Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang menyatakan: "Barangsiapa  dengan  kekerasan  atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita  bersetubuh dengan dia di  uar perkawinan, diancam  karena  melakukan perkosaan  dengan  pidana  penjara  paling lama dua belas tahun." Mencermati pada tabel data dia atas, untuk perbuatan perkosaan, hakim menjatuhkan bervariasi antara 3 tahun  penjara  hingga 10 tahun penjara.
Selanjutnya, Â dalam Pasal 293 KUHP yang isinya :Â
(1) Barangsiapa  dengan memberi  atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum  dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan  dilakukan  perbuatan  cabul dengan   dia, padahal  tentang  belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus  diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.Â
(2)Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu
(3)Tenggang waktu tersebut  dalam Pasal 74 bagi pengaduan  ini  adalah masing-masing  sembilan  bulan  dan  dua belas bulan.Mencermati pada putusan hakim, bahwa  dalam  hal  perbuatan  penyesatan perbuatan cabul hakim hanya menjatuhkan  2  tahun  10  bulan,  artinya setengah  dari  ancaman  maksimal  pasal. Menurut  penulis,  hal  ini  kurang  relevan dengan akibat perbuatan pelaku terhadap korban.  Â
Jika   mencermati   pada   tindak pidana  perkosaan,  penjatuhan  pidana yang  dijatuhkan  oleh  hakim  terhadap perkosaan secara normatif tidak melanggar  aturan,  karena tidak  melebihi batas  maksimal  ancaman  pasal.  Namun perlu  dicermati  bahwa  delik  perkosaan tidak  dapat  dipersamakan  dengan  delik yang  lain.  Perkosaan  bukan  sekedar tindakan  yang  dilarang  dalam  aturan KUHP  sebagaimana  tindak  pidana  yang lain,  namun  penegak  hukum  (hakim) harus  dapat  melihat  ini  dalam  perspektif perlindungan perempuan.  Perkosaan tidak  hanya  melanggar  aturan  hukum tetapi lebih kepada pelanggaran integritas  kehormatan  perempuan.  Dari keseluruhan  perkara  yang  diputus  oleh hakim,  belum  ada  satupun  perkara  yang diputus dengan  ancaman  maksimal. Meskipun  dalam  fakta,  pelaku  terbukti bersalah. Pilihan  hakim ini  menurut penulis, belum  memihak  sepenuhnya terhadap perlindungan perempuan. "Merujuk  pada  pertimbangan  yang meringankan  dan  memberatkan,  dapat dianalisis bahwa   pemberian  sanksi hukum  faktor  yang  memberatkan  jauh lebih besar dibandingkan yang meringankan. Jika merujuk pada kenyataan tersebut idealnya sanksi hukum bagi pelaku perkosaan berada pada tingkatan berat." Tanpa mengurangi  penghargaan  terhadap  asas praduga tak bersalah, pertanyaan mendasar yang mengemuka, hal meringankan  apa  yang  digunakan  hakim untuk   tidak menjatuhkan ancaman maksimal.perlindungan perempuan.Â
Perspektif perlindungan perempuan kiranya penting dimiliki hakim, jika menelaah  suatu  perkara kekerasan seksual perempuan. "Kekerasan seksual terhadap perempuan dan  anak, hakikatnya  merupakan salah satu bentuk kekerasan   menunjukkan kerentanan posisi perempuan dan atau anak  terhadap  kepentingan  seksual  laki laki." Identifikasi perilaku seorang pelaku perkosaan adalah hasrat  seksual dan kekuasaan kendali perempuan sebagai sebuah objek.Â
Dalam hal pengaturan hukum, idealnya bukan hanya digolongkan  pada persoalan  susila seperti  yang  termuat dalam KUHP, namun tergolong kategori pelanggaran  hak  asasi.  "Perkosaan ditempatkan sebagai contoh perbuatan kriminalitas yang   melanggar HAM perempuan karena lebih memposisikan keunggulan diskriminasi  gender, yang mengakibatkan perempuan sebatas diperlakukan sebagai objek  pemuasan kepentingan biologis kaum laki-laki."Â
SIMPULAN DAN SARAN
Kejahatan-kejahatan yang termasuk sebagai kejahatan kesusilaan yaitu kejahatan kesusilaan yang berhubungan dengan masalah seksual, diatur dalam Buku III KUHP mulai Pasal 281 sampai dengan Pasal 299 sebagai berikut: kejahatan dengan melanggar kesusilaan, kejahatan pornografi, kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa, kejahatan pornografi dalam melakukan pencahariannya, kejahatan perzinahan, kejahatan perkosaan untuk bersetubuh, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15 tahun, kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan akibat luka luka, kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk dikawin, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan pingsan, yang umurnya belum 15 tahun, perkosaan berbuat cabul dan perbuatan cabul pada orang yang dalam keadaan pingsan atau umurnya belum 15 tahun, kejahatan perkosaan bersetubuh, kejahatan menggerakkan untuk berbuat cabul dengan orang yang belum dewasa, kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak tirinya dan lain-lain yang belum dewasa, kejahatan permudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, kejahatan memperdagangkan wanita dan anak lakilaki yang belum dewasa dan kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat digugurkan.
Kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.