Berkendara Aman: Membangun Kesadaran Masyarakat melalui Komunikasi Efektif
Jalan raya bisa jadi tempat yang mendebarkan. Bayangkan saja, setiap hari kita berhadapan dengan ribuan kendaraan yang berlalu-lalang, masing-masing dengan tujuan dan kecepatannya sendiri. Di tengah hiruk-pikuk ini, keselamatan menjadi hal yang sangat penting. Itulah mengapa UNISA Yogyakarta mengadakan workshop "Unite for Safety" dalam rangkaian acara Antariksa 2024.
Antariksa, ajang kreativitas mahasiswa Komunikasi UNISA Yogyakarta, tahun ini mengangkat tema yang sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari kita. Pada tanggal 20 Juli 2024, Hall Siti Baroroh Barride dipenuhi oleh mahasiswa yang antusias untuk belajar tentang safety riding. Acara ini menghadirkan dua pembicara menarik: Mas Rang, seorang influencer casual riding, dan M Ali Iqbal dari Astra Motor Yogyakarta.
Mengapa tema ini penting? Jawabannya sederhana: keselamatan adalah tanggung jawab bersama. Setiap pengendara, baik roda dua maupun roda empat, memiliki peran dalam menciptakan lingkungan berkendara yang aman. Namun, bagaimana cara membangun kesadaran ini?
Di sinilah teori disonansi kognitif dari Leon Festinger bisa memberikan pencerahan. Teori ini menjelaskan bahwa ketika seseorang memiliki dua atau lebih keyakinan yang bertentangan, mereka akan mengalami ketidaknyamanan psikologis (Festinger, 1957). Dalam konteks berkendara, banyak orang mungkin tahu bahwa berkendara ugal-ugalan itu berbahaya, tapi tetap melakukannya karena merasa "selama ini baik-baik saja".
Untuk mengubah perilaku ini, kita perlu menciptakan disonansi yang cukup kuat. Misalnya, dengan menunjukkan data kecelakaan yang terjadi akibat berkendara tidak aman, atau cerita-cerita nyata dari korban kecelakaan. Ini akan menciptakan ketidaknyamanan psikologis yang mendorong orang untuk mengubah perilakunya.
Berbicara tentang kecelakaan, kita tidak perlu melihat jauh-jauh. Di sekitar kampus UNISA sendiri, tepatnya di Jl. Ringroad Barat, kecelakaan bukan hal yang asing. Beberapa mahasiswa UNISA pernah mengalami kecelakaan di jalan ini, dan kejadian seperti ini cukup sering terjadi. Ini menjadi pengingat keras bahwa Ringroad Barat bukanlah sirkuit balap, melainkan jalan umum yang harus kita hormati bersama.
Kecelakaan-kecelakaan ini bisa jadi bahan diskusi yang sangat relevan dalam workshop. Bagaimana kita bisa belajar dari kejadian-kejadian ini? Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal serupa terjadi di masa depan? Ini bukan hanya tentang menakut-nakuti, tapi lebih kepada membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya keselamatan berkendara.
Mas Rang, sebagai influencer, memiliki peran penting dalam hal ini. Dengan followersnya yang banyak, dia bisa menjadi agen perubahan yang efektif. Bayangkan jika setiap postingannya tidak hanya menampilkan gaya berkendara yang keren, tapi juga menekankan pentingnya keselamatan. Pesan-pesan seperti "Helm itu seksi" atau "Ngebut? Ga banget deh!" bisa jadi cara yang ringan tapi efektif untuk menyebarkan pesan keselamatan.
Sementara itu, M Ali Iqbal dari Astra Motor Yogyakarta bisa memberikan perspektif dari sisi industri. Bagaimana produsen motor berusaha meningkatkan keamanan produknya? Apa saja fitur keselamatan terbaru yang perlu diketahui konsumen? Informasi ini penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang aspek teknis keselamatan berkendara.
Workshop ini bukan hanya tentang mendengarkan ceramah. Peserta juga diajak untuk aktif berdiskusi dan berbagi pengalaman. Ini sejalan dengan prinsip pembelajaran experiential yang dikemukakan oleh David Kolb, di mana pengalaman konkret, observasi reflektif, konseptualisasi abstrak, dan eksperimentasi aktif menjadi satu siklus pembelajaran yang efektif (Kolb, 1984).
Dalam konteks Yogyakarta yang terkenal dengan budaya "ngalamnya", workshop ini bisa menjadi ajang untuk mendiskusikan bagaimana kita bisa tetap menikmati keindahan kota tanpa mengorbankan keselamatan. Mungkin kita bisa mengeksplorasi ide-ide seperti rute bersepeda yang aman, atau cara menikmati sunset di Parangtritis tanpa ngebut di jalan.
Harapannya, setelah mengikuti workshop ini, peserta tidak hanya memahami pentingnya safety riding, tapi juga termotivasi untuk menjadi agen perubahan di lingkungan mereka. Bayangkan jika setiap peserta workshop ini bisa mempengaruhi setidaknya lima orang di sekitar mereka untuk berkendara lebih aman. Efek domino positif ini bisa membawa perubahan besar dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, membangun kesadaran masyarakat tentang keselamatan berkendara bukanlah tugas yang mudah. Butuh upaya konsisten dan kolaborasi dari berbagai pihak. Namun, dengan adanya inisiatif seperti workshop "Unite for Safety" ini, kita selangkah lebih dekat menuju jalan raya yang lebih aman untuk semua. Mari kita jadikan ini sebagai momentum untuk menciptakan budaya berkendara yang lebih baik, dimulai dari lingkungan kampus UNISA dan menyebar ke seluruh Yogyakarta.
Referensi:
1. Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
2. Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Prentice-Hall.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H