Nene Biji memiliki 6 orang anak, 2 anak laki-laki dan 4 anak perempuan hasil pernikahan Nene Biji Negara dengan suaminya Sahria Lacing. mereka hidup di desa Tongaru. Saat itu kehidupan di Desa Tongaru dan Toma Soho adalah peradaban besar menurut tutur anaknya.
Sebab, banyak sumber lisan, kedua desa ini dan beberapa desa lainnya sebagai kampung tua desa bobo sudah ada sejak ratusan tahun. Hal ini di buktikan denga peninggalan sejarah seperti gubuk bekas rumah, bekas persembunyian dan juga tempat ritual kepercayaa, sumur tua dan masih banyak lagi.
Pada saat orde baru berkuasa Soeharto sebagai Presiden ke Dua NKRI, terjadilah peristiwa pembersihan Komunis, PNI, Marhaen dan antek-anteknya. Di Tidore sendiri, peristiwa itupun dirasakan oleh para orang tua di perkampungan tua Tongaru dan Toma Soho.
Menurut keterangan, di perkampungan Tua ini menerima PNI sebagai partai dan terjadilah ketersinggungan oleh Masyumi. Awal mula peristiwa ganyang adalah bagian dari pembersihan Fanatic Soekarnois dan lain sebagainya.
Bukan hanya warga bobo yang ada di Desa Tongaru, Nenek Biji Negara dan keluarganya juga menjadi salah satu korban bulanan keganasan peristiwa pembersihan masa orde baru. Peristiwa sejarah itu di kenal dengan nama Peristiwa ganyang PNI pada tanggal, 11 oktober 1969 pagi, pasca ganyang di kota soasiu tanggal 5 oktober 1969.
Keganasan dari peristiwa ganyang PNI tersebut, Nene Biji  Negara juga bagian dari penentang orang/kelompok yang melakukan ganyang di desa Tongaru. Ahmad Sarif, lahir 11 oktober 1969 adalah anak laki-laki yang ke empat nenek Biji Negara memberikan keterangan terkait.
Menurut tutur Ahmad Sarif, Ibunya (Nenek Biji) menceritakan padanya kalau "aku (Ahmad sarif) saat itu masih dalam kandungan dengan usia kandungannya 9 bulan. Padahal sangat berisiko untuk kandungannya perempuan Tangguh yang satu ini, dirinya tidak kenal menyerah. Dari kejadian perlawanan atas Peristiwa itu, lemparan batu mengenai perut Nenek Biji dengan usia kandungannya yang Sembilan bulan"
Tanggal 11 oktober merupakan hari bersejarah buat kami, karena paginya peristiwa ganyang PNI, sore tanggal 11 oktober 1968 itu, ibu melahirkan Aku. Jadi sangat berkesan menurut tutur Sang Ibu -Keterangan Ahmad.
Dari penggalan sejarah yang penulis maksud sebagai bahan dan juga sebagai referensi dasar maupun rujukan untuk mulai menulis perjalanan perempuan Tangguh, perempuan hebat di sejarah Tidore pada masa itu meskipun dengan keterbatasan baik itu referensi dan juga bukti lainnya. Tujuan lainnya dari penulis adalah bermaksud untuk mengabarkan kepada hati Nurani Tidore yang sejauh ini tidak menghargai sejarah sebagai landasan perjalan peradaban.
Selain itu, masih banyak hal lain yang ingin di sampaikan oleh penulis, baik itu bukti sejarah kampung tua yang masih bisa dijangkau hingga saat ini, dan juga cerita-cerita dari tokoh adat dan tokoh masyarakat tentang perjalan dan perang penjajahan dan lain sebagainya akan saya rangkum pada bagian yang terpisah.
Semoga, hati nurani Tidore tersentuh dengan sekelumit sejarah yang terkubur atau sengaja dikubur, digelapkan agar anak cucu di Kelurahan Bobo tidak mengetahuinya. Sejarah panjang ini, adalah sejarah kita, bukan sejarah siapa-siapa.