Alifan Kene (Pemerhati Sosial) Tokoh Muda Kel, Bobo. Pria 35 tahun ini sangat getol dalam melihat hal sejarah di kampungnya dan tidore pada mumumnya. Bahkan sampai saat ini pun dia masih sangat kritis terhadap hal-hal yang tidak memberikan dampak yang baik terhadap masyarakat.
Bukan hanya perkara pertani semata, tetapi banyak hal. Akses jalan untuk mencapai kebun petani, nelayan, fasilitas penyeberangan laut lintas kota tidore dan sebagainya
Tidore, kota kecil di Maluku Utara dengan Kerjaan Islamnya Kerajaan Tidore dan Pemerintah secara administrative Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Kota ini memiliki sejarah yang sangat luar biasa besar yang sama seperti kota-kota lainnya di negara ini.
Tentang Tidore, sudah banyak orang menulis sejarahnya dengan berbagai referensi, dari berbagai sudut pandang, metode analisnya dan Tidore masih tetap menjadi Tidore yang dilupakan perjuangan sejarahnya.
Untuk mengulas tentang Tidore dan sejarahnya nanti ada bab terpisah sehingga kita lebih focus dalam mencerna sedikit demi sedikit sejarah panjang yang telah kita lalui berates tahun lamannya. Sebab menulis tentang sejarah tidore membutuhkan banyak referensi pendukung yang valid dan sah menurut kaidah ilmiahnya.
penulis memilih lebih focuskan pada segelumit sejarah tentang Kampung Bobo yang saat ini secara devinitif menjadi satu kelurahan di wilayah utara kota tidore. Berangkat dari sering ngobrol banyak hal saat bersama dengan pemuda-i di Kelurahaan Bobo saat penulis pulang kampung, diskusi ini berujung sebuah tulisan yang sekarang ditangan pembaca, semoga pembaca yang budiman dapat mencernanya.
Pemuda Kelurahan Bobo, pemuda yang terdidik, tercerahkan dengan banyak hal. Alifan adalah salah seorang pemuda yang saat ini kekritisannya disorot banyak pejabat public di Tidore, kenapa tidak?
Dirinya terang -- terangan mengkritisi siapa saja sebagai pejabat public Kota Tidore, tajam dan mengena kritikan Alifan saat ini. Pantas saja pria yang dikenal dengan sosok kritis ini diincar banyak mata pejabat public di tidore karena tidak segan-segan melakukan kritikan pedas.
Desember 2020, penulis bertemu dengan Alifan dan sejumlah pemuda Kelurahan Bobo saat kembali dari Jakarta, penulis sendiri adalah pemuda yang lahir di kelurahan bobo pada tahun 1988 silam, hanya berprofesi sebagai penulis bebas, penulis media.
Pulang kampung adalah keseruan tersendiri, dan ternyata ditahun kemarin 2020 memberikan kesan yang mendalam setelah melapas mesra dengan sejumlah pemuda sebagai teman Angkatan, karib dan kerabat juga keluarga. Sampai tulisan ini di tulis, penulis sudah berada tanah jawa, dan mengasah beberapa lembaran cerita penting menjadi sebuah tulisan yang masih jauh dari kesempurnaan pengkajian dan metode anlisis tentang rentang waktu dan masih kekurangan bukti pendukungnya.
Tetapi penulis memilih menulis yang sedikit ini untuk sebagai media penyampaian informasi yang mudah-mudahn besok atau akan datang akan ada lagi penambahan bahan sebagai bahan tulisan dari banyak pihak.
Disini, penulis lebih focus pada seorang perempuan pejuang, perempuan yang kehilangan namanya dilembaran sejarah Tidore, yang dikuburkan namanya oleh kemurkaan sejarah, dan bahkan generasinya dikucilkan dalam sepanjang sejarah Tidore sebagai generasi yang diberikan lebelnya sangat rasis bagi penulis dan generasi muda. Secara singkatnya, pembaca yang budiman dapat melanjutkan bacaannya sampai akhir dari tulisan yang penulis torehkan ini.
Bersama dengan Alifan dan teman-teman pemuda Kelurahan Bobo di akhir tahun 2020 berbincang tentang banya hal, Alifan adalah seorang senior, satu tahun lebih tua dari Angkatan saya dimasa kami masih sama-sama menyelasaikan studi. Bukan hanya Alifan, tetapi seluruh pemuda dan pemudi di Kelurahan Bobo, saat ini cenderung berkumpul, mengkaji banyak hal termasuk sejarah Kampung mereka yang sejauh ini masih kabur kejelasan, masih simpang siur.
Banyak juga yang menulis sejarah Tidore dan sejarah kampung (kelurahan Bobo) dari banyak sudut pandang, dan ternyata mereka salah, mereka terlanjur keliru memberikan lebel sejarah pada kampung (kelurahan Bobo) dalam data ilmiahnya.
Banyak juga setelah generasi di kelurahan bobo meminta para penulis audiens ternyata mereka bungkam, hanya melihat sejarah kampung bobo menurut kaca mata kuda yang mereka miliki.
Rencana mereka akan menggiring perihal sejarah ini kepada jenjang ilmiah untuk membuktikan kebenaran sejarah yang sesungguhnya. Hingga saat ini, sekelompok pemuda dari kelurahan bobo mulai menempuh tingkat Pendidikan strata (S1) dan (S2) ini memilih focus untuk membicarakan sejarah kampung (kelurahan Bobo) yang menurut mereka masih sangat jauh kebenarannya ketika sejarah yang ditulis orang berdasarkan pemikiran mereka yang bukan lahir di kampung bobo. Demikian pengantar singkat dari penulis, kembali lagi kita telaah sedikit sejarah tentang tokoh-tokoh dan jasanya di Tidore.
Soekarno dan  Tidore
Sejarah perjalan Bangsa tidak terlupakan, tercatat dalam banyak karya dan temuan terbaru tentang sepak terjang menyatukan kembali suku bangsa dan ras dalam Kebhinekaan. Sebab itulah konsolidasi Presiden RI pertama Soekarno untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI melaui Kesultanan Tidore.
Pekikan kata merdeka sebanyak 15 kali di teriakkan oleh rakyat tidore saat kali pertama Soekarno tiba dan menginjakkan kakinya di Tidore pada 18 Juli 1954. Kunjungan keduanya pada 30, Agustus 1957 bersama dengan Bung Tomo. Penyambutan meriah, berbagai gala kesukuan dan tarian - tarian adat dipentas sebagai penyambutan sang pemimpin Revolusioner.
Kunjungan kedua, waktu dimana puncak konsolidasi kembalikan Irian barat ke pangkuan NKRI bersama dengan diangkatnya Sultan Zainal Abidin Syah sebagai Gubernur Irian Barat Pertama yang beribukota di Soa-Sio. Sultan Tidore Zainal Abidin Syah sebagai Gubernur Pertama Irian Barat. Merupakan hal special di mata sejarah Indonesia dan Tidore.
Sekelumit sejarah Indonesia, Tidore dan Irian Barat. Beranjak dari perjalanan konsolidasi yang tujuannya adalah untuk teritorial wilayah NKRI ini menyisihkan rentetan sejarah pada masyarakat adat Kesultanan Tidore, khusunya warga Bobo yang saat ini sudah menjadi satu kelurahan definitive wilayah Tidore Utara, berdiri sejak Tahun 1963.
Tidore dengan perjalanan panjangnya memasuki usia kurang lebih 101 tahun menuai banyak kenangan yang menjadi sejarah, pertikaian demi pertikaian antar klan yang tercatat, yang diceritakan secara turun temurun dan menjadi objek sejarah. Baik wisata sejarah lisan, obejek wisata fisik dan banyak lagi objek lainnya untuk saat ini masih terawat dengan baik. Wisata budaya, sejarah dan bahari merupakan hidangan terbaik dalam sepanjang perjalanan setiap orang yang berkunjung ke Tidore.
Satu kutipan "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai adat dan budaya" adalah bentuk jalan kehidupan dan menjadi ruh NKRI sebagai bangsa yang besar. Kekayaan ini menjadi nilai besar yang tidak dapat di tandingi dengan bentuk apapun, nilai-nilai dasar keharmonisan menggetarkan isi kepala setiap negara.
Tidore, menuju usia 1003 tahun, di 2021 ini masih melupakan sekelumit sejarah tentang perempuan-perempuan hebat, putri-putri terbaik Tidore yang memberikan kontribusi terbesar kembalinya Papua Barat ke pangkuan NKRI.
Sejarah Lisan Kampung Tua
Sejarah lisan yang di tuturkan oleh tetua dan tokoh adat yang ada di desa bobo perkampungan tua Tongaru dan Toma Soho menjadi dasar penulis untuk menulis sekelumit sejarah yang bisa jadi terlupakan atau sengaja dilupakan oleh Kesultanan Tidore dan juga pemerintah Tidore. Yang saat ini seakan mendiamkan atau sengaja tidak terbuka tentang sejarah para perempuan terbaik, putri-putri pengalung bunga di leher Sukarno saat kedatangan pertama Soekarno di Tidore.
Tete jaja 80 thn , sapaan Akrab tokoh adat di perkampungan tua Toma Soho yang pada saat ini adalah bagian dari pada peradaban warga bobo. Sebelumnya menjadi bagian dari wilayah tahisa Toloa.
Wawancara/interview dilakukan di perkampungan tua kurang lebih empat jam, hari minggu 25/10 /2020. Dirinya menceritakan banyak hal. Terkait sejarah warga bobo, perjuangan-perjuangan, klan-klan dll, salah satu diantara cerita beliau adalah Perempuan terbaik yang mengalung bunga di leher Soekarno.
Menurut beliau, informasi konsolidasi Irian Barat terakhir ini baru di ketahui dirinya. Tapi pada saat itu kurang lebih tahun 1950an ada perintah Sultan Zainal Abidin Syah untuk mencari orang-orang keturunan asli Tidore yang ciri fisiknya sama dengan orang papua demi kepentingan kembalinya Irian Barat ke NKRI.
Menurut keterangan lisan lainnya lainnya, tahun 1960an lah Sultan Zainal Abdin Syah sering berkunjung ke perkampungan Tua Tongaru dan Toma Soho. Sultan Zainal Mengunjungi keluarganya dan menurut ketarangan dari salah satu anak laki-laki perempuan pengalung  bunga (Biji Negara) " Seringnya sultan Zainal Abidin Syah mengunjungi perkampungan tua karena akan dibangun sekolah di desa/perkampungan tua. Hai inilah menjadi awal pemicu/konflik karena ketersinggungan masayarakat Toloa atas rencana dibangunnya sekolah tersebut di Desa Tongaru.
Keterangan yang lain enggan di ceritakan dan menjadi rahasia hampir sebagian besar tokoh adat di kelurahan bobo. Untuk bagian sejarah tentang kunjungan Sultan Zainal ke Tongaru dan Toma Soho perkampungan tua nanti saya rangkum di satu bagian lain yang terpisah.
Di kampung tua ini memiliki banyak bekas bangunan rumah tinggal, ada yang masih kokoh, ada yang sudah tidak bisa dijangkau mata disebabkan oleh tidak adanya perawatan. Tak lupa pula, sekarang lagi terkenal kain kayangan (Puta Dino) yang di temukan kembali oleh seorang perempuan, untuk hidupkan kembali tenun tidore yang hilang selama ratusan tahun ini menjadi nilai plus tersendiri untuk sederet sejarah tidore yang mulai nampak ke permukaan public.
Di kampung tua (toma soho dan tongaru) dan generasi sebelumnya menyimpan hal ini sebagai rahasia, alat tenun (puta dino) yang lagi trend sekarang ini, di kampung tua ini kami mengetahui alat tenun dan kain tenun Puta Dino dari setiap lapisan generasi sebelum kelurahan bobo menjadi kelurahan devinitiv
Tetapi ini adalah bukti sejarah yang kami punya, harta perkampungan tua yang hanya bisa dilihat, diketahui oleh anak cucu dan seluruh generasi di kelurahan bobo. Dan sejauh ini, menulusuri kampung tua sama halnya mengembalikan kearifan yang kami miliki, mulai dari adat istiadat, keharmonisan, kekeluargaan, gotong royong dan lainnya.
Bersambung*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H