Mohon tunggu...
Hafizh Bakri
Hafizh Bakri Mohon Tunggu... -

Seorang Hamba yang terus berprogres

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Kita Kini dan Nanti

8 Mei 2018   22:37 Diperbarui: 8 Mei 2018   23:14 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika Hari Pendidikan hanya dihiasi oleh kegiatan ceremonial, kuliah umum, seminar dan sejenisnya, maka dapat dikatakan penyelenggaraan Pendidikan hanya sekedar ceremonial - HBR

Gempita perayaan hari Pendidikan Nasional, memang begitu terasa hampir di setiap tahunnya, sehingga menimmbulkan pertanyaan dipikiran saya bahwa, apakah tujuan Pendidikan di negeri ini telah selesai dituntaskan ? atau ini hanya sebatas euphoria sejenak setelah capaian- capaian kecil pendidikan di Indonesia tercapai atau mungkin ini bentuk penghargaan kepada tokoh Pendidikan bangsa ini yang telah berjuang meletakkan fondasi pendidikan di negeri ini.

Saya hanya menerka-nerka saja, apa makna ceremonial hari Pendidikan yang kita rayakan sekarang, takutnya, penetapan 2 mei sebagai hari Pendidikan Nasional, hanya sebatas cerimonial saja, maka penyelenggaraan Pendidikan sehari-hari kita hanya sebatas ceremonial juga. Yang hanya bicara tentang upacara bendera, seminar, kuliah umum, lama belajar,

Padahal pendidikan begitu penting bagi setiap individu, Begitu pentingnya Pendidikan, bahkan Rasulullah SAW menyeru kepada umatnya untuk belajarlah dari buaian hingga liang lahat atau belajarlah sampai ke negeri China (Tiongkok). Terlepas apakah hadits itu sahih atau bukan, akan tetapi makna perkataan tersebut mengandung urgent nya Pendidikan bagi setiap insan.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa Pendidikan merupakan akselerator perubahan status seseorang di masyarakat, yaitu dengan Pendidikan (keilmuannya) seseorang mampu memperoleh pekerjaan (penghasilan) yang layak sehingga mampu meningkatkan status sosialnya. Tapi kali ini saya harus berpikir ulang, karena kalo penyelenggaraannya hanya sebatas ceremonial maka bisa dipastikan itu hanya membentuk manusia yang serba ceremonial juga. Dan  saya kurang yakin apakah para penyelenggara menyadari hal ini sebagai masalah atau tidak, tapi jika saya tanya pada anda semua apakah pendidikan kita hari ini bermasalah ?

Saya yakin anda semua, pasti menjawab yang sama dengan saya, karena kita memiliki sense of belonging yang besar terhadap negeri ini. Begitu banyak Problematika penyelenggaraan Pendidikan kita hari ini, mulai dari tingkat partisipasi pendidikan masih rendah, kurikulum yang tidak ajeg, roadmap pendidikan yang tidak terkonsep dengan matang, minat baca kita rendah, biaya Pendidikan yang mahal, sarana pendiidkan yang masih kurang baik , kualitas pengajar yang masih diluar ekspetasi bahkan gaji guru yang jauh dari kata manusiawi dan masalah lain sebagainya dan mayoritas masalah tersebut ada di ranah pendiidkan tinggi atau Universitas.

Universitas kita

Universitas merupakan tempat para calon pemimpin bangsa di masa depan di didik dan di dadak. hampir semua pemimpin dan creator perubahan negeri ini pernah menikmati bangku perkuliahan, walaupun ada pemimpin bangsa ini tidak merasakan bangku perkuliahan formal seperti Menteri Kelautan dan perikanan kita, Bu Susi Pudjiastuti. Tapi Beliau adalah satu dari sekian banyak orang special di negeri ini.

Pada abad ke-21 ini, universitas-universitas di Indonesia semakin tidak bertaring di kancah Asia, hal ini disebabkan karena kurangnya inovasi dalam banyak hal. Program studi dan fakultasnya itu-itu saja, mata kuliah dan materi yang diajarkan dari waktu ke waktu juga tidak banyak berubah, bahkan tidak ada yang baru (mengikuti perkembangan zaman). Pengajarnya hanya berasal dari situ-situ saja, dengan jenjang karir yang protektif, kurang kompetitif, bahkan menyapu bersih lawan politik atau berdeda background organisasi, sehingga kurang mendorong daya inovasi.

Banyak kampus di dalam negeri kita terdengar bagus, tetapi dunia Akademiknya terbelenggu dengan aturan yang kaku dan terjebak dalam birokrasi administratif belaka. Investasi terhadap teknologi selalu ketinggalan. Bahkan riset-riset yang dilakukan hanya menjadi kumpulan kertas yang hanya menghiasi lemari-lemari perpustakaan, yang sangat minim menghiasi kehidupan masyarakat.

Sementara itu, negara tetangga kita, yang secara historis pernah berguru dan mengimpor guru ke negaranya mampu menempatkan 5 universitasnya dalam daftar 50 universitas terbaik Asia versi QS tahun 2018, yaitu Universiti Malaya (UM), Universiti Putra Malaya (UPM), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Universiti Sains Malaysia dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Hal ini dikarenakan, semakin terbukanya kampus-kampus di Malaysia untuk menerima dosen dan mahasiswa mancanegara.

Hal ini terjadi juga di Bangalore, suatu kota di India yang menjadi kota terbesar kedua setelah Delhi, bertransformasi menjadi kota pusat teknologi di India, biar lebih gampang menjadi "Silicon Valley" nya India. Di Bangalore, perusahaan-perusahaan teknologi bukan lagi berorientasi merekrut tenaga kerja hanya dari India saja, akan tetapi mereka bermindset merekrut para professional yang terbaik di bidangnya, sehingga mendorong para professional dari seluruh dunia datang ke Bangalore, dan dampaknya wajar kalau produk dari Bangalore begitu kompetitif di industry teknologi dunia.

Memang akhir-akhir ini kita sering mendengar visi para rektor yang menamai kampusnya sebagai World Class University, termasuk kampus yang pernah menjadi tempat saya belajar. Akan tetapi, mengertikah kita bahwa visi itu mempunyai konsekeunsi yang harus ditunaikan ?, ini tanggung jawab dalam

Pertama, saya melihat bahwa hampir semua pengajar di universitas (khusunya dikampus saya) dicari dari almamaternya sendiri. Alasannya karena mereka lebih paham dengan kondisi internal kampus sehingga lebih mudah beradaptasi. Sehingga dari alasan tersebut menimbulkan kesan bahwa stuktur organisasi kampus begitu feodal, yang menutup datangnya para pengajar dari luar Almamatenya, Padahal, hakikat kelas dunia adalah minimal mencari pendidik terbaik di seluruh dunia. 

Tujannya yaitu mendapatkan yang terbaik dibidangnya seperti yang saya jelaskan di Bangalore, minimal bisa menambah insight baru bagi para mahasiswanya dalam memandang dunia, dengan segudang diversity pengalaman, pengetahuan dan latar belakang keilmuan yang dimiliki pengajar yang berada dari luar almamaternya. 

Disini bukannya saya pro para TKA,yang sekarang lagi rame dibicarakan, kan sah-sah saja sebenarnya kita pekerjakan TKA dengan keahlian yang mereka miliki, hal ini perlu dilakukan agar para pengajar di dalam negeri bisa terus belajar dalam meningkatkan kualifikasinya.

Kedua, mahasiswanya juga yang lokal-lokal juga, bahkan lokalnya, mayoritas dalam lingkup kota dan regional, kalo ada dari nasional, mayoritas ikut program kerja sama dengan PEMDA, dan short course masih menjadi pilihan favorit para mahasiswa luar negeri. Dan kita pasti tahu konsekuensinya, mulai dari sikap primordial mulai mewarnai aktivitas sehari-hari dan ada beberapa dosen yang mengajar pun terkadang memakai Bahasa daerahnya padahal nama kampusnya memakai nama "Indonesia" .

Ketiga, Pengeloloaan keuangan yang tidak professional, mayoritas pemasukan keuangan dari universitas di Indonesia bersumber dari pungutan ke mahasiswanya, sehingga tidak jarang mahasiswa hanya jadi "sapi perahan" para pemangku kebijakan dan tidak jarang mahasiswanya terancam di Drop Out (DO) juga. Kondisi ini menandakan para birokrat kampus tidak kreatif dalam mengelola sumber daya universitasnya. padahal universitas di Indonesia diberi otonomi dalam pengelolaan keuangannya dalam menunjang penyelenggaraannya apalagi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).  

Banyak yang mengetahui bahwa Harvard Unversity kampus dan memiliki biaya yang mahal dalam penyelenggaraan pendidikannya, akan tetapi tahu kah kita ternyata 65 % mahasiswanya menerima beasiswa sebesar US$ 46.000,- , bahkan keluarga yang kurang mampu dibebaskan dari uang kuliah. Hal itu dilakukan karena para pemangku kebijakan di Harvard University kreatif dalam pengelolaan keuanganya, dengan mengalirkan dana abadinya ke berbagai sektor keuangan dan riil, bahkan ada yang diinvestasikan dalam pembangunan infrastuktur dan energi di Indonesia. Yang keuntungannya dijadikan dana pengembangan universitas. Dan kita perlu belajar dari Harvard University yang merupakan salah satu kampus terbaik di dunia ini.

Masih banyak poin-poin penting yang akan saya sampaikan tentang universitas kita, yang insya ALLAH akan saya lanjutkan di tulisan selanjutnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun