Seluruh materi selesai. Saya pun meninggalkan tempat acara dengan rasa syukur, karena saya bisa menyelesaikan materi dengan tanggapan yang hangat dari peserta. Hal yang tak terbayangkan sebelumnya.
Di luar aula dan saat berjalan menuju mobilnya Pak Syu'aib, Pak Adam dengan penuh rendah hati berujar, "Aa ini luar biasa! Saya sudah Doktor. Sudah S3. Tapi baru tadi saya mendengar istilah 'Politik Tuhan'. Aa ini memang sudah Profesor, bukan hanya Doktor."
"Ah, ada-ada saja Pak Doktor ini. Bercanda. Saya tadi itu "ngarang", saking bingungnya apa yang mau disampaikan. Hehehe."
Pak Adam tetap menunjukkan rasa heran. Doktor yang rendah hati ini terus memuji saya. Tapi saya terus menepisnya. Bagi saya, saya hanyalah orang yang diberi inspirasi oleh Allah, sehingga bisa berkata-kata dengan lancar, bukan karena kehebatan saya.
***
Kira-kira hikmah apa yang bisa dipetik dari pengalaman saya di atas ya?
MENULISLAH. BERKARYALAH. Ya, walaupun Anda tidak tamat S2, S3, bahkan tidak tamat SD sekalipun, tetaplah bersemangat untuk menulis. Karena menulis (terutama menulis fiksi dan buku populer) tidak mensyaratkan gelar apa pun. Tidak tamat sekolah bukan berarti harus berhenti berkarya.
Demikianlah keajaiban berkarya. Itu hanya salah satu dari cerita saya tentang kedahsyatan menulis. Sudah banyak penghargaan yang saya rasakan dari menulis. Saya pernah berkali-kali pernah berbicara di depan para doktor memberikan seminar dan motivasi. Mereka mengundang saya bukan karena gelar akademis saya, tapi karena karya saya.
Kesimpulannya: Jika ada biaya dan kesempatan Anda tetap kuliah. Tapi jika tidak ada, maka teruslah berkarya untuk menebar manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H