Workshop ini bukan hanya tentang mendengarkan ceramah. Peserta juga diajak untuk aktif berdiskusi dan berbagi pengalaman. Ini sejalan dengan prinsip pembelajaran experiential yang dikemukakan oleh David Kolb, di mana pengalaman konkret, observasi reflektif, konseptualisasi abstrak, dan eksperimentasi aktif menjadi satu siklus pembelajaran yang efektif (Kolb, 1984).
Dalam konteks Yogyakarta yang terkenal dengan budaya "ngalamnya", workshop ini bisa menjadi ajang untuk mendiskusikan bagaimana kita bisa tetap menikmati keindahan kota tanpa mengorbankan keselamatan. Mungkin kita bisa mengeksplorasi ide-ide seperti rute bersepeda yang aman, atau cara menikmati sunset di Parangtritis tanpa ngebut di jalan.
Harapannya, setelah mengikuti workshop ini, peserta tidak hanya memahami pentingnya safety riding, tapi juga termotivasi untuk menjadi agen perubahan di lingkungan mereka. Bayangkan jika setiap peserta workshop ini bisa mempengaruhi setidaknya lima orang di sekitar mereka untuk berkendara lebih aman. Efek domino positif ini bisa membawa perubahan besar dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, membangun kesadaran masyarakat tentang keselamatan berkendara bukanlah tugas yang mudah. Butuh upaya konsisten dan kolaborasi dari berbagai pihak. Namun, dengan adanya inisiatif seperti workshop "Unite for Safety" ini, kita selangkah lebih dekat menuju jalan raya yang lebih aman untuk semua. Mari kita jadikan ini sebagai momentum untuk menciptakan budaya berkendara yang lebih baik, dimulai dari lingkungan kampus UNISA dan menyebar ke seluruh Yogyakarta.
Referensi:
1. Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
2. Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Prentice-Hall.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H