Wabah Corona bukan hanya berefek terhadap pengurangan komunikasi secara face to face, akan tetapi hal ini berpengaruh kepada aktivitas perekonomian.
Sebagai contoh kasus. Di sebelah rumah saya ada seorang penjual es campur. Omset per hari biasanya dapat mencapai 300 - 500 ribu rupiah. Segmen pasar yang dibidik adalah anak-anak sekolah. Namun, pada era wabah Corona ini, sementara anak diliburkan, tentu si Abang Tukang Es Campur ini harus keliling dari kampung ke kampung. Secara waktu, ia sudah menghabiskan banyak waktu, secara ekonomi, ia harus mengeluarkan biaya bensin lebih banyak daripada biasa. Belum lagi jualan yang kadang habis kadang tidak.
Jumlah perkumpulan manusia yang berkurang, mengurangi omset penjualan. Terkadang, di dalam era Corona ini segala sesuatu jadi sensitif. Jika pembeli lihat orang yang berjualan tampak kurang bersih dari segi penampilan, si calon pembeli mundur teratur. Khawatir kena virus, katanya.
Yang paling aman di corona ini tentu ASN (dulu PNS). Diam di rumah, gaji tetap mengalir.
Namun, apakah masih ada pekerjaan lain (yang tidak dianggap pekerjaan) yang tetap jalan? Ya, ada. Itulah PEKERJA TEKS KOMERSIAL, atau istilah kerennya Writerpreneur (Penulis-Pengusaha).
Siapakah Writerpreneur/Pekerja Teks Komersial itu?
Writerpreneur bukan hanya penulis yang menerbitkan sendiri, lalu ia jual bukunya secara direct selling maupun online , tetapi writerpreneur adalah mereka yang menulis ide orang lain dengan memberikan tarif teks yang ia kemas. Dikutip dari buku 5W 1H Writerpreneur karya Bambang Trim, bahwa ada beberapa profesi yang dapat dijalani oleh seorang writerpreneur;
- Ghost writer(penulis bayangan)
- Co-writer(penulis pendamping)
- Publisis
- Agen sastra
- Perajin buku
- Penyedia jasa penerbitan
- Penerbit mandiri
- Penerbit
Dari profesi yang disebutkan, saya telah menjalani sebagai ghost writer, co-writer, Perajin buku, publishing service (penyedia jasa penerbitan) dan penerbit mandiri. Sebagai penulis bayangan, saya telah mengerjakan banyak proyek penulisan untuk membantu mereka yang sejatinya memiliki ide brilian dan dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang, akan tetapi mereka tidak memiliki kemampuan memindahkan ide itu ke dalam bahasa tulisan dan menjadikannya sebagai buku.
Apakah saya ikhlas (tanpa bayaran) sebagai penulis pendamping dan penulis bayangan? Saya adalah Pekerja Teks Komersial (bukan Pekerja Seks Komersial, hehehe), artinya apa yang saya tulis harus dibayar secara profesional. Ada yang dibayar per halaman A4 sebesar 200.000,-, ada juga yang dibayar per paket lengkap (penulisan, editing, layout, desain kover sampai penerbitan) dengan nilai puluhan juta hingga ratusan juta.
Dalam proses penulisan untuk para public figure maupun pejabat, setelah bertemu klien, lalu mewawancarai dan menyerap ide, serta mengumpulkan data terkait, saya kerjakan semua proses itu di  rumah saya yang sekaligus menjadi kantor saya sebagai writerpreneur. Bahkan, kini rumah tempat saya tinggal saya sulap menjadi CV Mazaya yang bergerak pada bidang penerbitan. Jadi, sebelum ramai dibacarakan istilah Work from Home (WFH), saya sebagai Writerpreneur sudah lama melakukannya.
Sebagai realisasi dari WFH ini, dalam masa karantina di era corona ini saya lebih banyak di rumah, menulis dan menyunting (bukan melamar, hehehe). Ada yang sifatnya sosial (dengan bayaran kecil) seperti membantu mengemas tesis dan PTK, PTS jadi buku, ada juga proyek besar dari instansi yang dikerjakan secara profesional pada angka puluhan juta hingga mencapai 100 juta.