Mohon tunggu...
Hafizhah Septi Wulandari
Hafizhah Septi Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung

Saya mempunyai hobi traveling, mempunyai kepribadian yang unik, dan menyukai konten gaya hidup dan makanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Secarik Kisah Serat Daluang

20 November 2024   13:20 Diperbarui: 20 November 2024   13:21 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketukan palu memecah kesunyian, kala sore itu. Terlihat seorang pria berambut panjang yang terkuncir, mengenakan kaos hijau tua bertuliskan "Kemudian aku mati sebagai anjing".

Dia bernama Ahmad Mufid Sururi, yang kerap disapa Mufid. Pria kelahiran Bandung, 19 Juni 1974 itu, tengah asik bergelut dengan batang kulit pohon saeh.

Ia sedang membuat secarik kertas yang disebut daluang.

Daluang merupakan salah satu kertas asli Indonesia yang terbuat dari kulit pohon saeh yang dikelupas. Terbentuk dari minimal dua lapis kulit pohon saeh atau lebih disatukan, kemudian dibentuk dengan teknik dipukul-pukul oleh alat khusus yang disebut pameupeuh.

Masih banyak orang yang tidak tahu soal daluang. Informasi tentang daluang sangat sedikit. Hal ini yang membuat Mufid ingin melestarikan daluang.

Kecintaan Mufid kepada daluang berawal kala ia dikenalkan oleh pemerhati serta pelestari kertas Daluang, bernama Tedi Permadi pada 2006. Semenjak itu, dirinya pun mulai belajar membuat daluang. Terlanjur sayang, kini Mufid bertekad melestarikan daluang.

Di Bali Daluang disebut ulantaga, kertas suci untuk keperluan upacara tertentu.

Karena setiap orang memiliki tingkat kebersihan tangan yang berbeda, menyentuh daluang bisa dianggap haram karena fakta bahwa jika ada seratus orang yang menyentuh daluang dengan tingkat kebersihan tangan yang berbeda, itu akan merusak keaslian daluang tersebut.

Salah satu cara membedakan kertas Daluang dan kertas lain yaitu jika diterawang terlihat seratnya utuh, berbeda dengan kertas daur ulang jika diterawang terlihat lebih datar. Perlakuan daluang tidak boleh dilipat, jika dilakukan, itu akan terlihat berbeda secara visual.

Kegunaan kertas Daluang sama seperti kertas lain yaitu dimanfaatkan sebagai media alat tulis dan gambar.

Kemajuan teknologi dan perubahan preferensi dalam bahan menulis dan pakaian dapat menyebabkan pengurangan penggunaan kertas daluang. Selain itu, kertas daluang sulit dibuat secara massal seperti kertas industri karena memerlukan proses yang panjang dan bahan baku yang unik.

Serat kayu daluang dari pohon saeh (paper mulberry), yang sangat baik untuk menyimpan informasi dan digunakan berulang kali, membuat kertas daluang sangat tahan lama.

Kehidupan sehari-hari yang menggunakan kertas daluang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memahami dan menghargai budaya kertas tradisional.

Meskipun kertas daluang tidak lagi digunakan secara luas, upaya untuk mengenal kembali dan melestarikannya sebagai warisan budaya Indonesia terus dilakukan.

Sepak terjangnya mempertahankan daluang  membuat Mufid dicap sebagai tukang Saeh oleh sebagian seniman di Kota Bandung. Bukan karena kecintaannya saja, cap yang didapat juga karena ia mengharamkan berbagai inovasi agar kelestarian Daluang tetap utuh. Sehingga prosesnya tetap asli pertama kali ditemukan.

Namun, profesi "tukang saeh" yang ia geluti bukan hanya memproduksi kertas daluang saja. Pohon saeh bisa digunakan pula untuk menghasilkan  pakaian juga barang kerajinan lainya seperti syal, hiasan dinding, alat musik, dan aksesoris lainnya.

"Menginformasikan bahwa saya sebagai tukang Saeh bukan penemu dan bukan penerus secara keturunan, tetapi meneruskan informasi atau budaya secara teknis yang memang zaman dulu dibuat," ungkapnya.

Berdasarkan  dokumen orang Amerika yang menelusuri daluang di Indonesia pada tahun 1927, saat itu hanya dijumpai tiga keluarga pembuat daluang, yaitu  di Madura, Ponorogo, dan Garut. Menurutnya kualitas daluang Madura paling bagus, yang kedua ada di Ponorogo dan yang ketiga dari Garut.

Orang Amerika menganggap daluang Madura sebagai yang terbaik karena terlihat diolah dengan baik. Mereka juga menganggap daluang Garut sebagai yang ketiga karena masih terlihat kasar.

Namun, bagi Mufid, masing-masing karakternya unik tergantung pada kebutuhannya. Mungkin lebih menarik yang bertekstur lebih kasar jika digunakan untuk karya seni.

Sekitar 1976-1977 informasi dan teknik pembuatan daluang mulai diperkenalkan kembali dan mulai menyebar bahkan bukan hanya di wilayah Jabar namun juga ke Jateng dan beberapa pelosok lain.

"Sangat disayangkan disaat daluang sudah mulai merebak lagi, mulai menyebar dan pelan-pelan sudah banyak dikenal akan tetapi keluarga yang merupakan akar dari pembuatan daluang saat ini sudah kembali mati," jelas Mufid.

Pernyataan tersebut diungkapkan untuk menjelaskan kondisi saat ini. Menurutnya beberapa tahun ini keluarga yang ada di Kp. Tunggilis Garut yang merupakan akar dari tradisi pembuatan daluang kini sudah tidak ada yang melanjutkan.

Kebanyakan pohon saeh di Indonesia berasal dari garut. Seperti di Jogja, Sampai Jatim, dan Bali, mereka berasal dari Garut.

Mufid pun hingga saat ini masih mempertahankan budaya teknik pembuatan daluang dengan tidak mengadopsi inovasi atau memperbaharui dengan teknologi.

"Bukan mengharamkan inovasi karena penting bahwa kita perlu mengenal akar," ujarnya.

Sejauh ini, lokasi yang berfokus pada membuat daluang di Indonesia hanya ada di Bogor, Lembang, Indramayu, Jogja, dan Wonogiri.

"Yang lainnya ada tapi tidak mengkhususkan membuat daluang, ada yang hanya sekedar bisa tapi tidak membuat," ujarnya.

Hilangnya regenerasi tersebut membuat Mufid merasa berat untuk tetap melestarikan daluang, dimulai dari ia suka menanam Pohon saeh diberbagai tempat.

Seperti Perpustakaan Ajip Rosidi, Kiara Lebe Pangalengan, Jalan Surapati no.223, Jalan Koperasi Raya no. 3.

Hal tersebut terus dilakukan guna menjadikan daluang tetap ada dan bermanfaat hingga ke generasi selanjutnya.

Dengan adanya tulisan ini, harapan Mufid bahwa daluang tidak akan mengalami nasib yang sama dengan tulisan yang ada di pakaiannya. Dia ingin daluang tetap hidup. Dan garut, yang merupakan akar dari daluang, mulai menyebar, memberi tahu masyarakat bahwa daluang merupakan budaya asli Indonesia yang harus dipertahankan keberadaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun