Suatu hari, saat saya sedang menulis. Tiba-tiba ada panggilan masuk. Ketika saya lihat ternyata telpon dari Dr. Adam Saleh, dosen di IAIN Palu, yang pernah kerja sama penerbitan buku dengan Hakim Publishing yang saya nakodai. Saya pun angkat telpon dan terjadilah dialog hangat namun santai.Â
Setelah berbasi-basi menanyakan kabar saya dan begitu pun saya menanyakan kabarnya, maka masuklah ke inti pembicaraan, di mana beliau hendak mengundang saya menjadi pembicara bareng beliau dan salah satu doktor di Serang, Banten. Mengundang saya dalam kapasitas sebagai "Motivator". Dan tema yang diangkat adalah "Pendidikan bagi Oang Miskin". Saya pun menyanggupi permintaan terhormat itu.
Sebelum menutup pembicaraan, Dr. Adam meminat saya mengirim nama lengkap dan gelar akademis saya, untuk laporan kepada panitia. Saya pun sempat menolaknya, "Nggak usahlah Pak Doktor, malu saya. Saya kan cuma S2 nggak tamat. Cukup nama saja ya. Hehehe". Namun Pak Adam tetap bersikeras meminta saya me-sms nama lengkap saya dengan embel-embel di belakang. Saya pun pasrah menerima permohonan ini. Saya pun mengirim pesan singkat ke Pak Adam, "Abdul Hakim El Hamidy, S.Pd.I". Ya gelar saya adalah Sarjana Pendidikan Islam di bidang Bahasa Arab.
Pembicaraan lewat telepon genggam pun ditutup. Saya berpikir ketika itu. "Lho, kenapa saya diundang untuk berbiacara bareng dua Doktor (S3), padahal saya cuma tamat S1. Ya sempat S2, tapi itu pun nggak tamat? Apa yang mereka lihat dari saya ya?" Beberapa pertanyaan menuju diri saya sendiri. Sebuah pertanyaan atas keheranan.
Tibalah waktu yang dinanti. Pak Adam menelepon saya bahwa beliau sudah sedang di Bandara Palu, Sulawesi Tengah, untuk bersiap-siap menuju Jakarta. Beliau mengatakan agar kami ketemuan saja di Bandara Soekarno Hatta, karena beliau dijemput temannya yang Doktor. Sehingga Jakarta menjadi tempat pertemuan kami menuju Serang, Banten.
Saya pun bersiap berangkat dari Bandung. Singkat cerita, saya menuju Jakarta dengan memakai Travel dan sampailah di Jakarta. Ternyata, Pak Adam sudah lebih dulu tiba di Jakarta. Saya pun  menelepon di mana posisi beliau. Beliau pun menunjukkan di mana posisinya. Pertemuan mengharukan pun terjadi. Sebuah pertemuan pertama secara langsung. Beliau memeluk saya, lalu dengan nada canda berkata, "Saya kira Aa ini sudah tua, eh ternyata masih muda dan ganteng." Saya tersenyum. "Ah, ada-ada saja nih Pak Doktor. Pak Doktor juga muda dan ganteng. Hehehe. Baru kali ini ada yang nyebut saya ganteng. Itu fitnah. Hehehe." Candaan hangat pun mengalir.
Setelah itu, saya pun menyalami Dr. Syu'aib, temannya Pak Adam, yang juga akan menjadi pembicara. Beliau adalah dari pihak UNTIRTA, Serang. Lalu, saya pun diajak makan. Kami pun makan dengan lahap, karena kami sama-sama lapar. Hehehe.
Makan sudah, maka siap SMP (Siap Makan Pergi). Hehehe. Kami berangkat bertiga dengan mobil Kijangnya Pak Syu'aib. Di jalan kami mengobrol dengan hangat. Walaupun baru pertama kalinya kami bertemu, namun suasana sudah terasa akrab, seperti sudah kenal begitu lama.
Tak terasa, kami pun tiba di rumahnya Pak Syu'aib. Acara seminar akan diadakan besok. Artinya, saya bermalam satu malam di rumahnya Pak Syu'aib.
Satu malam melepas lelah. Kami satu kamar dengan Pak Adam. Saya sangat salut dengan kedisiplinan beliau. Jam 10 malam, sudah tidur, dan jam 3 dinihari, sudah bangun untuk Tahajud. Sepertinya didikan shalat Tahajud sama dengan ayah saya. Ayah saya selalu bangun jam 3 untuk Tahajud, dan beliau pun mengajarkan kepada saya untuk selalu bangun dan disiplin melaksanakan shalat Tahajud.
Pekatnya malam berubah menjadi terang. Mentari pagi di Serang sudah menampakkan cahayanya. Pak Syu'aib pun datang. Kami diajak sarapan pagi. Dan setelah itu kami sama-sama berangkat ke lokasi acara.
Saat memasuki Aula. Saya tercengang. Tiba-tiba saja nama saya dan nama Pak Adam dan Pak Syu'aib tertera di spanduk lengkap dengan gelar "Doktor". Ya, kalau Pak Adam dan Pak Syu'aib, ia memang benar-benar sudah tamat S3 dan bergelar "Doktor", yang membuat saya tercengang, nama saya tertulis. "Dr. Abdul Hakim El Hamidy, S.Pd.I". Saya pun berbisik seraya bercanda kepada Pak Adam. "Pak Doktor, sejak kapan saya tamat S3 dan dapat gelar Doktor ya? Malu saya. Hehehe." Pak Adam pun menyahut, "Aa ini sebenarnya sudah Doktor, bahkan sudah Profesor. Karya Aa kan sudah puluhan, saya saja yang Doktor baru 1 karya saya." (kebetulan ketika itu baru 1 buku karya Pak Adam yang terbit yaitu "Laskar Kembar Bulan Purnama").
Dengan beban berat "Doktor dadakan" saya pun maju menuju tempat duduk pemateri. Saya duduk di tengah menggandeng dua Doktor.
Acara pun dimulai. Yang mengisi materi pertama Dr. Syu'aib. Dengan pemaparan beliau yang ilmiah, sistematis dan penuh bobot, saya pun semakin ciut. Saya membatin, apa yang mau saya sampaikan nih? Tiba-tiba datang inspirasi dari Allah. "Politik Tuhan". Yang dua kata itu tiba-tiba berkelebatan di otak saya.
Pemaparan dari Pak Syu'aib pun selesai. Tibalah moderator mempersilakan saya. Katanya, "Pembahasan selanjutnya disampaikan oleh Motivator Muda kita, Dr. Abdul Hakim El Hamidy, S.Pd.I.". Saya pun merasa geli. Gelar "Doktor" itu yang membuat saya geli. Tetapi saya mesti pede. Lho, wong saya sekarang berbicara sebagai seorang Akademisi. Doktor gitu lho, hehehe.
Saya pun memegang microfon. Setelah salam dan kata pembuka. Saya pun  langsung menyampaikan beberapa kalimat inti. Saya sampaikan,
"Saudaraku semua, sejatinya kemiskinan adalah 'Politik Tuhan'. Kemiskinan adalah siasat Tuhan agar kita menjadi besar, penuh motivasi, dan tidak cengeng. Bukankah banyak orang miskin yang bisa kuliah? Bukankah banyak orang melarat yang bisa sukses dan menjadi jutawan bahkan miliader? Dan tahukah Anda, orangtua saya tidak tamat SD. Saya lahir dari keluarga miskin, tapi alhamdulillah saya bisa kuliah dengan biaya sendiri, bisa menjadi motivator dan trainer. Kalaulah Allah Memampukan saya. Saya lahir dari keluarga yang kaya raya, barangkali saya tidak akan dewasa dan bisa berbicara di hadapan Anda sekarang."
Tepuk tangan pun mengisi ruangan. Saya heran, apa yang memuat peserta memberikan aplaus terhadap saya.
Keheranan saya pun semakin muncul banyak tangan teracung mempertanyakan  karena merasa aneh dengan pembahasan saya tentang "Politik Tuhan". Padahal waktu itu belum dibuka sesi tanya-jawab.
Salah seorang mahasiswi bertanya. Dia sangat terkesan dengan pembahasan saya yang "aneh" itu. Katanya, baru kali ini dia mendengar pembahasan yang unik. Maka saya pun menjawab pertanyaannya. Dan ia pun menyatakan puas.
Pertanyaan yang hampir serupa pun muncul dari beberapa mahasiswa. Saya pun jawab. Moderator pun menutup sesi tanya-jawab. Karena waktu sangat terbatas. Saya pun disuruh melanjutkan materi sekaligus kesimpulan atas materi saya. Dan materi saya pun selesai.
Materi inti dilanjutkan oleh Dr. Adam Saleh. Saya pun mendengar pemaparannya. Berbobot, ada joke, dan yang mencengangkan saya, Pak Adam bisa menyanyikan lagu dangdut. Saya tercengang dengan bakat terpendamnya. Doktor, bisa nyanyi dangdut. Hehehe.
Seluruh materi selesai. Saya pun meninggalkan tempat acara dengan rasa syukur, karena saya bisa menyelesaikan materi dengan tanggapan yang hangat dari peserta. Hal yang tak terbayangkan sebelumnya.
Di luar aula dan saat berjalan menuju mobilnya Pak Syu'aib, Pak Adam dengan penuh rendah hati berujar, "Aa ini luar biasa! Saya sudah Doktor. Sudah S3. Tapi baru tadi saya mendengar istilah 'Politik Tuhan'. Aa ini memang sudah Profesor, bukan hanya Doktor."
"Ah, ada-ada saja Pak Doktor ini. Bercanda. Saya tadi itu "ngarang", saking bingungnya apa yang mau disampaikan. Hehehe."
Pak Adam tetap menunjukkan rasa heran. Doktor yang rendah hati ini terus memuji saya. Tapi saya terus menepisnya. Bagi saya, saya hanyalah orang yang diberi inspirasi oleh Allah, sehingga bisa berkata-kata dengan lancar, bukan karena kehebatan saya.
***
Kira-kira hikmah apa yang bisa dipetik dari pengalaman saya di atas ya?
MENULISLAH. BERKARYALAH. Ya, walaupun Anda tidak tamat S2, S3, bahkan tidak tamat SD sekalipun, tetaplah bersemangat untuk menulis. Karena menulis (terutama menulis fiksi dan buku populer) tidak mensyaratkan gelar apa pun. Tidak tamat sekolah bukan berarti harus berhenti berkarya.
Demikianlah keajaiban berkarya. Itu hanya salah satu dari cerita saya tentang kedahsyatan menulis. Sudah banyak penghargaan yang saya rasakan dari menulis. Saya pernah berkali-kali pernah berbicara di depan para doktor memberikan seminar dan motivasi. Mereka mengundang saya bukan karena gelar akademis saya, tapi karena karya saya.
Kesimpulannya: Jika ada biaya dan kesempatan Anda tetap kuliah. Tapi jika tidak ada, maka teruslah berkarya untuk menebar manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H