Mohon tunggu...
Haiqal Hafidz
Haiqal Hafidz Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengajuan Judical Review terhadap UU Cipta Kerja di MK

19 November 2020   19:30 Diperbarui: 19 November 2020   19:33 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hari Senin, 5 Oktober 2020 Undang -- Undang Cipta Kerja sebanyak 905 halaman yang di sah kan oleh DPR, namun Undang -- Undang Cipta Kerja tidak dapat diterima oleh elemen masyarakat. Dapat kita lihat bahwa Pengesahan Undang - Undang Cipta Kerja ramai-ramai ditolak oleh berbagai elemen masyarakat sipil. 

Aksi penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja terus bergulir hingga hari ini meski Undang -- Undang  tersebut telah resmi diundangkan. 

Berbagai aksi dilapangan terus digelar di berbagai tempat, bahkan bukan hanya buruh yang ikut melakukan aksi tetapi para  mahasiswa dan kelompok masyarakat juga ikut turun dalam aksi terhadap UU Cipta Kerja tersebut. Penolakan UU Cipta Kerja di lakukan karena terdapat sejumlah poin yang  merugikan para pekerja.

Poin poin yang menuai sorotan diantaranya Penghapusan Upah Minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). 

Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum. 

Poin lainnya yaitu jam lembur lebih lama, dalam draf Omnimbus law Bab IV tentang ketenagakerjaan pasal 78 dimana waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam sehari dan 18 jam seminggu, dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 kerja lembur dalam sehari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu. 

Poin berikutnya yaitu kontrak seumur hidup dan rentan PHK, dalam Undang -- Undang Cipta Kerja Pasal 59 dinilai merugikan pekerja karena ketimbang relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi . bahkan, pengusaha dinilai bisa me-PHK pekerja sewaktu-waktu. 

Poin berikutnya yaitu pemotongan waktu istirahat, pada pasal 79 ayat 2 huruf (b) dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. 

Dalam ayat 5, Undang -- Undang ini juga menghapuskan cuti panjang dua bulan per enam tahun. Hal tersebut jauh berbeda dari Undang - Undang Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama. 

Poin berikutnya juga menuai sorotan yaitu mempermudahkan perekrutan Tenaga Kerja Asing (TKA), jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018 diatur Tenaga Kerja Asing (TKA)  harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Visa Tinggal Terbatas (VITAS) dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). 

Sedangkan pada Omnimbus Law Undang -- Undang Cipta Kerja pasal 42 akan mempermudah perizinan Tenaga Kerja Asing (TKA), karena perusahaan yang menjadi  sponsor Tenaga Kerja  Asing (TKA) hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.

Dari poin poin yang menjadi sorotan maka para pihak  yang merasa dirugikan bisa menguji dan menafsirkan apakah Undang -- undang  ini bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan norma-norma di dalam UUD 1945. 

Dalam hal ini, pertama harus melihat dahulu aspek-aspek kerugian konstitusional yang diderita oleh para pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya Undang -- Undang  ini, dimana dalam Pasal 24 huruf C UUD 1945 itu mengatur mengenai MK, salah satunya melakukan uji materi terhadap Undang - Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riwanto menyatakan, "bagi para pihak yang keberatan atas terbitnya UU Cipta Kerja ini bisa melakukan uji materi atau judicial review ke MK".

Dalam praktiknya, judicial review Undang-Undang terhadap UUD 1945 dilakukan oleh MK. Sementara itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang - Undang terhadap Undang -- Undang  dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Mengenai judicial review ke MK, MK dapat menegaskan keadilannya sendiri berdasarkan konstitusi, yang mungkin tak sejalan dengan harapan pemohon. Situasi itu harus dipahami sebelum mengajukan permohonan. 

Mengajukan perkara ke MK berarti memercayakan sepenuhnya MK untuk mengadili, jadi apapun putusannya kelak, atas nama hukum dan konstitusi, semua pihak harus menghormatinya dimana  pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. 

Di mana kita ketahui Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ("UU MK"), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi ("MK") adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

https://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama

https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=12939

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun