Terakhir sebelum penulis akhiri tulisan ini, penulis ingin sampaikan pada pembaca bahwa tulisan ini bukan merupakan subuah pembenaran atas apa yang penulis pikirkan, melainkan sedikt pengkajian dari beberapa literatur, artikel-artikel dan pemikiran orang-orang tentang harapan mereka yang lebih besar dari pada gunung misalkan. Atau Nurani mereka lebih luas dari pada lautan.
Bukan sebuah mimpi kosong bisa mengatakan demikian, kalau benar-benar itu terjadi pada diri kita. Kita boleh punya harapan sebesar gunung, tapi sebelum mentukan seberapa besar harapan kita. Mestinya yang kita lihat, seberapa luas Nurani kita. Jangan sampai, harapan sebesar gunung dan Nurani seluar lautan, padahal kadar dan porsi kedua itu tidak seimbang.
Penulis temukan banyak di lingkungan sosial, orang sering bilang harapan dia begini dan begitu tetapi cara berpikir dia bahkan kebalikan, jiwa sosialnya tidak ada, jarang bergau, dan susah komunikasi dengan orang dll. Ini yang penulis sebut porsi harapan tidak sesuai dengan kenyataan. sama halnya dengan diskriminasi, setiap kita mengatakan sesorang itu seperti binatang atau menjurus ke hal diskriminasi ras dan sebagainya. porsi dari nurani kita tenyata hanya sekecil mata semut. Artinya, meremehkan orang lain, mendiskriminasikan oranglain, mengejek oran lain dan sebagainya membunuh semua pernyataan diri bahwa kita memiliki nurani yang luas.Â
Hal yang sama penulis temukan, orang sering bilang hati Nurani dia sangat bagus, baik dan luas. Padahal anak tetangga kelaparan sampai seminggu tidak dia tolong, ada orang tua yang kesusahan menyeberang jalan raya. Dia hanya mengap dan melihat si tua itu berusaha dendiri. Penulis sebut, keluasan Nurani itu adalah kepekaan diri, mengiba kepada sesuatu di lingkungan sosialmu yang menurut hati harus benar-benar dilakukan, dibantu dengan tujuan baik sebagaimana luasnya Nurani kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H