Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jingga dan Secangkir Kopi Pahit

28 Juni 2021   03:12 Diperbarui: 28 Juni 2021   06:07 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jingga. Foto - Goodfon

Matahari melintasi atas kepala menuju lembah sore yang penuh warna, banyak orang menyebutnya senja tapi aku menamainya jingga.

Jingga sore ini pada senja benar-benar menjadi favorit beberapa orang yang sedang merana dan patah hati, aku bersama mereka.

Duduk berbaris diatas tembok pembatas laut dan tepi jalan sambil menunggu, kapan jingga menyapa?

Secangkir kopi pahit,
Pesanan ini mungkin bisa spesial sebab menunggu jingga bukan hal mudah.

Beberapa orang terlihat bolak-balik dengan kesibukan persiapkan media untuk pemotretan objek keindahan, buat mereka senja ini bisa menggantikan posisi seseorang yang mereka cintai ketika dia tak bersama mereka,

Ah, tapi aku belum yakin kalau mereka sekuat itu punya kepercayaan yang terlalu narsis dalam perihal rasa

Kopi pahit dihidangkan,
Sebenarnya aku mau tanya tentang apa sih menariknya sang senja hingga benar-benar bikin orang mati penasaran saat matahari akan pulang menuju malam?

Tapi biarlah, mereka hanya sekumpulan hati yang tak terlalu paham perkara warna kesukaan atau bahkan keindahan semu, atau jangan-jangan mereka patah hati

Udara perlahan-lahan menjadi dingin dan terasa makin menusuk masuk ke pori-pori kulit, dan kehadiran kopi bisa membuat aku lupa dengan kesibukan mereka menunggu senja

Aku tidak terlalu tau-menau orang-orang selain setiap hari menunggu senja, apakah mereka kuat merasakan patah hati yang dalam?

Aku,
Sore ini benar-benar membutuhkan banyak energi pikir untuk menebak mereka, menebak isi kepala dan hati mereka.

Dari kejauhan, seorang gadis belia, manis orangnya dari cara pemilihan warna kaos oblong dan jeans biru dongker yang dia pakai

Aku melihatnya, mata ini tak menoleh kemanapun, hanya karena terlalu focus aku sudah lupa Kalau aku mulai menghilangkan suara riak angin dipantai, digantikan bayangan-bayangan si gadis ini

Dan benar, Aku ternyata semakin melarutkan diri dalam bayangan tersebut. Membayangkan dia adalah si Jingga yang aku maksud

Begitulah ketika aku sudah mulai menuruti kata hatiku, kedamaian yang aku rasakan membuat diriku lebih tangguh dan kuat, aku rasa mereka tak pernah merasakan hal yang sama

Aku menarik nafas dalam-dalam, melambungkan kelangit asap tembakau, dan kembali melihat bahagia itu tertuang dalam cangkir kopi pahit yang sedari tadi menunggu bibir menyerputnya

Padahal aktivitas aku seperti ini, bukan menunggu senja seperti yang mereka maksud, aku memang pengagunm jingga tapi tidak seerotis yang mereka tau

Aku kesini hanya benar-benar ingin menikmati kopi dan mendinginkan suasana masa lalu tentang beberapa lembar kenangan yang menuju usang dalam isi kepala, harus disudahi.

Kata orang, begitu senja pergi, akan ada hati yang terluka. Ah, senja sebenarnya tidak sekejam itu, kalau mereka melihat lebih jauh tentang banyak warna dengan limpahan keindahan yang menjadikan sore itu indah

Tetapi, si jingga sudah mulai terlihat, menampak senyuman manis dan mungil sisela-sela kumpulan awan hitam diatas garis air laut. Seperti isyarat aku harus ikut kembali meninggalkan dunia imajinasi yang terlalu rawan untuk keadaan hati

Kopi pahit, aku seruput berulang kali, dengan cepat ibarat rindu menerajang dengan deras kedalam hati. Begitulah cara aku menyeruputnya.

Matahari benar-benar hilang menuju malam, dari garis air laut, nampak jingga meninggalkan sisa keindahan yang terbentang membentuk beberapa baris luka yang riuh di hati orang-orang yang terlalu kuat berharap tentang mencintai dengan ikhlas dan mudah

Mereka sebenarnya lupa, senja atau pun jingga akan pulang dan kembali di hari yang berbeda, membawa pesan dan luka yang berbeda, dan parahnya lagi. Senja tak meninggkan apa-apa, bahkan maha gelap dengan kuat memanggil jingga ikut tenggelam bersama berakhirnya bait-bait kenangan beberapa waktu silam

Selamat tinggal Jingga,
Kopi pahit hanya teman setia meredam gejolak kenangan yang menyerang rasa dikala imajinasi tertuju pada manis seyumanmu yang dulu, ah itu dulu.

Sekarang, kamu dan kenangan hanya rupa jingga yang pergi dan datang lagi dihari yang beda.

Begitulah narasi Jingga yang tak pernah usai, berulang-ulang seperti kenangan yang tak pernah mati didalam hati.

Bth. 28 Juni 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun