Vape saat ini merupakan salah satu produk yangs udah dikonsumsi dan digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Kita, khususnya yang tinggal di daerah perkotaan, tentunya akan sangat mudah bisa melihat banyak pengguna vape di sekitar kita.
Di Indonesia sendiri misalnya, konsumsi vape atau rokok elektrik mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 misalnya, prevalensi pengguna rokok elektrik di Indonesia sejumlah 0,3%. Angka ini mengalami peningkatan yang pesat pada tahun 2021 menjadi 3% atau setara dengan 6,2 juta penggguna vape yang ada di Indonesia (republika.co.id, 31/5/2022).
Semakin meningkatnya pengguna vape di Indonesia ini tentu juga membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan industri rokok elektrik yang ada di negara kita. Pada tahun 2022 lalu mislanya, industri vape di Indonesia mampu menyerap jumlah pekerja sekitar 100.000 pekerja. Angka tersebut tentu bukan jumlah yang sedikit (liputan6.com, 13/6/2022).
Semakin meningkatnya pengguna vape di Indonesia ini juga menimbulkan pro dan kontra dari beberapa pihak. Asosiasi kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) misalnya, menghimbau masyarakat untuk tidak menggunakan vape karena produk ini dianggap memiliki tingkat bahaya yang sama dengan rokok konvensional yang dibakar (cnnindonesia.com, 24/9/2019).
Untuk itu, tidak sedikit pihak-pihak yang mengadvokasi agar pemerintah bisa melarang, atau setidaknya meregulasi secara sangat ketat, industri vape atau rokok elektrik. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, sudah ada beberapa negara yang menerapkan pelarangan konsumsi dan juga distribusi vape, diantaranya adalah Singapura dan juga Thailand.
DI sisi lain, ada juga negara-negara yang mengambil langkah yang berbeda. Inggris misalnya, beberapa waktu lalu, justru mengeluarkan aturan yang berbeda 180 derajat dari langkah yang diambil oleh Singapura dan Thailand. Inggris justru menggunakan vape sebagai alat yang bisa digunakan untuk membantu warganya berhenti merokok.
Lembaga penyedia layanan kesehatan publik asal Inggris, National Health Service (NHS) misalnya, telah mengadvokasi hal tersebut. NHS sendiri menyatakan bahwa vape tidak 100% aman, tetapi roko elektrik tidak menghasilkan tar dan karbon monoksida yang merupakan dua elemen yang paling membahayakan dari rokok konvensional yang dibakar, dan karena itu dampak bahaya dari vape jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan rokok (nhs.uk, 20/10/2022).
Kampanye yang dilakukan oleh NHS di Inggris sendiri sudah terbukti berhasil mengurangi jumlah perokok yang ada di negara kerajaan tersebut. Berdasarkan data dari Office for National Statistics misalnya, menunjukkan bahwa, jumlah perokok sudah berkurang di Inggris dari sekitar 14% di tahun 2020, menjadi 13,3% di tahun 2021 setelahnya (bbc.com, 6/12/2022).
Kembali ke Indonesia, fenomena semakin meningkatnya pengguna vape di Indonesia sendiri merupakan hal yang cukup menarik untuk kita lihat dan teliti. Tentunya, dari semakin banyaknya pengguna vape di Indonesia, ada berbagai alasan beragam yang dimiliki oleh para pengguna vape tersebut tentang mengapa mereka memutuskan untuk menggunakan rokok elektrik.
Berdasarkan survei tahun 2019 misalnya, 58% perempuan dan 71% lai-laki menyatakan bahwa mereka memilih untuk mengonsumsi vape karena produk tersebut lebih ringan bila dibandingkan dengan rokok konvesional yang dibakar (goodstats.id, 16/1/2023). Tentunya, bila rokok konvensional dilarang, hal tersebut akan membawa dampak yang signifkan terhadap banyak orang.
Di luar negeri, sudah ada penelitian yang berupaya untuk menjawab pertanyaan kira-kira apa yang akan terjadi bila vape dilarang. Di Inggris misalnya, sekitar sepertiga dari pengguna vape di negara tersebut akan beralih dan kembali menggunakan rokok konvensional yang dibakar bila rokok elektrik dilarang di negara tersebut (independent.co.uk, 7/4/2023).
Bila ini terjadi, tentu hal tersebut merupakan bentuk kemunduran dari upaya harm reduction dari rokok. Dengan demikian, tidak sedikit konsumen yang tidak memiliki pilihan selain menggunakan produk yang jauh lebih berbahaya seperti rokok konvensional yang dibakar.
Di Indonesia sendiri, riset seperti ini tentu sangat dibutuhkan, agar para pengambil kebijakan dapat mengeluarkan dan mengesahkan kebijakan yang tepat dan tidak kontra produktif. Sebagai salah satu negara dengan tingkat prevalensi perokok tertinggi di dunia, adanya upaya harm reduction dari dampak rokok tentu merupakan langkah yang sangat penting untuk dilakukan.
Dengan demikian, bila sudah ada penelitian mengenai dampak tersebut, para pengambil kebijakan bisa menimbang apakah misalnya, langkah kebijakan yang keras terhadap vape, seperti regulasi ketat hingga pelarangan total, merupakan sesuatu yang tepat. Jangan sampai, langkah yang diambil justru menimbulkan dampak yang lebih buruk.
Sebagai penutup, vape atau rokok elektrik saat ini merupakan hal yang menjadi bagian keseharian bagi jutaan masyarakat di Indonesia. Ada berbagai alasan dan sebab yang dimiliki oleh para konsumen untuk menggunakan produk tersebut. Untuk itu, adanya riset mengenai perilaku para pengguna tersebut merupakan hal yang sangat penting, khususnya bagi mereka para pembuat kebijakan agar bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat.
Referensi
https://www.nhs.uk/live-well/quit-smoking/using-e-cigarettes-to-stop-smoking/
https://www.bbc.com/news/uk-63873747
https://goodstats.id/article/membongkar-karakteristik-vapers-indonesia-dan-alasannya-iy0q7
https://www.independent.co.uk/news/health/vape-ban-cigarette-smoking-habit-b2315312.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H