Di tengah-tengah era perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat, kebebasan berekpresi menjadi salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Namun, dalam realitasnya, apakah kebebasan berpendapat yang kita rasakan saat ini hanya sekedar simulasi semu belaka?
kebebasan berpendapat dan demokrasi merupakan dua hal yang saling terkait. Dalam praktiknya, kebebasan berpendapat diragukan dan menjadi tantangan dalam menjaga kebebasan berpendapat yang seharusnya menjadi hak setiap individu. Sebagai negara demokratis, Indonesia memiliki ketentuan dalam UUD yang mengatur tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, dalam praktiknya, kebebasan berpendapat masih terbatas dan dapat dibatasi oleh pemerintah. Pembatasan tersebut haruslah diatur oleh undang-undang yang jelas dan ringkas. Selain itu, pembatasan harus dilakukan dengan tetap menghormati hak asasi manusia dan tidak sewenang-wenang.
Banyaknya platform digital, media sosial, dan forum diskusi memungkinkan setiap individu untuk mengekspresikan pandangannya secara terbuka. Namun, di balik tampilan kebebasan yang terlihat, Â ada keterbatasan dan tantangan yang membuat kita meragukan apakah kebebasan itu benar-benar ada.
- Fenomena Filter Bubble
Pertama, adanya fenomena filter bubble atau gelembung filter membuat kita terjebak dalam eksklusivitas informasi yang hanya sejalan dengan pandangan kita sendiri. Hal ini menjadikan pemahaman kita terbatas dan mereduksi keragaman pendapat yang seharusnya ada dalam masyarakat. Kebebasan berpendapat seharusnya memberikan dorongan untuk mendengar sudut pandang yang berbeda dan menerima perbedaan sebagai bagian yang penting dalam proses demokrasi.
Gelembung filter adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena isolasi intelektual yang terjadi saat situs web menggunakan algoritme untuk menyajikan informasi secara selektif kepada kami berdasarkan perilaku kami di masa lalu, seperti perilaku klik, riwayat penelusuran, riwayat pencarian, dan lokasi kami.Â
Algoritme membuat asumsi tentang informasi apa yang akan membuat kita tertarik dan kemudian menyajikan informasi tersebut kepada kita sesuai dengan itu. Hal ini dapat mengakibatkan gelembung filter di mana kita hanya melihat informasi yang menegaskan keyakinan dan nilai kita, yang menyebabkan kurangnya pemikiran kritis dan ketidakmampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda.
- Intimidasi Dan Penindakan Sepihak
Kedua, kebebasan berpendapat sering kali dibatasi oleh penindakan dan intimidasi. Aktivis, jurnalis, atau individu yang berani mengungkap kebenaran sering kali menghadapi ancaman atau represi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Bungkamnya suara pers, terutama di lingkungan kampus, merupakan salah satu contoh nyata betapa kebebasan berpendapat bisa terhambat oleh birokrasi yang tidak memprioritaskan transparansi dan kebenaran.
Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang sangat dasar dan merupakan bagian dari iklim demokrasi. Namun, kebebasan berpendapat bukanlah hak yang mutlak karena kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak orang lain. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat harus dilakukan dengan tanggung jawab dan tidak merugikan orang lain. Pembatasan kebebasan berpendapat juga diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, dan hak asasi manusia orang lain.
- Pengaruh kekuasaan
Ketiga, pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi sering  memanipulasi opini publik. Dalam era di mana kebebasan berpendapat sangat tergantung pada akses informasi, tidak jarang kita melihat dampak dari propagandisasi dan dis informasi yang tujuannya adalah mengendalikan opini publik. Dengan skenario ini, kebebasan berpendapat yang hanya semu semakin jauh dari realitas yang sesungguhnya.
Untuk menjaga kebebasan berpendapat agar tidak hanya sebatas simbol semu, langkah-langkah perlu diambil. Pertama, kita perlu mengupayakan pendidikan media dan literasi informasi yang berkelanjutan agar masyarakat memiliki kemampuan kritis dalam menyaring informasi yang diterima. Kedua, perlindungan terhadap aktivis, jurnalis, dan individu yang berani mengungkap kebenaran harus menjadi prioritas dalam sistem hukum yang adil dan berkeadilan. Terakhir, transparansi dan akuntabilitas harus diupayakan di berbagai sektor, termasuk birokrasi kampus, untuk mewujudkan kebebasan berpendapat yang sejati.
Sebagai warga negara yang demokratis, kita perlu terus merefleksikan keterbatasan dan tantangan yang menghadang kebebasan berpendapat. Tidak cukup hanya menyaksikan kebebasan simulatif semu, tetapi juga bergandengan tangan dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat yang lebih nyata dan inklusif.Â
Dalam praktiknya, kebebasan berpendapat dapat menjadi simulasi semu karena adanya pembatasan dan keterbatasan dalam menjaga kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menjaga kebebasan berpendapat agar tidak hanya menjadi simulasi semu. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebebasan berpendapat dan demokrasi, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebebasan berpendapat dan demokrasi.
Oleh: Moh. Hairud Tijani, Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, menulis apa saja yang bisa di baca
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H