Hal ini terjadi karena ada firasat dalam cangkir kopi, tapi bukan cangkirnya. Setiap kali minum kopi selalu saja memikirkan soal firasat ini. Ataukah si perempuan barista itu telah belajar tentang rasa pada ibuku?. Ah, Â ini hal yang tidak mungkin, mengapa dia (si barista perempuan itu), bukan barista laki- laki ya !. Mengapa dia sangat paham perihal rasa?
Seduhan kopi yang setiap saya pesan jika berkunjung ke kedai kopi, selalu saja nikmat seperti masakan ibu saja. Tidak pernah meleset dalam hal rasa (enaknya full), karena masakan ibu tidak ada yang bisa menggantikan posisi rasa enaknya. Tapi si barista ini, dia sangat bisa. Jangan-jangan, si barista ini tetanggaan? Atau punya talenta membaca perasaan dan kemauan orang tentang rasa.
Ini hal mengganjal yang paling kacau dan tidak pernah ada pemecahannya. Seingat saya, dulu waktu masih berstatus sebagai mahasiswa. Dosen saya pernah menganalogikan perspektif marketing tentang barista kopi.
Pernah juga menyelami beberapa artikel tentang bahaya kopi, tapi bukan untuk perasaan malainkan kesehatan fisik. Di beberapa artikel lainnya bahkan kopi dilarang di masa itu. Di inggris misalkan, larangan tersebut dikeluarkan pada tahun 1657 oleh raja Charles II.
Raja Charles II, khawatir kalau kedai kopi digunakan sebagai tempat rapat untuk membahas rencana pemberontakan. Sebab itulah kopi pada saat itu dilarang, keberadaan kedai kopi dianggap sebagai ancaman, akhirnya larangan diresmikan supaya orang-orang tidak bisa berkumpul di tempat tersebut.
Saya baru saja pahami cerita dosen saya itu setelah bertahun-tahun berkelana dalam rasa penasaran, mengapa bisa semua barista mampu menyuguhkan kopi yang nikmat. Ini bukan karena mereka mempelajari teknik seduh, atau tekanan suhu yang dipakai, atau biji kopi apa yang mereka pakai.
Rasa nikmat itu, mempengaruhi firasat kopi. Mempengaruhi lidah penikmat, memecahkan keheningan panjang, jangankan lelah setelah rutin pekerjaan. Sesekali orang pernah kehilangan semangat dan setelah menyeruput kopi, mereka merasa hidup kembali. Hal ini karena dipengaruhi oleh firasat kopi yang diseduh oleh orang yang mencintai pekerjaannya.
Saya juga berpikir kalau rasa kopi yang tunggal itu jika dicampur dengan rasa yang lain seperti gula misalkan, krim atau susu. Ini sama halnya dengan membuat sebuah konspirasi kerusakan secara besar-besaran dan nyata. Rasa kopi akan berakhir seperti gagalnya sebuah kudeta pemerintahan atau perebutan kekuasaan.
Ini juga bukan perihal cara minum kopi, tetapi lebih pada firasat yang terkandung dalam sajian kopi oleh si barista. Semakin tidak habis berpikir tentang hal ini. Oleh karenanya, oh saya hampir saja lupa. Saya melanjutkan sedikit cerita tentang analogi seorang dosen saya tadi.
Kata dosen saya, suatu hari ada seorang kakek yang datang di kedai kopi. Tempat biasa dia menghabiskan berjam-jam untuk minum kopi sambil membaca wara-wiri berita di sebuah surat kabar. Si kakek ini, kepada si penyeduhnya memesan secangkir kopi hitam seperti pada hari biasanya.
Dari cerita ini saya bari bisa simpulkan kalau kedai kopi dan kakek ini masih hidup di zaman sebelum mesin penyeduh kopi lebih canggih seperti sekarang ini. Karena, si barista yang menyeduh kopi si kakek ini masih menggunakan cara manual yakni menyeduh dengan mengaduk kopi menggunakan satu buah sendok.