Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Cinta dan Warisan Sejarah di Pulau Penyengat Tanjungpinang

23 Juni 2023   16:31 Diperbarui: 24 Juni 2023   18:37 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mesjid Raya Sultan Riau, Penyengat. Foto: Batamnews.co.id

Pulau Penyengat ini menjadi pulau yang paling banyak pengunjungnya, baik itu wisatawan atau para mahasiswa dan pelajar yang berkunjung ke sana. Banyak peninggalan sejarah yang masih tersimpan dan dijaga dengan rapi oleh masyarakat di sana sebagai kekayaan Pulau Penyengat. 

Sekitar abad 18 sudah ada aktivitas masyarakat terutama perdagangan yang kemudian menjadikan bagian dari kota Tanjungpinang ini menjadi salah satu pulau yang paling sering dikunjungi. 

Dulu, menurut cerita Abangnya Kak Ikka, setelah kami menunggu pompon di pelabuhan Penyengat. Katanya, Penyengat ini menurut sejarah sering menjadi rebutan, selain posisinya strategis karena berada di muara sungai Bintan, Pulau Penyengat menjadi salah satu pulau dengan air tawar yang paling bersir di wilayah Kepulauan Riau.

Hal ini membuat ketertarikan sendiri bagi setiap pelayaran dan pedagang yang melintasi pulau Bintan, mereka mengetahui Pulau Penyengat sebagai tempat air minum yang bersih. 

Tak jarang, pulau ini menjadi rebutan termasuk belanda dan portugis. Terlepas dari cerita abangnya Kak Ikka, beberapa artikel menggambarkan sejarahnya bahwa memang benar, salah satu pulau yang merupakan bagian dari Tanjungpinang ini merupakan tempat orang-orang mengambil air minum. Karena Pulau Penyengat memiliki sumber air tawar yang sangat bersih dan dingin meskipun di musim panas tiba.

Selain itu, ada juga Tugu Bahasa di Pulau Penyengat dan sejumlah tempat bersejarah lainnya. Masih soal bahasa, kedua tokoh pemuda Indonesia yang mengajukan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan ini tidak dapat dianulir pemuda lainnya. 

Setelah Bahasa Indonesia akhirnya diajukan sebagai bahasa Nasional oleh salah satu tokoh pemuda dari Pamekasan Madura, M Tabrani akhirnya disepakati dan dikukuhkan pada tanggal 28 oktober 1928 di Kongres II Pemuda Indonesia. (Baca juga:  Pulau Asal Muasal Bahasa Indonesia).

Marwah Sejarah dan Tugu Bahasa di Pulau Penyengat

Malam itu, semenjak kembali ke hotel tempat kami nginap, saya menghabiskan beberapa literatur sebelum Pukul 03.00 wib, setelahnya melanjutkan istirahat. Pagi setelah pukul 09.00 wib kami bertiga sudah ada di pelabuhan penyeberangan atau dermaga pompon yang berdekatan dengan pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang. 

Pelabuhan ini sangat kecil, hanya bisa menjadi tempat berlabuhnya perahu sampan pompon sebagai moda transportasi laut dari Tanjungpinang menuju ke Pulau Penyengat. Kami menunggu kurang lebih 30 menit, pompon harus terisi penuh sekitar 20-22 orang penumpang. Setelah semua penumpang naik ke perahu, awak perahu pompon melaju perlahan meninggalkan dermaga Tanjungpinang.

Gerbang Masuk Pulau Penyengat. foto: Dodonulis.com
Gerbang Masuk Pulau Penyengat. foto: Dodonulis.com

Kita dibuat takjub melihat kondisi fisik rumah hunian masyarakat di pesisir kota Tanjungpinang, selain rumah hunian di darat, ada sejumlah kampung dengan rumah hunian berada tepat di atas laut seperti rumah panggung dengan menggunakan tiang dari batang pohon ditancap ke dasar laut. 

Tiang-tiang  rumah dari kayu itu bisa diperkirakan berumur hingga puluhan tahun lamanya. Di perahu pompon, seperti biasa saya melanjutkan obrolan dengan Kak Ikka. Sebab kak Ikka lebih banyak tahu tentang seluk beluk dan kehidupan di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat selain perihal sejarah Melayunya.

Pulau Penyengat semakin dekat, Kak Ikka menggunakan telunjuk ke arah salah satu Bangunan Warna Hijau dan kuning. Katanya, itulah Mesjid Raya Sultan Riau. Masjid itu, konon dari cerita masyarakat melatu di Pulau Penyengat sejak mesjid itu dibangun, sebagian bahan bangunnya dicampur dari kuning atau putih telur. 

Semakin penasaran, dengan bangunan mesjid sultan Riau yang dibangun dari kuning atau putih telur ini, di tengah laut antara pulau Bintan dan Pulau Penyengat. Saya sempatkan untuk membuka perpustakaan genggam saya, dengan cepat menulis dengan kata kunci Mesjid Raya Sultan Riau di kolom pencarian aplikasi chrome di handphone.

Membaca kurang lebih dua artikel yang menceritakan tentang bangunan mesjid yang sebagian bahan bangunannya dicampur dengan menggunakan Putih telur, bukan kuning telur. 

Ini seperti cerita mitos atau cerita rakyat yang biasanya kita dengar dari berbagai daerah, hanya saja masyarakat di seluruh kepulauan riau sangat bangga memiliki masjid sebagai cagar budaya dan sejarah Melayu yang masih berdiri megah di tengah-tengah perumahan Msayarakat. 

15 menit setelah kami di perahu pompon, haluan perahu sudah ada di pelabuhan Penyengat. Hal yang luar biasa dari Pulau Penyengat ini, ketika sampai di pelabuhan, jalan keluar berapa meter saja di gerbang masuk pelabuhan, kita sudah melihat Bangunan Masjid Sultan Raya Sultan Riau.

Terlepas dari soal mitos atau cerita rakyat, saya sangat kagum dengan pelestarian situs peninggalan terutama tokoh di suku Melayu yang tersohor di seluruh penjuru Nusantara, yakni Sultan Riau. 

Selain itu, seharunya Pulau Penyengat ini dikenal dengan sebutan kota Gurindam, bukan Kota Tanjungpinang di Pulau Bintan. Tetapi, sejarah telah menulis dan menancapkan eksistensinya kepada segenap anak cucu bangsa Melayu bahwa mereka punya perjalanan sejarah dan peradaban besar yang harus dijaga dan dilestarikan untuk terus hidup.

Hemat saya, Tugu bahasa dan sejumlah tempat bersejarah di Penyengat memberikan kesan bahwa Pulau Penyengat memiliki energi dari sebuah perjalanan panjang, memiliki daya dan marwah sebagai sebuah peradaban besar yang sampai saat ini masih terlihat dengan jelas tercermin dalam keseharian suku Melayu yang mendiami Pulau Penyengat ini.

Pukul 10.00 wib setelah kami istirahat sebentar di salah satu rumah warga yang sudah sangat akrab dengan Kak Ikka, kami melanjutkan perjalanan menuju beberapa rumah di atas laut dan di pesisir pantai. Kak Ikka ternyata sangat akrab dengan warga di sana, mereka sangat senang dengan kedatangan Kak Ikka. Kami pun di perkenalkan oleh Kak Ikka kepada setiap warga yang kami kunjungi ke rumah mereka. 

Kegiatan berjalan dengan lancar meskipun siang itu secara keseluruhan wilayah kepulauan Riau suhunya masih sekitar 34-35 derajat celcius. Di Pulau Penyengat sangat terasa panasnya, mungkin karena pulau ini sangat kecil atau karena hampir seluruh hunian rumah warga berada di dekat pantai.

Berkunjung ke Balai Adat Melayu di Pulau Penyengat

Setelah kami berkunjung beberapa rumah warga yang sudah ditinggal suami dan para lansia, kami melanjutkan dengan wisata seperti malam sebelumnya telah kami rencanakan. Kami mengunjungi Balai Adat Melayu atau Rumah Adat, di sana kami di suruh membasuh muka atau bisa berwudhu menggunakan air di sebuah sumur berada tepat di bawah Rumah/Balai adat itu. 

Di papan depan sebagai informasi, pemerintah menulisnya perigi tua. Dari tutur si bapak yang bertugas sebagai penjaga Balai Adat ini, dia mengisahkan ke kami bertiga, air yang ada di perigi tua ini merupakan sumber mata air yang tak pernah kering meskipun musim panas tiba.

Airnya sangat dingin, saat saya disuruh untuk basuk muka atau bisa berwudhu, ada juga sekitar tiga orang anggota TNI berkunjung ke kesana. Mereka juga meminta si bapak mengambil air untuk mereka bertiga. 

Si bapak ini, bukan hanya seorang diri, dia bersama beberapa orang lainnya punya tugas masing-masing. Ada yang bertugas membuka pintu Balai Adat jika ada yang berkunjung kesana. Kami, saat itu pas berkunjung ke sana sudah waktu libur, jadi tidak bisa masuk atau sekedar melihat ke dalam Balai Adat. Balai adat ini adalah Rumah Panggung dengan Khas Melayu menghadap ke arah laut.

Balai Adat Melayu (Balai Adat Indera Perkasa). Foto: Kelanamakan.com
Balai Adat Melayu (Balai Adat Indera Perkasa). Foto: Kelanamakan.com

Munurut saya, Balai adat merupakan tempat berkumpulnya masyarakat untuk membicarakan atau melakukan sautu hal yang penting. Baik itu masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau para kaum cendikiawan. 

Tempat ini sama seperti tempat lainnya masih berdiri kokoh yang membuktikan bahwa secara eksistensi perjalanan sebuah peradaban dan keberlangsungan Pemerintahan Kerajaan pernah ada. Kekokohan dari bangunan ini menjadi sebuah komponen penting bagi sejarah dan adat sebuah bangsa, terutama bangsa Melayu di Kepulauan Riau.

Balai adat merupakan ciri khas pembangunan perumahan bangsa Melayu yang hingga kini masih terpakai oleh seluruh masyarakat. Design bangunan Balai adat menunjukkan bahwa ciri khas bangsa Melayu dengan arsitektur yang terlampau indah dan kokoh seperti kokohnya pendirian dan mental masyarakat di sekitar kepulauan riau. Saya pikir, identitas kebesaran bangsa Melayu akan tersimpan dengan rapi di dalam Balai Adat Melayu yang masih kokoh itu.

Biasanya, di balai adat selalu terdapat tulisan-tulisan pesan kepada masyarakatnya. Di Balai adat Melayu ini, tertulis berapa pasal dari Gurindam 12, mereka mengenang pencipta Gurindam Raja Ali Haji dalam menyampaikan ungkapan adat atau bahlan pesan dengan Bahasa Melayu. Gurindam sendiri terdiri dari 12 pasal sehingga disebut gurindam 12. Begitulah gurindam mengukir marwah budaya Melayu menjadi suatu kekayaan di Nusantara.

Makam Raja Haji Fisabilillah

Kami istirahat sebentar, matahari mulai terasa terik panasnya. Sebentar lagi dzuhur tiba, kami harus sedikit lebih cepat untuk berkunjung ke beberapa makam pahlawan. Masih menggunakan motor, kami menuju ke wilayah Makam Pahlawan Nasional, makam Raja Haji Fisabilillah. Seperti para pejiarah lainnya, kami sekedar salaman dari pintu masuk makam, lihat-lihat sebentar selanjutnya hanya sempatkan membaca beberapa ayat sebelum kami meninggalkan makam Raja Haji Fisabilillah.

Bagusnya, di makam itu sudah disediakan banyak buku-buku doa. Mungkin dimaksudkan untuk setiap pejiarah yang mau membacakan doa dan sebagainya. Juga terdapat beberapa Al-qur'an, menurut saya hal ini dilakukan dengan maksud untuk orang yang berkunjung ke makam ini bisa membaca satu atau dua ayat di makam ini kalau mereka tidak sempat membawa buku-buku doa.

Raja Haji Fisabilillah adalah yang dipertuan Muda ke 4 kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Anak dari Daing Celak (Yang dipertuan Muda II). Saya membaca beberapa literatur lagi sebelumnya tentang Daing Celak ini, ada artikel yang menceritakan tentang Daing Celak ini merupakan keturunan suku Bugis. Sumber lainnya, memperkuat hal ini dapat dilihat bahwa di Tanjungpinang, selain suku Melayu, cina (tiong hoa) dengan bahasa hokian, ada juga penduduk suku bugis dan lainnya.

Makam Raja Haji Fisabilillah, Foto : Harianriau.co
Makam Raja Haji Fisabilillah, Foto : Harianriau.co

Sedikit gambaran sejarahnya, pada 1777 setelah diangkat sebagai Yang dipertuan Muda menggantikan Daing Kamboja. Raja Haji Fisabilillah dan pasukannya berhasil menenggelamkan kapal komando belanda "Malaka's Walvaren" dan menewaskan salah satu pimpinan eskader belanda dengan 500 pasukannya setelah belanda melanggar perjanjian dengan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang pada 1782-1784 yang dikenal dengan peristiwa kapal "Besty". (Baca Disbudpar Tanjungpinang)

Di 18 juni 1784, kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang kembali diserang oleh belanda, peristiwa ini di kenal dengan "Perang Sosoh" satu lawan satu. Dengan menggunakan 9 armada yang di perintahkan menuju Malaka membawa 362 pucuk meriam dan sekitar 2130 pasukan, sampai di teluk ketapang menghadang Raja Haji Fisabilillah dan pasukannya. 

Pada Perang Sosoh itu, Raja Haji Fisabilillah dan kurang lebih 500 pasukannya gugur. Perang Kesultanan Riau-Lingga-Johor dan Pahang ini di mulai sejak 6 Januari 1784. Hingga diabadikan sebagai hari jadinya Kota Tanjungpinang. 36 tahun kemudian, Makam Raja Haji Fisabilillah dipindahkan dari Malaka ke Pulau Penyengat oleh Putranya Raja Jakfar.

Saya ingin deskripsikan lebih banyak lagi tentang berkunjung ke makam Pahlawan Raja Haji Fisabilillah, hanya saja membutuhkan banyak referensi dan artikel-artikel ilmiah lainnya sebagai materi untuk menyelam lebih jauh menyampaikan hal yang bermanfaat buat teman-teman pembaca.

Melanjutkan perjalanan melalui jalan setapak kecil menuju makam umum di Penyengat. Di sini, baru saya tahu kalau kak Ikka adalah orang asli Pulau Penyengat. Makam yang kami kunjungi ke sana, adalah makam Almarhumah Ibunya kak Ikka. 

Kata Kak Ikka, di sini bukan hanya makam EMaknya, ada juga Makam adiknya, dan juga salah satu makam anak Kak Ikka. Kami bersama dengan Kak Ikka dan abangnya Kak Ikka hanya istirahat sebentar, membersihkan di sekitar Kubur dan selanjutnya berdo'a. Buat mereka, mungkin sama seperti halnya ada dalam isi kepala saya, doa yang sama untuk seluruh Ibu.

Makam Engku Putri (Raja Hamidah ) dan Raja Ali Haji 

Dari makam umum Penyengat, kami buru-buru ke makam Raja Hamidah atau di kenal Engku Puteri dan Raja Ali Haji. Dua makam ini berada di satu lokasi yang sama. Nama Engku Puteri adalah Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah, dia adalah permaisuri Sultan Mahmud Riayat Syah. Orang di tanah Melayu juga mengenalnya sebagai Engku Puteri.

Makam Raja Ali Haji dan Raja Hamidah. foto : Dodonulis.com
Makam Raja Ali Haji dan Raja Hamidah. foto : Dodonulis.com

Dari beberapa artikel juga menjelaskan kalau Pulau Penyengat itu adalah hadiah pernikahan Engku Puteri dengan Sultan Mahmud Riayat Syah sekitar tahun 1800an. Selain Pulau Penyengat, sejumlah alat kebesaran kerajaan pun diamanahkan kepada Engku Puteri. Hal ini dilakukan oleh sultan Mahmud karena Engku Puteri dianggap sebagai salah satu tokoh perempuan yang berpegang teguh pada adat istiadat kerajaan.

Kalau kita melihat lebih jauh tentang makna dari cerita masyarakat di Pulau penyengat ini, pulau kecil ini adalah bagian dari bukti kecintaan dari sultan Mahmud Riayat Syah kepada Engku Puteri Raja Hamidah. Cinta yang sajauh ini akan terus hidup di tahi orang-orang melayu yang ada di pulau penyengat dan kepulauan riau. Pulau yang menyimpan cerita tentang warisan dunia ini harus dilestarikan untuk tetap mempertahankan eksistensinya agar terus hidup.

Di tahun 1812 setelah sultan Mahmud Riayat Syah mangkat, riak konflik terjadi di tubuh pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang karena campur tangan pihak asing. Hingga 1824, Kerajaan terpecah menjadi dua wilayah kerajaan, Johor dan pahang di bawah wilayah kekuasaan inggris, sedangkan Riau dan Lingga di bawah kekuasaan belanda.

Raja Hamidah dimakamkan di kawasan istana Kerjaan pada 7 juli 1844 yang hingga saat ini menjadi wilayah Makam yang dilestarikan sebagai Makam tokoh ternama dan juga tokoh perempuan Melayu pemilik Pulau Penyengat. Makamnya berdampingan dengan makam Bapak Bahasa atau pembuat dan penulis Gurindam 12 Raja Ali Haji.

Raja Ali Haji dikenal sebagai bapak bahasa, beliau adalah salah satu Ulama besar Melayu. Beliau juga merupakan salah seorang pujangga terkenal di abad itu, karya terkenalnya adalah Gurindam 12. Selain itu, Raja Ali Haji juga menulis beberapa buku, sejumlah artikel mengemukakan bahwa sumber utama yang dijadikan sebagai rujukan kamus bahasa Indonesia tidak terlepas dari beberapa Tulisan dari buku yang di tulis oleh Raja Ali Haji, sehingga beliau dikenal sebagai bapak Bahasa.

Pahlawan Nasional Indonesia, Raja Ali Haji lahir di Lingga pada tahun 1808. Di tahun 1847, karya terkenalnya adalah Gurindam 12. Saya setelah sampai di makam ini, saya membaca beberapa pasal Gurindam yang di tulis dan diabadikan di makam. 

Seingat saya ada penggalan dari gurindam 12 bunyinya seperti ini "Raja muafakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri". Saya tidak terlalu ingat berapa baris Gurindam 12 itu. Nanti saya tuliskan Gurindam 12 sepenuhnya di akhir dari tulisan ini.

Menurut saya, Gurindam 12 ini seperti sebuah pesan, seperti bait bait suci untuk dipergunakan ketika orang-orang melangkahi aturan kerajaan atau bahkan digunakan ketika orang-orang tidak patuh terhadap tatanan nilai adat dan budaya Melayu saat itu. Meskipun, saat ini kita memaknainya secara luas isi dan makna dari pesan yang terkandung dalam Gurindam 12 yang tulis oleh Raja Ali Haji. 

Saat ini mungkin makna yang terkandung dalam Gurindam 12 ini tidak hanya untuk perihal membicarakan pesan-pesan pada bangsa Melayu semata. Sebab sebagai seorang ulama, tentunya pesan yang disampaikan juga ditujukan kepada seluruh cendikiawan muslim untuk terus berpegang pada ajaran agama dan sebagainya.

Setelah wafat, Raja Ali haji juga dimakamkan di wilayah Istana Kerajaan berdekatan dengan makan engku Puteri dan keluarganya. Gelar tokoh Pahlawan Nasional Raja Ali Haji dikukuhkan oleh Presiden RI yang ke-6. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 19 November 2004 silam. Di area makan ini terdapat beberapa makam lainnya, kemungkinan ini bagian dari orang-orang berpengaruh di Kerajaan Riau saat itu.

Sekita 15 menit kami berada di dalam bangunan makam Pahlawan itu, namanya juga berziarah. Saya melihat dengan teliti sekitar makam Engku Puteri, ada 4 atau 5 makam lainnya yang juga berada dalam bangunan Makam yang sama dengan Makam Engku Puteri Raja Hamidah, dan masih banyak terdapat Makam yang lainnya di sekitar Bangunan Makam Engku Puteri itu. Setelah kami berziarah, kami langsung menuju ke mesjid Raya Sultan Riau.

Mesjid Raya Sultan Riau di Penyengat

Pulau Penyengat ini, masih banyak tempat bersejarah lainnya selain makam pahlawan dan mesjid Raya sultan Riau. Ada juga Makam Raja Abdurrahman, istana Kantor, gedung Tabib, Makam Raja Jakfar dan Gudang Mesiu. Kalau ingin mengunjungi semua tempat ini, kita harus punya waktu lebih banyak. Olehnya kami bertiga hanya berkunjung ke beberapa tempat yang menurut kami sudah menjadi bagian besar wisata Penyengat ini.

Mesjid Raya Sultan Riau, Penyengat. Foto: Batamnews.co.id
Mesjid Raya Sultan Riau, Penyengat. Foto: Batamnews.co.id

Ingat lagi dengan beberapa literatur tentang mesjid Raya Sultan Riau ini, ada sedikit catatan dari sejumlah pengunjung yang sudah pernah berkunjung ke Pulau Penyengat. Dari tulisan mereka, masjid ini sudah berdiri sejak 1 syawal 1245 atau tahun 1832 oleh Raja Abdurrahman. Yang Dupertuan Muda Raja Abdurrahman memerintah di sekitar tahun 1831-1844. 

Cerita uniknya dari yang saya pelajari dari berbagai literatur baik itu yang ilmiah dan non ilmiahnya, terlepas dari cerita masyarakat di sana. Masjid Raya Sultan Riau ini, tidak seluruh bangunannya terbuat dari putih telur. Sebagian besar bangunan mesjid ini terbuat dari bahan bangunan seperti bangunan bersejarah lainnya di Penyengat.

Cerita tentang mesjid yang terbuat dari putih terulur bukan karena tidak ada alasan. Masyarakat saat itu di Penyengat hidup sudah berbaur dengan para pedagang dari beberapa negara luar, termasuk India. Karena Pulau Penyengat adalah sumber air tawar yang jernih dan dapat digunakan untuk kebutuhan minum, sejumlah kapal pedagang itu silih berganti mendatangi pulau penyengat demi mendapatkan air bersih.

Dari pedagang india yang sempat berlabuh di Penyengat itulah sebagian masyarakat mendengar cerita dari mereka bahwa pembangunan di india, dapat menggunakan putih telur sebagai bahan perekat bangunan. 

Beberapa artikel lainnya menceritakan tentang terbuat dari kuning telur dan sabagainya. Sehingga masyarakat saat itu, tidak hanya menyumbang tenaga kerja untuk pembangunan, selain itu mereka juga menyumbang banyak telur untuk dijadikan bahan perekat membangun Mesjid Raya Sultan Riau.

Saya dan bang Radit memilih untuk sholat dzuhur di mesjid Raya Sultan Riau, setelah dari itu kami melanjutkan perjalanan ke beberapa rumah warga lagi hingga pukul 16.00 wib. 

Kegiatan sudah selesai, perjalanan di Pulau Penyengat menggabungkan agenda (kerja) dan juga wisata di beberapa tempat bersejarah memberikan kepuasan tersendiri. 

Sekitar pukul 16.20 kami sudah menunggu perahu pompong di pelabuhan Penyengat, perahu pompong baru bertolak dari pelabuhan Penyengat sekitar 15 menit setelah semua penumpang sudah ada.

Perahu Pompong Moda Transportasi Tanjung Pinang-Pulau Penyengat. Foto: Atiqohhasan.com
Perahu Pompong Moda Transportasi Tanjung Pinang-Pulau Penyengat. Foto: Atiqohhasan.com

Perahu pompong melaju menuju pelabuhan di Tanjungpinang, untuk ongkos pompong ini ternyata beda-beda. Saya dan bang adit yang bukan orang Pulau Penyengat di kenakan 10.000 per orang ongkos untuk Pulang dan Pergi, sedangkan Kak Ikka hanya 8000an. Alasannya, Kak Ikka adalah orang Penyengat. Ini sangat luar biasa, sekelas perahu pompon saja memberikan kemudahan dan bisa memberikan tarif murah untuk orang asli di pulau Pulau Penyengat itu. 

Bagaimana kalau hal yang sama ini diberlakukan untuk semua tempat di negeri ini, mungkin akan ada yang komplain kerena dianggap melanggar atau pelanggaran ketentuan tarif dan sebagainya, entahlah.

Setibanya di Tanjungpinang, kami langsung menuju pelabuhan Sri Bintan Pura. Sore itu sangat ramai, orang-orang akan mudik ke batam atau menunggu giliran kapal menuju Lingga, Anambas atau Natuna. Kak Ikka langsung balik ke rumahnya, sebentar lagi waktu buka puasa. Saya dan bang Radit sudah beli minuman dingin untuk buka puasa di kapal fery nanti ketika diperjalanan. Pukul 17.20 wib, kami sudah bertolak dari pelabuhan sri Bintan Pura Tanjungpinang menuju Pelabuhan Telaga Punggur di Kota Batam.

Waktu buka puasa pun tiba setelah kurang lebih 50 menit perjalanan. Saya dan bang Radit berbuka puasa dengan Minum dingin dan beberapa jenis Kue yang Kak Ikka beli untuk kami di dekat pintu masuk pelabuhan Penyengat. Saya sangat bersyukur, kenal dengan bang Radit dan Kak Ikka. 

Dari suku yang berbeda dan kebiasaan yang berbeda, kami bisa menikmati perjalanan sambil bekerja dan berbagi pengalaman. Hal paling indah bagi saya adalah saling kenal dan berbagi meskipun dalam waktunya sangat singkat. 

Indonesia ini beragam, maka saling kenal mengenal membuktikan isi kepala kita tidak hanya menjadi tempat subur bagi Pancasila dan bhineka tunggal Ika tetapi juga penerimaan kenyataan tentang sebuah perbedaan.

Tiba di pelabuhan Telaga Punggur, saya dan bang Radit masih juga sempatkan untuk magrib di sebuah musolah kecil pelabuhan punggur sebelum kami balik ke rumah. Setelah magrib, kami menuju arah kota sekalian cari makan malam. 

Hari itu, terasa sangat lelah setelah seminggu penuh perjalanan di dua kabupaten kepulauan Riau, di hari itu juga, Kota batam sudah mulai ramai karena pemudik. Kota batam menjadi tempat paling indah untuk menyudahi lelah setelah perjalanan menurut saya. Kelar makan malam, saya dan bang Radit bubar sambil bersepakat untuk saling kabar setelah lebaran Idul fitri nanti.

Itulah perjalanan yang melelahkan, ada banyak hikmahnya setelah berkunjung beberapa tempat di Provinsi Kepulauan Riau ini. Bagi saya, Kepulauan Riau terutama Terempa dan Letung di Anambas, dan juga Pulau Penyengat di Tanjungpinang ini merupakan Surganya Warisan budaya Melayu. Mungkin benar kata orang-orang, sangat layak melegitimasi Pulau Penyengat sebagai pulau lahirnya bahasa mungkin perlu di perhatikan secara serius. 

Meskipun terdapat bending pendapat tentang asal muasal bahasa Indonesia, kita tidak menginkan sejarah dan bahasa terutama kontribusi Sultan Riau atas sejumlah Cerita dan Sejarah di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat tergerus oleh berlangsungnya zaman dan perubahan dunia.

Terlalu indah Nusantara ini, di Pulau Penyengat yang indah itu hanya seluas 2 kilometer, lebarnya tidak sampai 1 kilometer tetapi menyimpan banyak kekayaan di dalamnya. Di Tanjungpinang, sejumlah tempat bersejarah juga tersimpan di sana, sejumlah tempat wisata bisa kita temukan di Tanjung Pinang. Dengan gaya khas sentuhan arsitek Melayu membuat kita sangat cepat mengenal budaya Melayu, mungkin saja design dari bangunan itu sudah memadukan khas tidak hanya gaya rumah suku Melayu tetapi juga dari daerah luarnya.

Membutuhkan waktu yang benar-benar banyak untuk mengeksplor sejumlah tempat wisata bagi kalian yang suka berwisata. Di Tanjungpinang paling di recommend adalah wisata Gurun Pasir Busung dan Vihara 1000 wajah yang terbesar setelah Cina. 

Kata orang-orang di Tanjungpinang, patung-patung berwujud biksu itu tidak berjumlah 1.000 melainkan 500 lebih, tetapi karena terlihat sangat banyak, maka orang sering menyebutnya 1000 wajah. Selain itu ada Wisata Danau Biru Kijang yang paling hitz yang harus kamu kunjungi kalau ke Tanjungpinang. Kami saat itu tidak sempat lagi karena hanya punya waktu dua hari sebelum kami harus kembali ke Kota Batam.

Berikut, bunyi dari Pasal ke 12  Gurindam XII 1847:

Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh anayat.
Kasihan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.

Semoga sedikit tulisan perjalanan ini bisa memberikan manfaat bagi kalian yang suka membaca, dan prinsipnya apapun pengalaman tentang nusantara yang indah ini, layak dibagikan kepada semua orang. Agar, terus terjaga keindahan dan kelestariannya baik itu budaya, adat, atau nilai-nilai dan peninggalan sejarah yang pernah kita kunjungi. 

Selain perjalanan berkunjung ke Tanjungpinang dan Pulau Penyengat, beberapa perjalanan ke Kalimantan Tengah, Anambas (terempa dan Letung) juga saya abadikan dan menyimpannya di Instagram. Dengan membuat video pendek ini bertujuan sebagai hiburan dan sebagai rekam jejak setiap perjalanan kerja dan wisata. Teman-teman pembaca dapat melihatnya di Instagram @hr.baboss

Terima Kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun