Sengketa Wilayah di Laut China Selatan
Sengketa Laut China Selatan (LCS) yang masih terjadi hingga sekarang ini. Sengketa tersebut merupakan upaya memperebutkan kawasan laut serta wilayah kepulauan Paracel dan separately serta pulau tidak berpenghuni, atol dan karang yang ada di perairan Laut China Selatan. Sengketa  LCS ini dimulai semenjak tahun 1970, negara-negara yang besengketa seperti China, Malaysia, Brunei Darussalam, Taiwan, dan Vietnam yang masing-masing mengklaim sebagai bagian dari wilayah atau kedaulatan wilayah mereka.
Terdapat beberapa faktor wilayah ini diperubatkan pertama, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang mengandung 900 T kaki kubik gas alam dan 7 M barel minyak. Kedua, karena wilayah Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan dan pelayaran internasional yang menawarkan sumber prospketif baik produksi dan sitribusi yang bernilai $5 triliun dolar. Ketiga, karena ekonomi yang terus bertumbuh pesat di Asia serta letaknya yang strategis.
Karena memiliki nilai yang strategis setiap negara penuntut berusaha melindungi kepentingannya dengan memgambil tindakan dan manuver yang berbeda. Seperti  Amerika Serikat yang ikut terlibat dalam sengketa ini membuat semakin memanas. Seperti yang diketahui bahwa  China memiliki peta Sembilan garis putus-putus dalam upaya mengkalaim wilayah LCS sedangkan Amerika hadir dengan agenda freedom of Navigation Operation (FNOPS) sebagai bentuk perlawanan kepada China di wilayah tersebut.Â
Sejak tahun 1995 Amerika telah membuat arah kebijkan di Laut China Selatan ketika kerusuhan terjadi atas pendudukan China di Mischief Reef pada tahun 1994. Amerika tidak pernah mengklaim wilayah LCS dan juga tidak memiliki hak atas wilayah tersebut namun Amerika tahu bahwa LCS merupakan wilayah yang strategis dan sebagai bentuk politik kawasan di Asia. Â Bentuk Invansi Amerika serikat di LCS seperti melakukan kerjasama bilateral dan kolaboratif dengan negara-negara ASEAN seperti kerjasama ekonomi, politik, komersial, teknonologi dan keamanan dalam menghadapi China.
Dalam sengketa LCS Indonesia mulai terseret pada tahun 2010 karena China Mengklaim wilayah utara kepulauan Natuna, provinsi Kepulauan Riau yang merupakan perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia berdasarkan traditional fishing Zone. Indonesia mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari wilayah perairan dan kedaulatan berdasarkan United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) yang memberikan Indonesia hak berdaulat untuk mengeskplorasi sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Oleh sebab itu Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam kepemilikan wilayah Natuna. Walau demikian sengketa wilayah ini terus memanas terutama dengan dua kekuatan besar yang berada di wilayah tersebut yaitu Amerika dan China, tentunya akan membuat ketidakstabilan geopolitik kawasan.
Negara- negara yang terlibat terus bersaing untuk meningkatkan dominisasi di wilayah tersebut melalui kekuatan militer, seperti China melakukan latihan militer dengan Singapura pada tahun2020 dan melakukan latihan militer laut di Laut China Selatan pada tahun 2021. Selain itu juga Taiwan meningkatkan eskalasi kehadiran militer dengan menyiagakan angkatan udara dan persenjataan di pulau yang di duduki oleh Taiwan. Selain itu juga adanya kehadiran Inggris dan Francis sebagai sekutu AS yang juga ikut mengirimkan kapal di wilayah tersebut serta Jerman yang ikut mengirimkan kapal perang di LCS. Vietnam dan Filipina juga meningkatkan kekuatan militer di LCS seperti Vietnam yang membuat landasan pacu dan bunker serta Filipina yang akan meningkatkan kehadiran militer di LCS terutama untuk melindungi para nelayan.
Ancaman Sengketa LCS Bagi Kedaulatan Indonesia
Konflik Laut China Selatan ini tentunya memberikan ancaman bagi kedulatan Indonesia karena konflik ini terus memanas beberapa tahun terakhir. Ancaman nyata bagi kedulatan  Indonesia adalah tindakan klaim wilayah yang dilakukan oleh China untuk memperluas hegemoninya  melalui The Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang menyerempet wilayah Laut Natuna Utara yang merupakan wilayah territorial Indonesia. Ancaman yang diberikan oleh Tiongkok tentunya tidak akan berhenti karena selalu mengabaikan aturan hukum yang diterapkan oleh negara lain.
Indonesia dan China pernah bersitegang pada tahun 2013 hingga 2016, banyak kapal-kapal dari China memasuki wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia untuk melakukan sejumlah kegiatan illegal,unreported, and unregulated fishing (IUU Fhising). Pada 2021 China meminta Indonesia untuk berhenti melakukan pengeboran minyak dan gas alam alam maritim di laut Natuna Utara. Hal tersebut tentunya membuat ketegangan antara Indonesia dengan China terus berlanjut karena berupa ancaman bagi kedaulatan Indonesia di Natuna. China bersikeras dan mengklaim Natuna Utara merupakan wilayahnya berdasarkan penarikan sembilan garis putus-putus. Klaim yang dilakukan oleh china tersebut tidak memiliki dasar hukum menurut pengadilan abitrase permanen di Den Haag tahun 2016. Pada 31 Desember 2021 kapal China Haiyang Dizhi memantau area disekitar blok eslplorasi migas Indonesia. Indonesia berupaya berpegang teguh dengan hukum internasional  UNCLOS dan Indonesia tidak memerlukan negoisasi atau tindakan reaktif karena akan meningkatkan konflik.
Walau memiliki sengketa dengan China,Indonesia menggunakan pendekatan diplomasi dan negoisasi damai dalam megelola sengketa di laut China Selatan karena Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia. Selain itu Indonesia aktif melakukan finalisasi tata prilaku ( code of conduct) COC yang ditargetkan selesai pada 2025 untuk menghindari eskalasi dan meningkatkan mutual trust dan mutual confidence bagi negara-negara yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan.
Namun tentunya Indonesia harus tetap berhati-hati atas upaya yang dilakukan oleh China, seperti strategi Gray Zone dengan membangun pulau buatan dan meningkatkan kehadiran militer di wilayah Laut China Selatan. Kabar terbaru adalah China akan membangun trowongan yang menghubungkan Tiongkok dengan pulau-pulau buatan tersebut. Oleh karena itu selain memiliki ekonomi terbesar di dunia China juga memiliki kemajuan teknologi, tentunya sangat mengancam bagi negara-negara ASEAN yang sangat kurang dalam teknologi terutama Indonesia.
Salah satu hal yang harus dilakukan selain upaya diplomasi adalah meningkatkan keamanan maritim dan alutista yang memadai karena dalam hal ini Indonesia masih sangat kekurangan alutista dalam pengawasan. Indonesia sudah mulai membangun teknologi seperti ingin memproduksi drone yang bernama Elang Hitam sebagai tujuan militer untuk pertahanan dan kemanan. Namun salah satu Program Strategis Nasional (PSN) Presiden Joko Widodo pata tahun 2016, harus dihentikan karena Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengalihkan proyek pesawat tanpa awak tersebut karena dianggap memiliki banyak masalah teknis dan masalah kemitraan. Pupus harapan Indonesia memproduksi drone militer dalam negeri yang mana teknologi dalam militer sangat penting dengan melihat gejolak global yang tidak pasti  tentunya bisa mengancam kedulatan wilayah.Â
Penggunaan drone bisa bermanfaat dalam kemanan dan pengawasan laut karena drone sudah terbukti efektif dalam mengawasi dan memantau upaya akses yang tidak sah atau aktivitas yang illegal. Selain itu juga drone bisa menjadi patrol lautan dengan mengawasi perdagangan agar terhindar dari penyelundupan, pembajakan dan penangkapan ikan illegal.
Selain ancaman klaim wilayah oleh China, Indonesia juga terancam atas kekayaan lautnya karena banyak pelaut negara lain masuk dengan mudah mencuri hasil laut Indonesia. Keamanan laut Indonesia masih sangat lemah tercatat pada tahun 2019 masih terjadi pencurian ikan di Natuna dan pada tahun 2022, TNI angkatan laut (TNI AL) menangkap dua kapal ikan asing berasal dari Vietnam di perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang mencuri 15 ton ikan. Negara tetangga yang sering masuk kewilayah Indonesia dalam melakukan pencurian ikan seperti Filipina, Malaysia dan Vietnam.
Sengketa laut China Selatan ini tidak hanya ancaman atas klaim yang dilakukan oleh China kepada wilayah Natuna Utara sebagai wilayah kedaulatan Indonesia. Namun kehadiran pihak luar seperti AS Â dan para sekutunya menjadi ancaman bagi stabilitas geopolitik kawasan. Selain itu juga sumber daya alam terkandung di Natuna Utara juga terancam, karena negara-negara tetangga berupaya mengambil hasil laut seperti penangkapan ikan. Oleh sebab itu Indonesia perlu melakukan kebijakan strategis dalam mempertahankan kedaulatan dan menjaga stabilitas geopolitik di ASEAN.
Upaya Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan
Indonesia memiliki peran yang sangat penting di dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan yang melibatkan 4 negara ASEAN ( Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan adanya peran aktif Indonesia di antaranya: pada tahun 1990 Indonesia berperan di dalam sebuah workshop terkait resolusi konflik di laut china Selatan, pada tahun 2002, Indonesia sebagai negara inisiator di dalam membentuk Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea  (DOC) yang bermanfaat bagi negara-negara yang bersengketa di dalam menyelesaikan permasalahan yang ada, pada tahun 2019 Indonesia  membantu mendorong negara negara yang bersangkutan membahas kode etik laut China selatan melalui ASEAN dengan beberapa kali melakukan proses diplomasi.Â
Selain itu, pada masa pemerintahan Jokowi Indonesia juga mengirimkan beberapa bentuk perhatian terhadap konflik di laut Cina selatan melalui nota protes yang dikirimkan kepada Tiongkok pada tahun 2019 dan 2020 karena Indonesia menilai bahwa adanya coast guard Tiongkok di Natuna menjadi hal yang merugikan. Presiden Joko Widodo juga melakukan kunjungan ke Natuna untuk menggelar rapat cabinet terkait pertahanan di wilayah Natuna karena Indonesia menilai bahwa permasalahan yang terjadi di laut cina selatan merupakan permasalahan yang sangat serius. pada saat ini Indonesia berperan aktif menjaga kepentingan-kepentingan di kepulauan Natuna untuk menjaga stabilitas dan keamanan.
Blibliography
Hikmawan, E., Muhammad, F., Sahide, A., Sosial, J. I., & Humaniora, D. (n.d.). Kebangkitan Tiongkok Dalam Membendung Hegemoni Amerika Serikat: Studi Kasus Sengketa Laut China Selatan. http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/muqoddimah
Johannes, R. (n.d.). PENINGKATAN KETEGANGAN GEOPOLITIK DI LAUT CHINA SELATAN (INCREASING GEOPOLITICAL TENSIONS IN THE SOUTH CHINA SEA).
Mazza, P. I. (2021). Concepts of Sustainable Development; a Literature Review and a Systematic Framework for Connecting the Role of Education with the Sustainable Development Goals (SDGs). International Journal of Humanities, Social Sciences and Education, 8(8). https://doi.org/10.20431/2349-0381.0808009
Rimapradesi, Y., Nasution, S. N., Ahmad, S. T. M., & Fadel Muhammad. (2023). Sikap Indonesia Terhadap Krisis China Dan Amerika Serikat Di Laut China Selatan. Neoclassical Legal Review: Journal of Law and Contemporary Issues, 2(1), 42–46. https://doi.org/10.32734/nlr.v2i1.11610
Sulistyani, Y. A., Pertiwi, A. C., & Sari, M. I. (2021). Indonesia’s Responses amidst the Dynamic of the South China Sea Dispute under Jokowi’s Administration [Respons Indonesia di tengah Dinamika Sengketa Laut China Selatan di bawah Pemerintahan Jokowi. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 12(1), 85–103. https://doi.org/10.22212/jp.v12i1.2149
https://x.com/Fik_007/status/1796548658718191803
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H