Sore itu, di tahun 2000, saya melihat seorang lelaki duduk di tangga masuk masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Ia duduk sendirian di salah satu anak tangga. Penampilannya biasa saja. Berbaju putih lengan panjang dan celana hitam di bawah lutut. Rambutnya gondrong dan mulutnya komat-kamit. Ia bicara sendiri seakan di depannya ada orang lain, padahal tak ada. Orang-orang lalu lalang mengabaikannya; mengganggap hal biasa. Mungkin orang-orang mengira ia orang gila. Pada tahun itu, memang banyak orang gila seusai peristiwa krismon.
Seingat saya, pada saat itu ponsel masih menjadi barang mewah dan teknologi bluetooth yang memungkinkan komunikasi nirkabel lewat headset yang terpasang di telinga juga belum begitu populer. Namun ditinjau dari masa kini, apa yang dilakukan orang itu seperti orang yang sedang berkomunikasi nirkabel via bluetooth tanpa menyentuh perangkat ponsel. Sekarang, jika kita melihat ada orang duduk di tangga masjid sedang berbicara sendiri, kita tak lantas menyangkanya gila, siapa tau dia sedang berkomunikasi dengan orang lain lewat headset nirkabel.
Pertanyaannya: bagaimana mungkin seseorang di tahun 2000 telah bisa melakukannya?
TUBUH MANUSIA ADALAH GELOMBANG
Sudah sejak lama manusia menemukan manfaat frekuensi gelombang yang menjadi dasar penemuan radio dan televisi. Gelombang ini tak bisa dilihat, tak memiliki warna, tak berbau, dan tak bisa disentuh panca indra; tetapi ada. Manusia modern meyakini keberadaan gelombang radio meskipun berdasarkan pengalaman ia tak pernah melihat warnanya, tak bisa mencium baunya, dan tak pernah menyentuhnya. Manusia modern meyakini adanya gelombang radio karena telah berhasil menangkapnya dengan antena dan mengubahnya menjadi suara atau gambar. Gelombang radio membuktikan bahwa sesuatu yang tak kasat mata bukan berarti tidak ada.Â
Seandainya kita bisa melihat gelombang radio dengan mata kita, maka hidup kita akan terganggu oleh berbagai penampakan yang semrawut tepat di depan mata kita. Kita akan kesulitan menerapkan fokus karena gangguan visual tepat di depan hidung kita. Nyaris di manapun kita berada, kini perangkat modern telah membantu kita untuk menangkap gelombang tersebut dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bisa didengar dan dilihat.
Dalam tataran quantum, seluruh yang terlihat pada dasarnya adalah gelombang, tak terkecuali tubuh manusia. Segala yang tampak oleh mata, termasuk tubuh manusia, tersusun oleh atom-atom. Atom-atom ini jika diurai hingga bagian yang terkecil, akan menyisakan partikel yang bersifat materi sekaligus gelombang. Dengan kata lain, tubuh manusia adalah gabungan gelombang yang teramat banyak yang memungkinkan materinya terlihat oleh mata. Di balik apa yang terlihat, tubuh manusia adalah gelombang.Â
Sebagai gelombang, tubuh manusia bisa berinteraksi dengan gelombang. Gelombang yang menjadi tubuh manusia, yang dimensinya terbatas, secara teoritis, bisa berinteraksi dengan gelombang di alam semesta yang manusia tak mengetahui batasnya. Manusia modern memang membutuhkan alat bantu untuk berinteraksi dengan gelombang tak tampak ini, namun ini tidak membuktikan bahwa tubuh manusia itu sendiri tidak bisa berinteraksi langsung dengannya. Jika antena perlu menyamakan frekuensi agar bisa menangkap dan memanfaatkan gelombang, tubuh manusia pun perlu upaya yang sama untuk menangkap dan memanfaatkan gelombang. Masalahnya, selain sudah tergantung dengan alat bantu penangkap gelombang, manusia modern tak pernah diajarkan bagaimana cara menangkap gelombang dengan tubuhnya sebagai antena.
TERCELUP DALAM LAUTAN GELOMBANG
Dalam tataran quantum, seluruh penampakan alam semesta bagaikan lautan gelombang. Ke mana pun wajah diarahkan, manusia akan menemui gelombang. Di luar tubuh manusia ada gelombang, di dalam tubuhnya sendiri juga gelombang.
Pada titik pembahasan ini, saya menganalogikan tubuh kasar manusia dibandingkan alam semesta bagaikan bongkahan es di dalam lautan. Lautan adalah air dan bongkahan es itu sendiri juga air; air yang membeku. Luar dalam bongkahan es tersebut adalah air. Itulah kenapa tidak tepat jika dikatakan bahwa manusia berada di dalam gelombang, karena luar dalam sama-sama gelombang. Istilah yang mendekati adalah pernyataan bahwa gelombang menyertai kehidupan manusia; luar dalam. Meliputi namun tidak terbatas pada dimensi tubuh.
Laut berisi air, ke mana mata diarahkan, yang terpandang adalah air. Di sini air, satu kilometer di depan juga air. Jika seseorang mencelupkan tangannya ke satu titik di laut tidak dikatakan ia mencelupkan tangannya ke air melainkan dikatakan ia mencelupkan tangannya ke laut. Saya teringat tokoh komik Deni Si Manusia Ikan yang mencelupkan kepalanya ke laut saat berkomunikasi dengan para penghuni lautan.
Sejauh pembahasan singkat ini, kita bisa memaklumi kenyataan bahwa seseorang yang bisa memanfaatkan tubuhnya sebagai antena untuk menangkap gelombang ataupun sebagai pemancar untuk mengirim gelombang, kita tidak bisa serta-merta menyebutnya gila. Bahwa apa yang bisa dilakukan orang ini kenyataannya tidak bisa dilakukan oleh kebanyakan orang tidak menjadi bukti bahwa komunikasi langsung semacam ini tidak bisa dilakukan.
KOMUNIKASIÂ UNIVERSAL TANPA BAHASA
Jika lelaki misterius di tangga masjid Sunda Kelapa terindikasi telah melakukan komunikasi langsung dengan memanfaatkan lautan gelombang, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana teknik tersebut ia lakukan? Sayangnya jawaban atas pertanyaan ini tidak menjadi fokus pembahasan artikel ini. Mungkin diperlukan artikel lain untuk membahasnya. Namun begitu, satu hal yang bisa digarisbawahi adalah bahwa teknik semacam itu dimungkinkan ada. Atau bisa juga tidak ada, bahwa yang ada adalah seseorang dimampukan untuk melakukannya tanpa teknik sekalipun. Itu berarti, seseorang serta-merta bisa melakukannya tanpa harus didahului mempelajari teknik khusus. Ia bisa melakukannya karena diizinkan oleh Yang menguasai gelombang untuk bisa melakukannya.Â
Seorang ibu bisa melakukannya kepada anaknya yang sedang merantau ribuan kilometer darinya. Seorang guru bisa memahami apa yang tak disampaikan muridnya melalui kata-kata. Ini adalah bahasa yang murni tanpa huruf dan ejaan. Bahasa universal yang bisa dipahami namun sulit dijelaskan antara seseorang dengan seorang lain yang saling terpaut hatinya. Ini adalah bahasa yang disampaikan daun kepada manusia ketika ia diterpa angin sebelum badai datang menerpa. Mereka yang telah mencelupkan dirinya, dimungkinkan untuk bisa menerjemahkan arti senyuman, bisa membedakan senyuman yang asli dari yang palsu. Inilah bahasa yang bahkan sudah tersampaikan kepada penerima ketika si penyampai pesan diam tak mengeluarkan suara. Â
Alasan kenapa komunikasi semacam ini tidak dikenal tekniknya dan cenderung tidak disadari keberadaannya adalah karena memang tidak bisa dipelajari dan nyaris tak bisa diajarkan. Seseorang mengalaminya, ketika ia diminta menjelaskan, ia tak bisa menguraikannya. Menjelaskan pengalaman berkomunikasi langsung seperti itu sama sulitnya dengan menjelaskan bagaimana rasa durian kepada orang yang belum pernah makan durian. Anda tak punya teknik untuk menjelaskannya. Namun ketika orang itu mengalami sendiri, ia makan durian dan merasakan rasanya, Anda tak perlu menjelaskannya lagi karena ia sudah memahami langsung bagaimana rasa durian. Komunikasi langsung terjadi karena dialami.Â
Suatu saat Anda mungkin mengalaminya; ketika Anda tercelup dalam lautan gelombang alam semesta, tiba-tiba Anda melihat objek yang berlokasi ribuan kilometer dari lokasi Anda berada, atau saat itu tiba-tiba Anda terhubung dan bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang sedang ada di negeri seberang. Pada saat itu, posisi Anda tak jauh beda dengan lelaki misterius di tangga masjid Sunda Kelapa, sebab di mata kebanyakan orang, pada saat itu terjadi Anda akan tampak seperti orang yang layak disebut gila.
Bandar Lampung, 12 Oktober 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H