Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Antara Bekerja dan Berwisata ke Air Terjun di Desa Temburun Anambas

18 Juni 2023   07:00 Diperbarui: 18 Juni 2023   10:04 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kota Terempa, Ibu Kota Anambas di Pulau Siantan, Foto by www.touristnyasar.com via dream.co.id

Hari kedua di Terempa Kabupaten Kepulauan Anambas, 15 april 2023. Sore di hari sebelumnya, saya, Kak Ikka, bang Radit dan pak Ramat buka puasa bersama. Sekalian ngobrol banyak hal tentang terempa dan keunggulannya. Kata pak Ramat, terempa ini wilayahnya tidak terlalu besar. Masyarakat di sini didominasi oleh bangsa melayu, sisanya dari suku lain.

Di pertengahan pembicaraan kami, saya sangat tertarik dengan kata suku laut. Dari semua hal tentang terempa serta potensinya dijelaskan oleh pak Ramat. Sepertinya ini jadi hal menarik untuk diketahui. Sore itu, pak ramat hanya menyebut suku laut tanpa melanjutkan bagaimana asal mula suku ini bisa berada di terempa. Pembicaraan beralih ke hal lain termasuk merekomendasikan beberapa spot wisata dan resto yang harus kami kunjungi jika masih punya waktu.

Pukul 02.00 wib, mata saya masih tajam melihat layar notebook yang mematung di atas meja kamar. Meskipun sudah malam hari, dan menggunakan AC di kamar hotel. Saya masih merasakan suhu panasnya. Mungkin, di bulan april itu masih musim panas ekstrim. Semua wilayah di Indonesia terkena dampaknya yang sama seperti di terempa ini. Beberapa pekerjaan kecil yang harus saya selesaikan dengan menggunakan notebook sembari menunggu waktu sahur datang.

Selain focus untuk besok harinya, saya masih saja terngiang dengan kata pak Ramat sore itu tentang suku laut. Terpikir untuk searching tentang suku laut di anambas. Saya temukan beberapa literatur, yang membahas tentang suku laut di kepulauan riau. Salah satu artikel ini dilansir Tribunbatam.id tanggal 5 Juli 2020 dengan tema “ Mengenal Suku Laut, Pribumi Asli Kepulauan Riau yang Hidup Berkelana dengan Sampan”. Isi artikelnya menjelaskan beberapa hal tentang suku laut. Sepintas menjelaskan bahwa selain suku melayu, suku laut adalah satu dari beberapa suku asli di Kepulauan Riau ini.

Selain itu, dari selatan semenanjung malay hingga lingga dan pulau batam. Pulau-pulau ini adalah pulau tempat orang laut atau suku laut ini bermukim. Di terempa dengan bahasa melayu, mereka juga sebut kelana laut. Hal ini karena suku laut ini tidak mendiami satu pulau saja, mereka hidup berpindah tempat saat hasil untuk kebutuhan hidup di daerah itu sudah tidak lagi mereka dapat.

Rumah Perahu Suku Laut Beratap Kajang, Foto by Sampaijauh.com
Rumah Perahu Suku Laut Beratap Kajang, Foto by Sampaijauh.com

Kak Ikka juga menjelaskan hal yang sama seperti pak Ramat, orang-orang suku laut ini masih menggunakan bahasa melayu lokal. Mungkin bahasa yang mereka maksud adalah bahasa ibu bangsa melayu. Suku laut tidak memiliki rumah permanen seperti masyarakat di daratan pada umumnya. Mereka hidup di atas perahu sampan beratap kajang atau yang kita kenal dengan istilah jerambah.

Salah satu suku yang menurut artikel lain dilansir batamnews.co.id tanggal 16 juni 2023. Suku laut adalah salah satu dari lima suku asli Kepulauan riau yang terancam punah. Sayang sekali, jika salah satu suku ini punah. Mestinya, pemerintah setempat atau para pemangku kepentingan di negeri ini bertindak cepat melindungi kekayaan budaya di Nusantara ini.

Sekitar tahun 2500-1500 SM, Disbud Kepri dalam rilisan resminya, dilansir Tribunbatam.id bahwa suku laut ini menghuni bagian wilayah melayu-lingga yang di kenal dengan Melayu tua. Suku laut ini memiliki peran penting sebagai perompak yang berkontribusi besar terhadap kejayaan kesultanan Malaka, johor dan Sriwijaya. Menurut hemat saya, orang yang memiliki kontribusi besar dalam suatu kerajaan adalah orang yang paling setia, salah satunya adalah suku laut ini.

Masih sangat panjang history tentang suku laut yang saya baca dari kurang lebih 14 artikel dan sejumlah tulisan di blog pribadi orang-orang yang berkunjung ke daerah Kepulauan Riau. Hal ini saya lakukan dengan maksud menyelami lebih jauh dengan prinsip menambah isi perpustakaan di kepala, apapun informasi yang saya dapat dari hasil search di google, saya membacanya sampai kelar. Waktu terasa begitu cepat, pukul 03.20 wib. Pesan di grup whatsapp sudah ada notifikasinya. Karena whatsapp saya tersambung ke PC, langsung saya baca dua pesan beruntun. 

“Bang, sahur yuk. Ke arah pelabuhan aja, pasti masih ada warung makan yang buka” pesan bang Radit.

Balas Kak Ikka “Kata pak Ramat, dekat jalan masuk pelabuhan terempa yang kemarin kita keluar pelabuhan, sebelah kiri jalan pasti ada yang buka. Kebetulan kamar saya dan bang Radit ada di lantai tiga, kak Ikka ada di lantai dua. Suasana malam di terempa memang sangat sepi. Jarang sekali ada suara kendaraan. Hotel Terempa beach karena berdekatan langsung dengan laut, yang kita dengar suaranya hanya deburan anak-anak ombak menghantam tembok pembatas di bawah jalan seperti jembatan itu. 

“Saya tunggu di bawah” Balas saya pada pesan grup whatsapp sambil pelan-pelan kunci pintu kamar lalu turun ke loby hotel.

Berapa menit kemudian, kami bertiga menggunakan sepeda motor milik pak ramat menuju tempat makan seperti kata kak Ikka tadi. Saya di antar lebih dulu menuju tempat makan, dan ternyata hanya satu tempat yang masih buka. Itu pun bukan warung makan seperti biasanya, hanya ada si bapak dan dua anaknya dengan menggunakan gerobak di pinggir jalan. Menu yang tersedia hanya indomie dan nasi goreng. Tak ada lagi menu lainnya.

Saya di drop dekat tempat makan itu, bang Radit kembali menjemput kak Ikka. Hari kedua itu, kami bertiga sama-sama makan sahur nasi goreng di dekat pelabuhan terempa. Berapa menit lagi, sudah masuk waktu imsak. Karena malam itu bukan hanya kami bertiga, ada sekitar sekumpulan anak pemuda yang mungkin kelar nongkrong, mereka juga pesan makan sahur di tempat itu. Nasi goreng kami baru bisa dimakan sekitar 30 menit kami tunggu. 

“Tidak masalah, sekarang kita sahur ini dulu” kata Kak Ikka. Besok malam, semoga ada tempat makan yang buka biar kita bisa sahur selain nasi goreng. Lanjut kak Ikka.

Saya, sepertinya malam itu benar-benar lapar. Karena hari sebelumnya pas buka puasa kami berempat. Saya hanya makan pisang goreng, malamnya saya tidak makan lagi sampai waktu sahur. Nasi goreng pun benar-benar saya menikmatinya, plus telor ceplok dan minum kopi. Saya tidak pernah keberatan dengan apapun makanan sahurnya. Kelar kami sahur, langsung balik lagi ke hotel sambil bersiap-siap untuk berjumpa dengan beberapa tokoh di terempa sesuai schedul yang kami pagi itu.

Sekitar jam 07.10 wib, pesan whatsapp dari pak Ramat, “Bang, kita jadi agenda pagi jam 10.00 wib?” Jam 08.00 wib saya merepat ke hotel.

“Iya, terima kasih pak” Jawab saya ke pak Ramat sambil kembali hidupkan laptop untuk pindahkan beberapa file kerja dari laptop ke flashdisk.

Seingat saya, kata pak ramat. Perjalanan kami paling tidak bisa 40-50 menit atau bahkan bisa 1 jam. Saya tidak tau jaraknya sejauh mana dari Terempa Beach Hotel ke Desa Temburun. Ada beberapa desa yang kami kunjungi termasuk temburun salah satunya. Pak ramat sudah ada di loby hotel, di grup whatsapp saya infokan kita berangkat jam 08.30 wib. Pak ramat sudah dapat lagi satu sepeda motor tambahan karena kami hanya berempat, butuh dua sepeda motor.

Semua sudah siap, matahari perlahan mulai memancarkan sinarnya di atas air laut. Sejauh mata memandang, kilau-kilau pantulan cahaya matahari mewarnai samudera maha biru itu. Kami berempat melaju dari hotel terempa beach menuju lokasi. Obrolan demi obrolan saya dan pak ramat menambah khasanah pengetahuan tentang terempa, tentang pulau siantan dan sejumlah potensi lainnya.

Pak ramat memang tidak pandai berbicara, tetapi dia menyampaikan hal pokok yang itu menurut saya sangat bermanfaat. Apalagi saya hanya sebagai satu dari sekian banyak orang yang berkunjung ke terempa, jelasnya membutuhkan banyak informasi. Di perjalanan, saya disuruh nyetir sama pak ramat. Saya pikir pak ramat hanya bercanda. Ternyata pak ramat serius menyampaikan hal itu. Saya baru sadar kalau pak ramat ternyata belum terlalu pandai nyetir sepeda motor. Apalagi, jalan yang banyak belokan, turunan dan tanjakan yang sulit untuk orang yang belum berpengalaman nyetir sepeda motor.

Tak pakai lama, saya meminta pak ramat langsung berhenti. Posisi setir berpindah tangan. Dari situ, baru lah saya dapat keterangan jelas dari pak ramat soal dia masih takut nyetir di jalanan seperti itu. Sebelumnya, pernah bersama anak pak ramat pas liburan sekolah. Pak ramat membonceng anaknya, mereka jalan-jalan. Di perjalanan, di tempat yang sama ketika saya ambil alih setir sepeda motor. Kata pak ramat, mereka pernah mati mesin saat tanjakan naik dan berbelok.

Pengalaman ini yang membuat dia sedikit takut dan tidak berani lagi nyetir sepeda motor sambil bonceng orang. Saya sambil mendengar apa yang dikisahkan pak ramat, sesekali saya pun menjelaskan bagaimana cara nyetir sepeda motor baik di tanjakan atau turunan jalan yang berbelok-belok seperti ini. Melewati beberapa rumah, terempa itu wilayahnya masih luas. Masih banyak hutannya, rumah warga selain di pusat desa atau kelurahan, rumah yang terpisah dari itu pun masih sangat jarang saya lihat di perjalanan menuju siang waktu itu.

Kurang lebih 30 menit, sambil ngobrol dan menikmati udara diperjalanan. Kak Ikka dan bang radit berada di belakang kami. Seberang jalan sebelah kiri, pak rahmat sambil menunjuk, itu kantor Bupati Anambas. Kami berbelok, masuk wilayah perkantoran. Tepat di belakangnya, karena bangunan kantor ini masih baru. Di sekitar bangunan kantor pun belum ada pohon yang rimbun atau tinggi.

Pohon-pohon jati berjejeran di belakang halaman kantor setinggi lutut. Pemandangannya pun lumayan indah menghadap ke laut anambas. Kak Ikka masih sempat berswa foto hanya menggunakan handphone genggam miliknya. Terik panas mulai terasa, sekitar kantor bupati ini tidak ada tempat untuk teduh dari sinar matahari. Kami terpaksa harus lanjut perjalanan, keluar dari wilayah kantor bupati berapa puluh meter di tunjukan lagi polres dan salah satu bangunan polindes atau bangunan kesehatan. Posisi polindes itu berjarak sekitar 20 Meter dengan polres anambas.

Sekitar 10 menit lagi kami akan tiba di desa temburun, kami berhenti lagi di satu pantai, ada pembangunan tembok pembatas gelombang air laut. Sepertinya, pembangunan tempat makan seperti rumah-rumah khas di atas laut dengan pemandangan indah. Pak ramat, Kak Ikka dan bang radit berswa foto ria, saya memilih ngobrol dengan seorang pekerja di tempat pembangunan baru itu.

Dari situ, saya dapat informasi dari si bpk, dia salah satu dari berapa orang yang ikut dalam pekerjaan itu. Setelah kelar ngobrol dan berswa foto, kami lanjut perjalanan menyusuri jalan menuju desa temburun. Tiba di temburun, kami di perkenalkan dengan salah satu warga di sana. Namanya Mak Erni, dia sangat dekat dengan pak ramat. Setelahnya beberapa agenda pun telah kami lakukan bersama dengan warga, memberikan sedikit santunan dan juga mengcover beberapa informasi lainnya.

Pengunjung di wisata Air Terjun Temburun. Foto: Mediakepri.co
Pengunjung di wisata Air Terjun Temburun. Foto: Mediakepri.co

Di desa temburun ini, tempatnya air terjun paling indah di terempa. Ada juga spot wisata mangrove dan beberapa tempat lainnya sangat indah menurut keterangannya pak ramat. Kegiatan sudah kelar, kami berpamitan dengan sejumlah ibu-ibu yang mendatangi kami karena mereka kenal dengan pak ramat. Sekitar pukul 12.45 wib, kami harus kembali lagi ke tempat awal untuk melanjutkan agenda lain di pukul 14.00 wib. Perjalanan pulang memberatkan hati, sebab di desa temburun itu sudah sangat dekat akses ke air terjun. Tapi kami tidak sempat mampir kesana.

Menghindari cuaca panas di perjalanan, saya masih mau kendalikan setir sepeda motor pak ramat. Tujuannya agar kami sedikit lebih cepat sampai di tujuan semula. Menyusuri perjalanan pulang, obrolan dengan pak ramat tidak bisa berhenti. Banyak hal yang saya dapat dari beliau, tentang orang-orang melayu dan suku laut di kepulauan anambas ini. Terik panas matari siang itu semakin membakar kepala. Di satu desa, sempat juga pak ramat menuju ke arah sekolah smp, sekolah tempat pak ramat mengajar.

Kurang lebih 40-50 menit, kami sudah berada di simpang jalan masjid agung terempa. Sebentar lagi sampai di hotel terempa beach. Siang itu, dengan keadaan masih puasa, kami memilih istirahat dulu sebentar di hotel. Pak ramat langsung balik ke rumahnya. Saya hanya sempatkan untuk isi daya handphone, dan langsung bergegas mandi untuk menetralisir suhu badan. Air di terempa beach hotel siang itu benar-benar dingin. Setelah kelar dari mandi, lanjut prepare lagi untuk bertemu dengan beberapa orang tokoh di terempa.

Seperti biasa, saya mendahului kak ikka dan bang radit. Menunggu mereka di loby hotel. Kami tidak lagi menggunakan sepeda motor. Ternyata, beberapa tokoh masyarakat yang ingin kami temui, mereka menggunakan sepeda motor ke lokasi hotel. Sangat bersyukur, karena mereka mau menyapa langsung di loby hotel. Ini sangat beruntung, kalau saja mereka tidak datang ke tempat kami menginap, siang itu saya bahkan tidak menjamin nasib puasa saya efek terlalu panas cuaca hari itu.

Ngobrol demi ngobrol, alhasil pertemuan kami dilanjutkan malam hari. Hal ini dilakukan untuk menghindari panas ekstrem di penghujung bulan ramadhan itu. Kami bersepakat siang ini hanya jumpa biasa, malam nanti tanggal 16 kami melanjutkan agendanya. Para tokoh masyarakat itu pun berpamitan dan kembali menyusuri perjalanan pulang menggunakan motor mereka masing-masing. Kami berempat, lanjut ngobrol di loby terempa beach, menyepakati jam berapa kembali berkumpul sekalian buka puasa bersama.

Pukul 15.20 wib, suhu panas sudah mulai berkurang. Di kamar berAC mulai terasa angin pelan-pelan berhembus dari lorong-lorong hotel. Sejenak mengambil kesempatan untuk rehatkan badan, sambil menunggu datangnya waktu buka puasa bersama. Udara mulai dingin, menuju sore sedikit menggeliat. Dari jendela di dekat tangga lantai tiga hotel. Semakin terasa aroma laut yang menyengat, tepat di bawah jendela ada resto seafood yang menyiapkan makan buka puasa untuk pelanggannya.

Aroma ikan bakar dan masakan seafood semakin menusuk di hidung, sore itu seperti ingin mendorong lebih cepat jarum jam agar segera berbuka puasa. Di grup whatsapp, bang radit mengabarkan soal menu, hasil obrolan dia dengan pak ramat. Resto untuk makanan seafood paling bagus menurutnya di desa temburun. Biasanya, kata pak ramat. Banyak orang/tamu yang datang di terempa anambas selalu di bawa ke situ. Tempatnya tidak terlalu besar, hanya sekitar 3-5 meja panjang.

Resto recommended pak ramat ini dekat dengan pelabuhan desa temburun. Katanya, ada juga di sediakan tempat ibadah (mushola) bagi yang mau magrib setelah buka puasa. Informasi itu di teruskan oleh bang radit ke grup whatsapp kami bertiga. Dari tempat kita bertemu beberapa warga siang tadi sudah tidak jauh. Hanya berapa puluh meter saja melewati jalan setapak pelabuhan temburun.

Resto rekomendasi pak ramat pun kami setuju, mengingat balik lagi ke arah desa temburun membutuhkan kurang lebih 40-50 menitan atau bahkan bisa 1 jam. Pak ramat sudah memesan menu kerang tumpah, katanya itu paling spesial. Mungkin bang radit dan ka ikka harus memesan makan berat, mengingat sudah hampir dua hari kita bertiga hanya makan di buka puasa hari sebelumnya, itu pun bukan makanan berat.

Pukul 16.25 wib, kembali kami berempat menyusuri perjalanan sore itu menuju desa temburun. Tidak ada yang merasa lelah, hanya hampir dehidrasi efek terlalu panas. Sambil nyetir sepeda motor, isi kepala saya hanyalah minuman dingin, bukan makan A atau B. Saya hanya terfokus pada minuman.

“Pak, di sana minuman apa saja yang paling enak untuk minum di bukan puasa nanti”. Tanya saya ke pak ramat.

“Ada jus beberapa macam buah, ada minum dingin kemasan, tapi paling spesial seperti es jeruk gula merah” Jawab pak ramat

Untuk minum jus seperti sore itu saya tidak tertarik, mungkin lebih tepatnya es jeruk nipis plus gula merah ini yang harus di coba. Begitulah dalam pikiran saya ketika di perjalanan. Kami sedikit lebih cepat dari sebelumnya, karena mengejar waktu buka puasa sudah harus ada di resto desa temburun itu, saya tidak ingat lagi apa nama Resto Seafood terbaik itu.

Tepat hampir 50 menit kami tiba di depan wisata mangrove desa temburun. Pak ramat sarankan untuk ke air terjun dulu selagi ada waktu. Dari pintu masuk depan wisata mangrove ini, pas waktu musim hujan, kita bisa lihat air terjun langsung jatuh di pesisir pantai tepat di depan wisata mangrove itu. Hanya saja, saat itu sudah dibuatkan tembok tepi kiri kanan dan diatasnya terdapat jalan raya desa temburun.

Jadi air terjun ini, jatuh di tempat yang sudah seperti kolam karena tembok tepi tadi. Sebelumnya, kata pak ramat. Kalau tembok dan jalan ini belum di buat, air terjunnya langsung jatuh ke laut jika air pasang. Langit sudah mulai memerah, udara dingin makin terasa. Di desa temburun ini, ada hutan produksi dan hutan manggrove di tepi pantai membuat udaranya begitu sejuk.

Bagi saya, identitas lokal yang perlu kita jaga salah satunya adalah hutan alami. Baik itu hutan produksi, hutan bakau, hutan lindung atau hutan hujan. Hutan hutan itu hemat saya, merupakan vegetasi alami bagi kelangsungan hidup manusia dan sejumlah biota baik laut maupun darat. Terutama hutan manggrove seperti yang ada di desa temburun ini.

Saya tidak terlalu luas pengetahuan tentang biota laut, tetapi sedikit pengetahuan tentang salah fungsi hutan mangrove merupakan sumber kehidupan biota laut. Selain itu, mangrove juga dapat menjadi tanggul atau pembatas gelombang secara alami di musim gelombang yang biasanya di sebut sebagai stabilisator gelombang alami. Begitu pentingnya menjaga hutan mangrove untuk saat ini saat perkembangan pembangunan mulai merajalela menyisir bersih daerah pantai. Perlu adanya perawatan, atau perlindungan untuk mengembalikan fungsi mangrove secara ekologi dan ekonomi. Ini hanya bagian dari cara berpikir saya semenjak melihat wisata mangrove di temburun.

Buru-buru kami bergegas ke jalan masuk air terjun. Lagi-lagi, mereka berswa foto, saya hanya sebentar buat dua atau tiga video pendek untuk story medsos. Buka puasa sekitar 35 menit lagi, kami kembali turun ke tempat wisata mangrove, masih juga sama aktivitasnya. Berfoto ria, di jembatan berbahan kayu itu, wisata manggrove dengan view air terjun temburun sangat indah dan menggembirakan. Sudah kelar berfoto di wisata mangrove, kini kami kembali menyusuri jalan ke lokasi resto di dekat pelabuhan desa temburun. Jarak dari wisata mangrove kurang lebih 150-200 meter masuk ke desa temburun.

Saat kami tiba, si bpk pemilik resto ternyata sudah kenal dengan pak ramat. Ngobrol lah kami dengan pemilik resto itu, katanya pesan pak ramat sudah disiapkan. Pemilik resto menawarkan pesanan yang dipesan pak ramat tadi, mau hidangkan sekaligus atau mau buka puasa dengan minum dan kue saja. Kak Ikka, karena dia perempuan dan pasti tau bagaimana bagusnya menghidangkan makanan di meja makan, dia bertindak sesegera mungkin memberikan isyarat pada pemilik resto bahwa semua menu pesanan tadi dihidangkan sekaligus.

Waktu sudah menunjukan pukul 18.00 wib, berapa menit lagi kami akan buka puasa. Dari semua menu yang dipesan pak ramat, seperti pertanyaan saja sejak menuju resto ini. Saya memilih minuman dingin (Jeruk nipis plus gula merah). Semenjak tanggal 14 kemarin saat tiba di terempa, Es jeruk nipis ini mungkin salah satu minum favorit yang masuk dalam daftar minum dingin paling recommended.

Buka puasa pun mulai, kami melahap dengan senang hati semua menu yang dipesan. Seafood di resto ini memang terbaik menurut saya dari beberapa tempat sebelumnya pernah saya cicipi. Rasa asin dan pedas memukau lidah, apalagi saat itu waktu puasa. Setelah berbuka puasa, bang radit dan kak Ikka melanjutkan magrib di mushola yang disediakan resto.

Saya dan pak ramat melanjutkan obrolan sambil menunggu kak Ikka dan bang radit. Usai solat magrib, kami melanjutkan lagi dengan makan kerang tumpah. Menu kerang tumpah ini, dari yang saya lihat. Bukan hanya beberapa jenis kerang, tetapi ada juga udang dan cumi seukuran jari kelingking. Sudah pukul 18.45 wib, kami segera berpamitan dengan pemilik resto untuk kembali ke tempat kami menginap di daerah sekitar pelabuhan utama terempa.

“Jangan kapok-kapok ya datang lagi kesini” Kata yang sempat dilontarkan si bapak pemilik resto itu.

Saya sangat berterima kasih terutama pak ramat dan pemilik resto, karena di cuaca panas plus kami masih berpuasa, hidangan minuman dingin yang tepat itu saya habiskan sampai tiga gelas. Entah karena gelasnya kecil atau saya yang terlalu dahaga hari itu sebab bulak balik perjalanan di terempa ke desa temburun. Saya dan pak ramat memilih di depan kak ikka dan bang radit, malam itu saya masih juga mengambil alih setir sepeda motor. Mengingat selain jalan curam dan berbelok, dan pak ramat sepertinya tidak terlalu berani untuk nyetir di malam hari. Lampu sepeda motor pak ramat ternyata tidak normal juga, sedikit buram. Untungnya bang radit dan kak ikka mengikuti kami dari belakang.

Wisata Mangrove di desa Temburun; foto Agungsetiadi8 via IjenIndonesia.com
Wisata Mangrove di desa Temburun; foto Agungsetiadi8 via IjenIndonesia.com

Setiba di terempa, mereka bertiga memilih istirahat. Kurang lebih 19.50 wib. Setelah mandi, saya tidak langsung istirahat. Bergegas kunci pintu kamar dan turun ke loby hotel. Malam itu udaranya sangat dingin, angin pelan-pelan mulai menyapa dari arah bukit. Sampai di loby hotel, tiba-tiba ada rasa yang harus dipenuhi. Minum kopi, saya harus minum kopi malam ini. Tanpa mengabarkan dulu kak Ikka dan bang radit, saya langsung saja jalan kaki menuju Resto Pondok Kayu, resto ini berada setelah resto Sari Laut Lamongan yang malam sebelumnya kami pernah buka puasa bersama di resto itu. Jaraknya lumayan jauh, kurang lebih 700-800 meter.

Perlahan saya berjalan sambil menikmati aroma laut dan deburan ombak di kolong jalan seperti jembatan itu. Beberapa rumah dan juga toko masih terlihat sibuk dengan aktivitas sendiri. Orang-orang di terempa, punya minat besar untuk nongkrong di coffee house. Itu terbukti, sepanjang perjalanan saya menuju resto tujuan, beberapa resto dan coffee house tidak lah sepi.

Mungkin, semua orang disini bahagia, siangnya bekerja dan malamnya menghabiskan sedikit waktu baik itu bersama kolega atau family. Anak-anak kecil di resto dan coffee house itu terlihat sedang menikmati keasyikan sendiri. Meskipun di atas laut, semua resto memiliki pagar keliling area restonya. Semua bahan dari kayu, hanya sebagian menggunakan bahan alumunium untuk meja dan kursi resto atau coffee house.

Setelah tiba di resto pondok kayu, saya pesan dua menu pertama. Paling saya suka adalah roti bakar cokelat, sama indomie rebus toping keju. Minumnya saya pilih air mineral dingin dan kopi. Saya masih lanjut makan, padahal makan di desa temburun tadi sudah lumayan banyak. Mungkin, setelah bertemu dengan beberapa tokoh di terempa dan beberapa desa lainnya, dan juga kegiatan sudah kami lewati selama dua hari di terempa bikin saya semakin bersemangat. Waktu kami tinggal satu hari lagi di terempa, karena kami sudah dapat tiket pesawat balik ke batam tanggal 17 april, itu pun nasib baik.

Biasanya, dari keterangan pak ramat. Sudah mau mudik lebaran ini, sudah kosong tiket pesawat, demikian juga kapal. Ada sekitar dua kapal lagi yang jadwalnya ke batam. Satunya jadwal pagi besok tanggal 17 april, satunya lagi sekita 18 april pagi juga. Untuk masuk lebarannya, kapal kemungkinan tidak beroperasi atau bahkan beroperasi setelah lebaran. Malam itu, terasa kepala dan pikiran menyatu kembali dengan raga. Seperti terbebas dari beban kecil, beban cuaca panas, masih harus puasa, dan beberapa agenda lagi yang belum direalisasi. Di pondok kayu, saya tidak peduli lagi dengan chating di grup whatsapp kami bertiga. Menikmati udara dingin malam itu hingga pukul 22.30 wib.

Orang terakhir sebagai pelanggan di resto pondok kayu, untungnya pemilik pondok kayu dan dua orang kerjanya masih beres-beres. Saya pun sedikit lama menikmati kopi dan roti bakar di coffee house atas laut, semakin malam semakin sepi. Terlintas di pikiran saya, seperti apa lagi perjalanan untuk agenda besok ini. Semoga saja semua hal akan lancar sampai kita kembali ke batam. Sambil berpamitan dengan pemilik resto, saya menuju jalan pulang. Suasana jalan di atas laut semakin dingin. Orang-orang sudah berhenti aktivitas. Resto dan Cafe House lainya sudah tidak ada lagi pelanggan.

Sesekali ada sepeda motor yang melintasi jalan di atas laut itu. Saya ditawarkan oleh salah satu pekerja di Resto pondok kayu untuk antar sampai ke hotel, karena sebelumnya saya sudah bilang ke mereka waktu mereka tanya. Mungkin bagi saya sedikit merepotkan mereka kalau antar lagi sampai ke hotel. Tetapi, si pemilik resto itu sangat baik hati. “Sudah bang, diantar saja sama anak-anak saya ke hotel, mumpung ini juga sudah malam” Kata pemilik resto itu.

Saya sangat berterima kasih untuk orang-orang baik seperti mereka. Bagi saya, dunia ini sangat luas. Untuk wilayah anambas sendiri sudah tentu sangat luas, belum juga wilayah lain. Tapi saya pastikan, bahwa luasnya dunia ini, bahkan kamu jarang sekali bertemu dengan orang-orang baik seperti orang-orang di terempa ini. Bangsa melayu, dengan gaya bahasa yang mendayu-dayu, dialek yang khas mencerminkan keramahan adat dan budaya mereka. Tutur katanya sangat santun, mereka sangat lembut dalam berkomunikasi. Pokoknya, orang-orang di terempa ini punya khas ketenangan tersendiri seperti laut dan sejuta makna yang ada di pulau siantan ini.

Setelah tiba di hotel, saya sekali lagi ucapkan terima kasih untuk orang kerja pondok kayu yang antar saya. Langsung menyusuri anak tangga menuju lantai tiga. Di saku celana,  saya segera mengambil handphone dan lihat chatting grup. Ternyata Kak Ikka dan bang Radit sudah dari tadi ribut dan tanya kemana saya pergi. Karena telephone tidak saya terima, chating di grup pun tidak saya respon.

Saya baru balas grup whatsapp ketika berkabar untuk makan sahur, malam kedua di terempa. Kami bertiga masih di tempat sahur yang sama, masih makan nasi goreng dan telor ceplok. Ya, karena hanya itu satu-satunya tempat makan yang masih buka saat waktu sahur. Dengan menu dan rasa yang sama, kami hampir saja terlambat sahur. Malam ke dua itu, ternyata masih juga ramai. Kelar sahur, saya tidak bisa minum kopi lagi seperti malam sebelumnya. Kembali lah kami ke hotel, menunggu besok melanjutkan agenda yang belum kelar.

***

Bagian lainnya yang ingin saya ceritakan tentang beberapa hal, terutama tentang Menu cumi jumbo di Kedai Kopi & Resto PTM (Pondok Tanjung Momong) dan cerita minum kopi di kedai kopi konyok dekat gudang ikan Han, juga tentang Keunggulan Terempa dan Suku laut di Anambas menuju kepunahan.

Paling serunya cerita lainnya, menurut saya hanya di anambas ini, di pulau letung. Pesawat menunggu penumpangnya datang dari terempa menggunakan kapal ke pulau letung dan selanjutnya menuju bandaranya di jemaja. Jangan lupa, nanti baca ya cerita selanjutnya.

Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun