Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Biji Negara, Perempuan Pengalung Bunga untuk Soekarno (Saat Konsolidasi Irian Barat) Part II

10 Februari 2021   20:01 Diperbarui: 10 Februari 2021   20:14 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan Terbaik Tidore dan Penghargaan Biji Negara

Artikel ini merupakan artikel lanjutan dari judul yang sama dapat dilihat di Part I  

Perempuan terbaik, putri-putri Tidore yang dimaksud Tete Jaja adalah Nenek Biji Negara. Nenek Biji Negara dengan nama Lengkapnya Halima Jauhar (Alm), lahir Tahun 1930 di perkampungan tua yang sampai sekarang dikenal sebagai Kampung Tongaru (bobo), berada di daratan kota tidore yang saat itu masuk dalam wilayah kuasa/perintah Tahisa (Toloa). Kampung tua berjarak kurang lebih di ketinggian 8 delapan kilo meter dari pesisir pantai.

Perempuan yang biasa di sapa Nene Biji Negara adalah salah seorang keturunan asli asal warga Bobo. Biji Negera adalah Julukan yang berikan Soekarno pada Nenek Halima Jauhar. Sebab dirinya mewakili Irian Barat untuk NKRI.

Keterangan Ahmad, anaknya "penyerahan Irian Barat ke NKRI bukan dari tangan Sultan Zainal Abidin Syah, melainkan dari tangan Ibu saya (Biji Negara) secara simbolis yang di tandai dengan sesi foto jabat tangan bersama Soekarno sebagai tanda kesepakatan Irian Barat dan NKRI menjadi satu' tutur Ibu saya"

Dirinya juga dikenal sebagai sosok yang kuat, semangat didiknya terhadap beberapa lapis generasi masa itu. Nene Biji Negara, sosok perempuan yang telah dilupakan sejarah Tidore, dia  yang mengalungkan Bunga di saat Bung Karno (Soekarno) mengunjungi Tidore dengan agenda konsolidasi pengembalian Irian Barat ke pangkuan NKRI

Menjelang kedatangan Sokarno di Tidore, menurut banyak sumber tertulis, Sultan Zainal Abidin Syah memerintahkan pejabat kesultanan untuk mencari puteri-puteri asli penduduk tidore yang ciri fisiknya sama seperti masyarakat papua. Perintah ini dengan tujuan untuk memperkuat konsolidasi bahwa ada ikatan antara Papua dengan Kerajaan Tidore.

Saat itu, sumber lisan (Hamjen, tokoh Adat kel Bobo) mengatakan "Bobo adalah salah satu desa diantara desa lainnya yang menjadi desa tujuan pihak kesultanan Tidore mencari puteri-puteri pengalung bunga di leher soekarno saat soekarno dating nanti"

Puetri/wanita pertama  yang di jumpai pihak kesultanan tidore di kelurahan bobo (saat itu statusnya masih Desa), adalah (Alm) Nene Robo atau akrab disapa Nene Bo. Kemudian Nene Indah atau sapaan akrabnya Nene Iya. Selanjutnya, Nene Biji Negara (Halima Jauhar) adalah salah satu diantara tiga orang yang ditemukan oleh pihak kesultanan di desa bobo, untuk selanjutnya dibawa untuk mewakili masyarakat Papua pada kunjungan Soekarno.

Dari banyak keterangan yang di himpun penulis, dengan rata-rata usia 70-90an adalah sumber lisan yang penulis temui untuk kepentingan menulis. Menurut cerita yang sama. "Tiga orang wanita/puteri ini telah memenuhi syarat dengan ciri fisik hampir sama dengan masyarakat Papua yang di maksudkan Sultan Zainal Abidin Syah.

Sehingga mereka di lakukan seleksi untuk lebih mendapatkan kesamaan ciri fisik dengan Masyarakat Papua oleh pihak kesultanan, saat itu Nene Bo dan Nene Iya tidak terpilih. Hal ini disebabkan ciri fisik Nene Bo memiliki kulit hitam tapi rambutnya (ikal). Sedangkan Nene Iya (Nene Indah Hadi) dengan kulit sawo matang dan rambut keriting"

Saat ditanya, Nene Indah, dirinya enggan memberikan keterangan/alasan yang pasti tentang hal ini. Hanya dalam ingatan dia, Soekarno saat itu datang ke Tidore karena urusan Papua Barat.

Alasan mendasar kedua puteri ini tidak terpilih karena tidak memenuhi syarat ciri fisik seperti yang di inginkan Sultan Zainal Abidin Syah. Biji Negara lah salah satu puteri yang telah memenuhi syarat dan punya ciri fisik sama dengan masyarakat papua. (Keterangan Nenek Indah pada Senin 29/07/2020. Salah satu saksi yang masih bisa memberikan keterangan tentang pihak Kesultanan mencari orang tidore asli dengan ciri fisik tersebut sama seperti ciri fisik orang Papua)

Sebagai masyarakat adat Kesultanan Tidore, Nene Biji Negara selalu tunduk kepada perintah Sultan sebagai tokoh di Kesultanan Tidore. Nene Biji Negara di panggil ke Kesultanan dan di berikan latihan atau semacam protocol bagaimana cara mengalung bunga pada sosok Presiden RI pertama ini.

Nasib hidup Biji Negara dan kedua temannya dari desa Bobo tidak seberuntung nenek cantik yang katanya saat itu juga merupakan puteri pengalung bunga  saat Soekarno pertama tiba di Tidore sebagaimana yang di lansir jpnn.com (rabu 19 April 2017). Puteri Cantik ini juga pernah di undang Sultan Husain Syah pada saat perayaan hari jadi kota tidore yang ke 909 tahun

Menurut keterangan Sebagian besar warga, ada penghargaan yang berikan kepada Nenek Biji Negara. Hal yang sama juga disampiakan anaknya sendiri, Ahmad. "Nene Biji Negara (Ibu saya) di berikan Penghargaan oleh Soekarno dengan Nama Biji Negara, semua keluarga, warga bobo dan orang tidore mengetahui dan menghargai itu sebagai bukti sejarah yang saat ini sengaja di tutupi oleh pihak tertentu"

Sekilas tentang mereka yang telah dilupakan atau sengaja digelapkan sejarahnya oleh pihak Kesultanan. Hingga saat ini, nasib Nene Biji Negara dan kedua temannya hanya menjadi lembaran sejarah yang tersimpan rapi menuju lepuknya usia sejarah Kesultanan Tidore

Nenek Biji Negara, Sang Guru

Nene Biji Negara dikenal dalam keluarganya adalah sosok cerdas dan sangat keras, pekerja keras, sama seperti perempuan lainnya di Desa Tongaru saat itu. Masa Mudanya di perkampungan Tongaru, menyisihkan waktu untuk belajar mengajar. Dia sosok guru yang mengajarkan banyak anak-anak di Tongaru cara menulism dan cara membaca.

Dirinya juga dikenal sebagai sosok yang mencintai sejarah, dia mengabdikan dirinya semasa hidup di desa Tongaru dengan belajar sejarah, mencari kebernaran fakta dll hingga dirinya wafat. Pernah juga dua kali melakukan perjalanan ke Raja Ampat, konon menurut tutur beberapa sumber lisan dan keterangan anaknya sendiri. Kelaurga Nene Biji Negara sebagiannya ada di wilayah Papua setelah Irian Barat kembali ke NKRI

Tiga kali melakukan perjalana ke Jakarta pada masa Megawati sebagai Presiden. Perjalanan ke Jakarta dengan tujuan bertemu megawati, hanya saja sampai yang ketiga kalinya, Nene Biji Negara sempat bertemu dengan Megawati anak Soekarno tapi tidak ada kesempatan untuk mengobrol lebih banyak tentang wasiat yang telah disampaikan oleh Bung Karno kala itu.

Pengakuan Nenek Biji Negara dikisahkan anaknya "selain mengalungkan bunga di leher Soekarno, dirinya juga menggendong (Guntur Soekarno Putera) anak Soekarno saat kunjungan tersebut. Mengikuti banyak kegiatan yang dilakukan soekarna saat masih berada di tidore. Dari sinilah, dirinya merasa sangat dekat dan menjadi bagian dari kelurga soekarno"

Nene Biji memiliki 6 orang anak, 2 anak laki-laki dan 4 anak perempuan hasil pernikahan Nene Biji Negara dengan suaminya Sahria Lacing. mereka hidup di desa Tongaru. Saat itu kehidupan di Desa Tongaru dan Toma Soho adalah peradaban besar menurut tutur anaknya.

Sebab, banyak sumber lisan, kedua desa ini dan beberapa desa lainnya sebagai kampung tua desa bobo sudah ada sejak ratusan tahun. Hal ini di buktikan denga peninggalan sejarah seperti gubuk bekas rumah, bekas persembunyian dan juga tempat ritual kepercayaa, sumur tua dan masih banyak lagi.

Pada saat orde baru berkuasa Soeharto sebagai Presiden ke Dua NKRI, terjadilah peristiwa pembersihan Komunis, PNI, Marhaen dan antek-anteknya. Di Tidore sendiri, peristiwa itupun dirasakan oleh para orang tua di perkampungan tua Tongaru dan Toma Soho.

Menurut keterangan, di perkampungan Tua ini menerima PNI sebagai partai dan terjadilah ketersinggungan oleh Masyumi. Awal mula peristiwa ganyang adalah bagian dari pembersihan Fanatic Soekarnois dan lain sebagainya.

Bukan hanya warga bobo yang ada di Desa Tongaru, Nenek Biji Negara dan keluarganya juga menjadi salah satu korban bulanan keganasan peristiwa pembersihan masa orde baru. Peristiwa sejarah itu di kenal dengan nama Peristiwa ganyang PNI pada tanggal, 11 oktober 1969 pagi, pasca ganyang di kota soasiu tanggal 5 oktober 1969.

Keganasan dari peristiwa ganyang PNI tersebut, Nene Biji  Negara juga bagian dari penentang orang/kelompok yang melakukan ganyang di desa Tongaru. Ahmad Sarif, lahir 11 oktober 1969 adalah anak laki-laki yang ke empat nenek Biji Negara memberikan keterangan terkait.

Menurut tutur Ahmad Sarif, Ibunya (Nenek Biji) menceritakan padanya kalau "aku (Ahmad sarif) saat itu masih dalam kandungan dengan usia kandungannya 9 bulan. Padahal sangat berisiko untuk kandungannya perempuan Tangguh yang satu ini, dirinya tidak kenal menyerah. Dari kejadian perlawanan atas Peristiwa itu, lemparan batu mengenai perut Nenek Biji dengan usia kandungannya yang Sembilan bulan"

Tanggal 11 oktober merupakan hari bersejarah buat kami, karena paginya peristiwa ganyang PNI, sore tanggal 11 oktober 1968 itu, ibu melahirkan Aku. Jadi sangat berkesan menurut tutur Sang Ibu -Keterangan Ahmad.

Dari penggalan sejarah yang penulis maksud sebagai bahan dan juga sebagai referensi dasar maupun rujukan untuk mulai menulis perjalanan perempuan Tangguh, perempuan hebat di sejarah Tidore pada masa itu meskipun dengan keterbatasan baik itu referensi dan juga bukti lainnya. Tujuan lainnya dari penulis adalah bermaksud untuk mengabarkan kepada hati Nurani Tidore yang sejauh ini tidak menghargai sejarah sebagai landasan perjalan peradaban.

Selain itu, masih banyak hal lain yang ingin di sampaikan oleh penulis, baik itu bukti sejarah kampung tua yang masih bisa dijangkau hingga saat ini, dan juga cerita-cerita dari tokoh adat dan tokoh masyarakat tentang perjalan dan perang penjajahan dan lain sebagainya akan saya rangkum pada bagian yang terpisah.

Semoga, hati nurani Tidore tersentuh dengan sekelumit sejarah yang terkubur atau sengaja dikubur, digelapkan agar anak cucu di Kelurahan Bobo tidak mengetahuinya. Sejarah panjang ini, adalah sejarah kita, bukan sejarah siapa-siapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun