Pernyataan tersebut diungkapkan untuk menjelaskan kondisi saat ini. Menurutnya beberapa tahun ini keluarga yang ada di Kp. Tunggilis Garut yang merupakan akar dari tradisi pembuatan daluang kini sudah tidak ada yang melanjutkan.
Kebanyakan pohon saeh di Indonesia berasal dari garut. Seperti di Jogja, Sampai Jatim, dan Bali, mereka berasal dari Garut.
Mufid pun hingga saat ini masih mempertahankan budaya teknik pembuatan daluang dengan tidak mengadopsi inovasi atau memperbaharui dengan teknologi.
"Bukan mengharamkan inovasi karena penting bahwa kita perlu mengenal akar," ujarnya.
Sejauh ini, lokasi yang berfokus pada membuat daluang di Indonesia hanya ada di Bogor, Lembang, Indramayu, Jogja, dan Wonogiri.
"Yang lainnya ada tapi tidak mengkhususkan membuat daluang, ada yang hanya sekedar bisa tapi tidak membuat," ujarnya.
Hilangnya regenerasi tersebut membuat Mufid merasa berat untuk tetap melestarikan daluang, dimulai dari ia suka menanam Pohon saeh diberbagai tempat.
Seperti Perpustakaan Ajip Rosidi, Kiara Lebe Pangalengan, Jalan Surapati no.223, Jalan Koperasi Raya no. 3.
Hal tersebut terus dilakukan guna menjadikan daluang tetap ada dan bermanfaat hingga ke generasi selanjutnya.
Dengan adanya tulisan ini, harapan Mufid bahwa daluang tidak akan mengalami nasib yang sama dengan tulisan yang ada di pakaiannya. Dia ingin daluang tetap hidup. Dan garut, yang merupakan akar dari daluang, mulai menyebar, memberi tahu masyarakat bahwa daluang merupakan budaya asli Indonesia yang harus dipertahankan keberadaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H