dan Lira sehat?" Ustaz Edison memulai pembicaraan dengan menanyakan kabarku dan istri.
"Alhamdulillah sehat, Ustaz," jawabku.
"Bisa Aa ngisi acara Muhasabah di SMA I Batusangkar?" tanyanya balik.
"Insyaallah bisa, Ustaz!" jawabku.
Pembicaraan diakhiri dengan salam. Saya pun berangkat ke lokasi. Acara tak jauh dari rumah kontrakanku, tepatnya di Masjid Taqwa Parak Juar, Batusangkar.
Sebelum berangkat saya pelihara niat agar ikhlas dalam menyampaikan. Jika tidak, maka ruh tausiah tentu tidak akan tersampaikan.