Mohon tunggu...
Hairatunnisa
Hairatunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Penikmat literasi dan fiksi dan kini tertarik pada isu wilayah dan kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Potret Kehidupan Perkotaan dalam Gerak Lambat

6 Januari 2022   06:36 Diperbarui: 6 Januari 2022   06:42 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto karya  Garry Andrew Lotulung, yang mengabadikan kemacematan di jalanan perkotaan  (Sumber: Kompas.com/Garry Andrew)

Sore itu dengan langkah berat saya berjalan dari gerbang utama kampus yang berada di Jalan Ganesha menuju Jalan Tamansari untuk mencari angkutan umum. 

Tidak seperti biasanya, kali ini saya berencana untuk menggunakan moda transportasi masal seperti angkot. Padahal biasanya saya lebih memilih untuk menggunakan ojek online untuk melayani kebutuhan mobilitas sehari-hari. 

Akan tetapi hari itu justru paket data internet saya telah habis, apa daya gawai peranti yang dinamakan 'smartphone' ini tetiba kehilangan sifat 'smart-nya' tatkala tidak terkoneksi ke jaringan internet. 

Alhasil, saya tidak dapat melakukan pemesanan secara online dan 'terpaksa' beralih menggunakan moda transportasi umum. Pupus sudah harapan untuk segera sampai ke rumah untuk melepas lelah.

Namun di tengah situasi 'sulit' tersebut, saya mencoba mencari alasan untuk tetap bersyukur seperti tabiat masyarakat Indonesia pada umumnya. Di tengah tatanan sistem yang kini apa-apa serba cashless, untungnya saya sedia uang cash yang nantinya diperlukan untuk membayar tarif angkot.

Hal ini penting mengingat apabila terjadi black out secara mendadak, maka mesin ATM pun hanya seonggok mesin tidak berguna karena tidak dapat digunakan untuk menarik uang. 

Alhasil, kita seketika bisa merasa seolah 'tidak ber-uang' ketika tidak mampu melakukan transaksi tunai. Ternyata sejauh apapun kemajuan teknologi telah berhasil membawa berbagai kemudahan dalam peradaban manusia modern, di sisi lain cara-cara konvensional tetap selalu dibutuhkan, khususnya di situasi-situasi tidak terduga seperti yang saya alami.

Namun ada hal lainnya yang turut saya syukuri atas kejadian tersebut. Kejadian itu memaksa saya untuk meluangkan waktu untuk menyaksikan potret fenomena umum 'kemacetan di perkotaan' dalam gerak lambat yang selama ini luput dari penglihatan. 

Telah terbiasa bergerak cepat dengan menggunakan moda transportasi ojek online mengakibatkan saya abai memperhatikan kondisi jalanan. Hal ini dikarenakan motor yang saya tumpangi selalu mampu bergerak lihai di tengah kemacetan. 

Alhasil saya selalu tiba di tujuan dalam waktu relatif singkat. Namun, saya mengalami pengalaman yang amat berbeda tatkala menyaksikan fenomena yang sama dalam bingkai gerak lambat ketika menumpang angkutan umum.

Sore itu seperti hari-hari lainnya, jalanan begitu ramai dan macet pada saat peak hour seperti ini. Berbagai kendaraan terlihat menyesak di jalanan yang mengakibatkan kemacetan yang mengular. 

Sesampainya di Jalan Tamansari, saya mulai melihat angkot yang melayani rute saya terjebak di antara kemacetan tersebut. Tak lama, angkot itu akhirnya menepi. Ternyata saya adalah satu-satunya penumpang saat itu sehingga sang supir memutuskan untuk mengetem. 

Namun tak berapa lama, sopir tersebut memutuskan untuk menarik kembali angkotnya walaupun tidak ada lagi penumpang yang naik setelah saya. Padahal lima tahun lalu angkot rute ini terkenal dengan tabiat 'ngetemnya'. Akan tetapi saat ini memang tidak mudah untuk mengetem. 

Ruas jalan yang terbatas dan penuh sesak dengan kendaraan tidak memungkinkan untuk memarkir angkot terlalu lama di pinggir jalan. Selain itu, orang-orang sudah mulai meninggalkan angkutan umum dan beralih menggunakan ojek online.

Sepanjang perjalanan, dimana-mana terlihat pasukan ojek online dengan rompi berwarna hijaunya yang khas hilir-mudik di jalanan sembari menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. 

Bahkan di trotoar jalan pun, saya juga melihat para supir ojek online tersebut sedang melepas lelah di atas spanduk yang dijadikan alas duduk. Fenomena ini sangat berbeda dengan lima tahun lalu saat saya pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. 

Padahal sekitar lima tahun yang lalu, saya harus naik angkot atau berjalan kaki bersama teman-teman karena pada malam hari tidak ada angkot yang melayani. Saya pun harus rajin membuka browser untuk tahu rute-rute angkot kota ini.

Akhirnya perjalanan sepanjang 1,5 kilometer itu ditempuh kurang lebih selama 40 menit. Padahal jika berjalan kaki maka bisa ditempuh selama 18 menit saja menurut googlemaps. 

Esoknya, saya langsung mencoba berjalan kaki dari rumah menuju kampus untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan jika berjalan kaki. Maka saya pun mulai bersiap-siap lebih awal dari biasanya. 

Ternyata hanya dibutuhkan sekitar 20-an menit menuju kampus dengan berjalan santai. Sebaliknya, bila menggunakan ojek online, maka saya selalu memesannya secara terburu-buru 15  menit sebelum perkuliahan dimulai. 

Saya kemudian bertanya ke dalam diri sendiri, sesungguhnya kehidupan cepat seperti apa yang saya inginkan? Apakah lebih baik bergerak cepat secara terburu-buru atau bergerak lebih lambat namun penuh persiapan?

Di satu sisi, dalam pandangan ilmu makroekonomi, adanya perusahaan penyedia jasa transportasi tersebut telah berjasa dalam meningkatkan keterserapan tenaga kerja, khususnya bagi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. 

Siapa saja bisa ngojek online apabila memiliki kendaraan dan akun yang terdaftar. Sehingga banyak masyarakat yang kemudian membeli motor walaupun secara kredit sebagai modal untuk bisa jadi pengemudi ojek online. 

Selain itu, tingginya permintaan terhadap moda transportasi online ini tidak bisa dipungkiri karena kepraktisannya dalam memangkas waktu perjalanan dari titik keberangkatan menuju titik tujuan.

Sekilas tidak ada yang salah dari hal tersebut. Namun di sisi lain, bukankah hal tersebut juga berarti bahwa pemerintah belum optimal menyediakan lapangan pekerjaan secara luas bagi masyarakat serta menyediakan sarana angkutan umum masal yang memadai? 

Selain itu, seiring meningkatnya volume kendaraan oleh pasukan jaket hijau tersebut maka dapat meningkatkan risiko kecelakaan, kemacetan, serta semrawutnya kondisi jalanan. 

Hal ini justru akan menjadi PR baru yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Jadi, apakah akan seperti ini wajah transportasi urban kita hari-hari ke depan?

Hairatunnisa, ditulis dua tahun lalu saat mulai mendalami ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun