Namun, cerita menjadi berbeda saat saya secara tak sadar mengikuti serangkaian pendidikan politik yang saya dapatkan di kampus, mulai dari proses pendirian panitia pemilu, sosialisasi peraturan pemilu, hingga rangkaian proses uji dengar dan pemilihan calon ketua.Â
Selama keberjalanan forum diskusi pemilu, saya menyadari bahwa rekan-rekan mahasiswa saya ternyata sangat kritis mempertanyakan bagaimana alur berpikir masing-masing calon hingga menghasilkan visi-misi yang kemudian diturunkan ke dalam organogram serta program unggulan, kemudian mereka menguji bagaimana feasibilitas program tersebut dari segi waktu serta pembiayaan.Â
Tidak lupa, mereka juga menganalisis S.W.O.T (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat) masing-masing calon yang kemudian juga disesuaikan dengan kebutuhan massa saat itu. Semua calon memaparkan gagasannya secara runut dan lengkap, jika ternyata ada hal yang kurang maka peserta diskusi kemudian memberikan rekomendasi kepada calon agar nanti pekerjaan mereka dapat dipertanggungjawabkan bila terpilih.
Berpikir runut, logis, idealis dan kritis mungkin memang merupakan karakter alamiah mahasiswa. Hal ini bisa jadi dikarenakan rekan-rekan mahasiswa telah diajarkan metode penelitian sejak dini.Â
Karenanya, di dalam forum diskusi tersebut perdebatan yang muncul sarat dengan hal substantif. Pemimpin forum, sang moderatur pun sebelum memulai forumnya selalu membacakan peraturan terkait etika dalam forum untuk mengarahkan peserta diskusi agar mengikuti forum dengan baik, mulai dari larangan bermain handphone hingga larangan berbicara dengan tendensi untuk menjatuhkan.
Atmosfer kampus yang kondusif untuk pendidikan politik pun dapat hadir dikarenakan telah tersedianya infrastruktur yang memadai untuk berdemokrasi. Selain itu diskusi menjadi kondusif karena diilhami dengan semangat 'in harmonia progressio' atau kemajuan dalam kebersamaan, bukan hanya semangat golongan.
Doktrin-doktrin bahwa mahasiswa adalah 'Agent of Change', 'Guardian of Value', serta 'Iron Stock' yang kerapkali disampaikan pada masa orientasi juga turut memberi andil membentuk politik kampus yang cenderung bersih.
Mahasiswa yang aktif  berorganisasi bisa saya katakan 'lelahnya itu lillah' karena belum ada kepentingan yang dikendarai. Mereka pun menerima jabatan secara voluntary tanpa mengharap imbalan materi.
Melalui forum diskusi pemilu tersebut, kelompok undecided menjadi terbantu dalam mengenal calon ketua serta memahami bahwa visi misi serta bagaimana menurunkannya ke dalam program begitu memainkan peran penting.Â
Begitu pula mengenai bagaimana latar belakang terbentuknya program serta tujuan yang hendak dicapai, bagaimana ringkasan pelaksanaannya, hingga parameter keberhasilan tiap program harus melalui perencanaan yang matang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab sekali anda ngawur dalam merencanakannya, rekan-rekan mahasiswa akan mempertanyakannya dan anda akan kerepotan untuk menjawabnya. Dari diskusi tersebut saya dapat memahami pula bahwa jawaban pada tataran normatif cenderung akan berhenti di situ saja, akan tetapi dibutuhkan jawaban konkrit pada suatu permasalahan.