Mohon tunggu...
Haikal Akmal Ajikontea
Haikal Akmal Ajikontea Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

Sedang menempuh pendidikan Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sebelas Maret.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Dihadapkan Pada Kondisi Transisi: Sebuah Telaah Sistem Pembangunan Dunia

25 November 2022   07:23 Diperbarui: 25 November 2022   07:51 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori Sistem dunia merupakan kritik atas dunia modern. Yang mana sistem dunia modern berada dalam krisis struktural dan telah memasuki periode perilaku kacau yang akan menyebabkan percabangan sistemik dan transisi ke struktur baru yang sifatnya belum ditentukan dan pada prinsipnya, tidak mungkin. Ketika struktur negara semakin kehilangan legitimasi, maka secara politis situasi ini akan menjadi salah satu kebingungan besar, karena analisis politik standar yang telah kita kembangkan untuk memahami sistem dunia modern tampaknya tidak berlaku atau akan tampak ketinggalan zaman. Ini tidak akan benar proses yang sedang berlangsung dari sistem dunia yang ada dan bukan realitas transisi. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk memperjelas perbedaan antara keduanya dan bagaimana realitas ganda ini akan bermain dengan sendirinya (Wallerstein 2000). Demikian penggalan gagasan Immanuel Wallerstein dalam Globalization or The Age of Transition: a Long-term View of The Trajectory of The World System. Wallerstein mengkritik teori modernisasi dalam studi pembangunan Dunia Ketiga. Kritik tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah teori yang sekarang kita kenal sebagai Teori Sistem Dunia.

Teori Sistem Dunia diawali dengan proposisi unit analisis untuk memahami dunia modern bukan pada kelas atau negara-bangsa, namun sebaliknya pada sistem dunia yang dibentuk dari perkembangan kapitalisme. Tentu gagasan tersebut tidak terlepas dari pengaruh Karl Marx tentang pembagian kerja. Wallerstein meninjau teori Modernisasi yang sebelumnya berpendapat bahwa negara-bangsa adalah bagian inti dari pembangunan, baginya teori tersebut mencerminkan kegagalan dalam menghubungkan realitas pada tingkat lokal dan nasional dengan realitas yang lebih luas dan mendasar, yaitu sistem produksi dan pembagian kerja kapitalisme secara internasional. Padahal menurutnya, dunia baik struktural dan historis itu terbagi ke dalam tiga zona yaitu pusat, semi-pinggiran, dan pinggiran.

Wallerstein membagi dua fase sistem dunia yaitu pasca tahun 1945 yang selanjutnya disebut terbagi menjadi dua fase. Pertama yaitu fase-A dimulai dari tahun 1945 sampai 1967-1973 sedangkan pada fase-B rentang tahun 1967-1973 sampai sekarang. Fase tersebut dikategorikan berdasar pada siklus Kondratieff berdasarkan kondisi fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek tertentu. Fase-A yang dikenal sebagai "les trente glorieuses" atau tiga puluh tahun kejayaan sebagai fase kejayaan Amerika Serikat yang menjadi pusat hegemoni sistem dunia. 

Untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungannya, Amerika Serikat pada saat itu menyusun dua hal. Langkah pertama yaitu dengan mengatur pembentukan lembaga-lembaga yang mengurus hubungan antar negara pada bidang politik dan ekonomi, seperti United Nations (UN), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Langkah kedua dengan membuat kesepakatan dengan negara yang mempunyai kekuatan militer besar di luar AS, yaitu satu-satunya negara yang sebanding kekuatan militernya: Uni Soviet. Kesepakatan itu menggunakan nama-kode 'Yalta'. Namun justru dalam perjalanannya terjadi apa yang dalam konstruksi pemikiran Wallerstein disebut "gerakan anti-sistem". Hal itulah yang justru menjadi salah satu masalah yang paling merepotkan AS seperti Perang Vietnam.

Selanjutnya, untuk mengkonstruksi nilai pasaran produksi agar sistem dunia berpusat di Amerika Serikat. AS kemudian menyalurkan bantuan keuangan Marshall Plan kepada negara-negara Eropa Barat yang ekonominya hancur karena Perang serta memberikan asistensi kepada Jepang. Akan tetapi, justru bantuan tersebut menjadi awal kebangkitan ekonomi negara Eropa Barat dan Jepang. Sehingga rencana akan sistem dunia yang terpusat justru menjadi bumerang tersendiri Amerika Serikat. Pada 1960-an, jenjang produktivitas antara tiga kawasan ekonomi tersebut tidak lagi mengalami gap yang tinggi. Eropa Barat dan Jepang mampu mengontrol ekonomi lingkup domestiknya, sehingga mampu bersaing dengan AS skala internasional. Pada akhirnya, sejak 1960-an hegemoni Amerika Serikat terhadap sistem dunia kapitalisme harus berbagi dengan negara-negara di Eropa dan Jepang.

Bagi Amerika Serikat, negara-negara Dunia Ketiga merupakan penghasil sumber daya dan material mentah yang kemudian diolah oleh negara-negara maju. Namun, Wallerstein menunjukkan hal yang berbeda. Baginya terdapat peran "agensi" negara-negara pinggiran dalam sistem dunia. Hal ini didasarkan pada tahun 1970-an ketika negara-negara pengekspor minyak dunia (OPEC) yang sebelumnya merupakan sekutu dekat AS, meliputi Arab Saudi dan Iran era Pahlevi sepakat untuk mengurangi jumlah produksinya. Kesepakatan tersebut mengakibatkan krisis minyak yang menggoyahkan kejayaan Amerika Serikat dan sistem dunia yang dibentuknya. Apalagi sejak tahun 1980-an, beberapa negara semi-pinggiran yang terjebak utang serius, justru pada sisi lain terdapat negara-negara Macan Asia yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Adapun negara Cina muncul sebagai kekuatan ekonomi baru. Sehingga pada saat yang sama Reagen di AS dan Thatcher di Inggris muncul dengan program "neoliberalisme" dengan tujuan untuk mengatasi resesi ekonomi dan angka pengangguran yang meningkat tajam di negara mereka.

Tidak lama berselang, masalah muncul. Jatuhnya Uni Soviet merusak stabilitas sistem dunia. Terlebih pada awal 1990-an, Perang Teluk pecah. Hegemoni dan dominasi AS semakin terancam, kondisi politik tersebut berdampak pada meningkatnya biaya pengeluaran untuk kebutuhan militer yang menjalar pada beban ekonomi AS. Ketika kondisi tersebut semakin kalut, negara-negara di Eropa bersatu membentuk Uni Eropa. Hal itu justru menjadi pukulan keras pada ketidakefektifan aliansi-aliansi militer yang telah dibentuk AS dalam konteks ini seperti NATO.

Berdasar pada berbagai kejadian di atas, Wallerstein kemudian menyebutnya fenomena tersebut sebagai "era transisi" pada sistem dunia. Wallerstein juga menilai kondisi tersebut sebagai krisis struktural yang serius pada masa kapitalisme. Siklus Kondratieff yang telah diargumentasikan sebelumnya ditandai dengan tiga kecenderungan. Diantaranya terkait soal upah. Upah merupakan bagian penting dari biaya produksi. Pemberian upah terkait erat dengan perimbangan kekuasaan antara relasi kekuatan buruh dengan majikan dalam sistem kapitalis. Namun, kesadaran kelas dan pemahaman politik kaum buruh mampu mendulang kekuatan untuk menuntut kesejahteraan dengan kenaikan upah yang melebihi atau digariskan sedari awal oleh majikan. Jika sebelumnya, kaum kapitalis mampu dengan mudah mengatasi ini dengan merelokasi tempat produksi ke zona ekonomi dengan tingkat upah buruh rendah seperti pada negara-negara pinggiran. Sedangkan sekarang kaum kapitalis telah kesulitan mengakali hal tersebut sebab perkembangan sosial dan politik di negara-negara pinggiran pun ikut dipengaruhi dengan negara-negara yang sadar kelas. Disisi lain demokratisasi juga telah menjadi bagian inheren dari sistem dunia, hal ini disebabkan karena gerakan kaum buruh di negara-negara pinggiran saling terhubung dengan gerakan serupa di tempat lain. Biasanya kapitalis di negara pinggiran dapat menyediakan pekerja dari pedesaan yang biaya upahnya rendah. Namun sayangnya tenaga-tenaga buruh dari daerah pedesaan semakin lama semakin berkurang. Terutama sejak 1945 ketika deruralisasi terjadi secara masif. Desa-desa perlahan-lahan mulai diintegrasikan dengan kota, di sisi lain kota-kota telah terintegrasikan dengan sebuah sistem kapitalis global dengan kota-kota lain. Keadaan ini tentu menjadi bom waktu, sebab para buruh yang awalnya bersedia dibayar murah, akhirnya mereka tetap menuntut hak yang sama seperti buruh-buruh di tempat lain. 

Kecenderungan kedua, berkaitan erat dengan melimitasi akumulasi kapitalisme sebagai ongkos material atau barang-barang produksi. Jika sebelumnya ongkos material pada proses produksi kapitalisme tidak hanya harga material, kini terdapat ongkos lain untuk merawatnya. Masifnya gerakan akan kesadaran ekologi secara tidak langsung dapat mengawasi kaum kapitalis berjalan. Bentuk gerakannya menuntut kaum kapitalis untuk mengeluarkan biaya peremajaan hutan yang telah dieksploitasi atau menutup tanah yang terbuka bekas penambangan berdasarkan prinsip ekologi dan keamanan.

Kecenderungan terakhir yaitu tuntutan pajak. Pajak disini berkaitan dengan harga yang wajib dibayarkan untuk membiayai pelayanan sosial. Adapun tinggi rendahnya tuntutan pajak ditentukan dengan permintaan pihak keamanan terkait yaitu polisi dan tentara. Keberadaan mereka dan masa depan kapitalisme saling ketergantungan satu sama lain. Oleh karena itu, pajak menjadi penting untuk membayar program-program kesejahteraan sosial bisa diselenggarakan untuk meredam perjuangan kelas.

Berdasarkan ketiga kecenderungan yang dihadapi kapitalisme itulah maka mereka pada akhirnya membutuhkan negara atau kapitalisme sejatinya tidak akan pernah mampu menghapus peran dan keberadaan negara. Negara memiliki hak dan otoritas dengan kuasi-monopolinya. Hal inilah yang menjadi sumber ideologi penting untuk mempersuasi dan menekan massa agar tetap sabar menghadapi kondisi kapitalis sekalipun. Wallerstein memberi konsepsi ini sebagai gerakan reformasi atau gerakan anti-sistempun sebagai bentuk ketidakpuasan ideologi. Bisa saja bisa berbentuk komunis, sosial-demokrasi, atau gerakan-gerakan lain untuk pembebasan nasional. 

Konsepsi ini tentu selalu menggunakan jargon reformasi yang sebelumnya seperti kaum kapitalis ketika mereka berhasil mengokupasi kekuasaan negara. Sekalipun reformasi terwujud, negara dan kaum kapitalis masih memiliki legitimasi dan mampu meyakinkan kelas buruh untuk bersabar karena reformasi butuh waktu. Reformasi yang dimaksud tiada lain berkaitan dengan pembangunan. Namun, Wallerstein menilai kenyataan pada akhirnya akan membuktikan apa yang hendak dituju oleh reformasi atau pembangunan tak kunjung tercapai. Kemungkinan akan rakyat yang skeptis terhadap kemampuan negara mentransformasi sistem yang membelenggu mereka akan muncul. Singkatnya Wallerstein melihat adanya delegitimasi negara yang justru dilakukan dengan gerakan anti-sistem.

Jika hal demikian semakin menguat, maka kemampuan negara dalam mengontrol krisis akan membentuk kegagalan struktural kapitalisme secara bertahap, sistem dunia justru akan bergerak menuju sifat dasarnya yang belum diketahui secara pasti. Pada akhirnya kondisi inilah yang justru terjadi dengan dunia kita sekarang, sebuah dunia transisi. Situasi ketidakpastian ini menyelundupkan ide Wallerstein tentang kemungkinan intervensi dan kreativitas manusia. Baginya semua masih mungkin, kemungkinan di atas ditentukan dengan bagaimana kita bersikap pada zaman transisi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun