Kasus kematian akibat wabah COVID-19 telah menembus 508.844 per 30 Juni, menurut survei secara live oleh Worldometer. Total yang terinfeksi telah menembus angka 10.435.321.Â
Demikian pula di Indonesia. Per 30 Juni, kasus positif COVID-19 di Indonesia menembus angka 56.385, dengan 2.876 kasus meninggal. Gelombang pertama virus COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir hingga semester pertama tahun ini ditutup. Berangkat dari permasalahan global diatas.
Hal yang sama juga dialami oleh negara superpower seperti Tiongkok. Posisi Tiongkok sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia sangat berimplikasi terhadap sektor perekonomian dunia, merosotnya ekonomi Tiongkok karena pandemi COVID-19 tentu saja berdampak terhadap perekonomian global.Â
Beberapa lembaga riset yang dinilai kredibel di dunia juga turut memprediksi dampak buruk atas penyebaran wabah ini terhadap ekonomi global. Untuk Indonesia sendiri, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memprediksi pertumbuhan ekonomi dalam skenario terburuk bisa mencapai minus 0,4% hingga 1%.
Diantara bentuk upaya yang dilakukan oleh dunia untuk mengurangi penyebaran wabah ini adalah dengan lockdown atau PSBB. Namun sayangnya, gerakan ini berpengaruh pada penurunan aktivitas ekonomi secara masif. Salah satu dampak diberlakukannya keputusan tersebut yakni menghambat arus lalu lintas perekonomian baik secara regional, nasional, hingga internasional.Â
Upaya Lockdown yang dicanangkan dibeberapa daerah untuk menghambat pandemi memang telah menyebabkan perekonomian menderita. Ekonomi mengalami kontraksi bahkan beberapa negara justru mengalami resesi, pengangguran meningkat pesat, jumlah penduduk miskin kian melonjak.Â
Tak ada pilihan kecuali membuka ekonomi, sembari menata sektor kesehatan untuk menekan angka kematian. Dalam ilmu ekonomi, apabila suatu variabel pendukung dalam proses produksi terhambat maka produksi tidak akan dapat berjalan dengan baik, seperti pasokan bahan baku produksi dan kegiatan operasional produksi lainnya tidak bisa berjalan akibat adanya pembatasan wilayah sehingga produksi menurun dan berpengaruh kepada tingkat pertumbuhan ekonomi.
Proses penurunan perekonomian yang timbul secara efek domino ini bukan hanya akan menimbulkan kekacauan sektor ekonomi riil, melainkan juga merusak kelancaran mekanisme pasar antara sektor permintaan dan penawaran agar dapat berjalan normal dan seimbang.
Sebagai negara dengan jumlah penganut agama Islam yang mayoritas, umat Islam di Indonesia dituntut dapat memberikan peran terbaiknya melalui berbagai bentuk kontribusi atau model filantropi dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah. Peran ini diharapkan dapat mengatasi pergerakan ekonomi yang cenderung berujung resesi dan terjadi pada seluruh lapisan masyarakat ditengah pandemi ini.
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019, bank syariah telah mampu menorehkan keuntungan sebesar Rp 5,5 triliun atau terjadi kenaikan sebesar 47 persen dari tahun sebelumnya. Bukan hanya itu, pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia juga sudah mampu menembus angka 6 persen berdasarkan data OJK atau sekitar Rp 513 triliun. Oleh karena itu, perbankan syariah mendukung upaya pemerintah untuk meminimalisir dampak yang disebabkan oleh pandemi ini dengan turut berperan lebih diantaranya melalui program pemberdayaan dan pembiayaan produktif kepada UMKM.
Bank syariah dan UMKM di masa pandemi
Kerugian yang disebabkan pandemi Covid-19 merambah pada seluruh sektor ekonomi yang akan membutuhkan waktu cukup panjang untuk memulihkan kembali seperti semula. Pandemi juga menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaannya. Berdasarkan data yang dikeluarkannya, ILO memperkirakan 6,7% atau setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu terkena dampak akibat pandemi secara global pada kuartal II. Pada awal tahun 2020, sebelum merebaknya wabah COVID-19, tingkat pengangguran global mencapai 190 juta. Kini, diperkirakan sekitar 81% dari 3,3 miliar pekerja global terkena dampak penuh atau sebagian. Namun, sektor yang mengalami kerugian terbesar adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara lain yang ikut terdampak wabah tersebut.
Industri UMKM adalah yang sektor yang paling terpuruk akibat perlambatan ekonomi yang disebabkan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa kota di Indonesia. Banyak dari mereka yang tetap berjuang untuk bertahan agar tetap beroperasi sama seperti negara Singapura yang notabene kegiatan ekonomi nya berfokus pada sumber pengelolaan perdagangan jasa maupun industri manufaktur, apabila terjadi hambatan pada sektor tersebut maka yang akan terjadi dapat menimbulkan resesi atau krisis finansial suatu negara.
Bahkan, banyak industri UMKM yang terpaksa merumahkan karyawan mereka atau memaksa mereka untuk cuti tanpa gaji. Menurut data yang diperoleh dari Kementerian Ketenagakerjaan, total pekerja yang telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai tiga juta pekerja lebih per tanggal 8 Mei 2020.
Untuk menstimulus keadaan perekonomian ditengah pendemi ini khususnya sektor UMKM, pemerintah melalui OJK telah menerbitkan POJK No 11/POJK.03/2020 untuk memberikan relaksasi terhadap nasabah perbankan, termasuk perbankan syariah di dalamnya, yaitu memberikan kemudahan proses restructuring dan rescheduling untuk nasabah yang terdampak penyebaran virus Covid-19 khususnya nasabah sektor UMKM atau non-UMKM yang memiliki pembiayaan di bawah Rp 10 miliar, berlaku satu tahun ke depan bergantung pada kebijakan masing-masing bank syariah.
Di antara peran yang bisa diambil bank syariah sebagai bentuk kepedulian atau solusi terhadap ekonomi dan keuangan sosial Islam kepada nasabah pada masa pandemi, antara lain:
Pertama, memberikan penundaan pembayaran angsuran murabahah ataupun sewa di akad ijarah dan musyarakah mutanaqishah (antara 6-9 bulan) bagi nasabah yang terdampak pandemi, baik dampak secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan untuk pembiayaan yang menggunakan akad mudharabah, musyarakah, dan wakalah, pembayaran bagi hasil dapat ditunda atau ditiadakan.
Kedua, memberikan kelonggaran fasilitas restrukturisasi atau panjadwalan ulang kepada nasabah yang terdampak khususnya pada akad ijarah dan musharakah mutanaqishah sehingga biaya sewa yang dibebankan kepada nasabah bisa lebih kecil daripada biasanya. Hal ini dengan catatan untuk pembiayaan dengan akad murabahah, harga tidak boleh diubah dari kesepakatan awal. Artinya, keuntungan bank akan tetap. Namun, untuk akad ijarah dan sejenisnya dan akad musharakah mutanaqisah, biaya sewa bisa disesuaikan dengan keadaan dan kesepakatan bersama antara bank syariah dan nasabah dengan catatan keduanya saling menerima.
Ketiga, zakat perusahaan, karyawan dan pemegang saham. Sesuai dengan anjuran Islam, porsi zakat yang wajib dikeluarkan setiap bulannya kepada setiap individu harus segera dialokasikan kepada yang mustahik. Sebaiknya bank syariah dan pemegang saham mengeluarkan zakat perusahaannya (zakat maal) sebesar 2,5 persen untuk membantu masyarakat ekonomi lemah dan disalurkan ke lembaga zakat negara maupun swasta profesional. Hal ini dilakukan sebagai wujud ketaatan suatu bank kepada prinsip syariah.
Keempat, dana akun kebajikan. Mendistribusikan seluruh dana pada charity account (akun kebajikan) yang mana dana tersebut berasal dari denda telat bayar para nasabah ataupun perjanjian yang tidak sesuai syariah untuk dialokasikan ke pos penanganan Covid-19 dan tidak dimasukkan ke dalam akun pendapatan operasional.
Kelima, dana CSR. Bank syariah juga harus mempertimbangkan untuk mendistribusikan dan mengalokasikan tahunan seluruh dana CSR mereka untuk penanganan pandemi, pembagian sembako, dan alat kesehatan untuk masyarakat yang membutuhkan. keuntungan bank bank syariah juga harus didistribusikan beberapa persen dari keuntungan mereka pada 2019 untuk penanganan penyebaran Covid-19.
Keenam, pemberdayaan sekaligus penguatan sektor filantropi Islam lainnya yang dapat membantu penyaluran bantuan langsung tunai yang berasal dari zakat, infak dan sedekah, baik yang berasal dari unit-unit pengumpul zakat maupun dari masyarakat. Khusus untuk zakat yang bersifat tunai, penyalurannya dapat difokuskan kepada orang yang berhak menerima yang terdampak COVID-19 secara langsung, sebagai salah satu yang berhak menerimanya (mustahik) baik bantuan sembako maupun bantuan yang bersifat produktif untuk dapat bertahan pada kondisi saat ini. Poin ini adalah salah satu skema filantropi Ekonomi Islam yang memiliki dampak sekaligus potensi yang  besar bagi perekonomian masyarakat. Namun kenyataannya, realisasi zakat yang masuk ke Baznas masih jauh dari harapan. Untuk itu, penguatan kampanye dana zakat, infak, dan sedekah dapat terus digiatkan agar masyarakat dapat menilai bahwa peranan bank syariah terhadap aspek sosial dan kemanusiaan itu tetap sesuai dengan yang diajarkan oleh Alquran dan sunnah.
Selain itu, bank syariah diharapkan mampu menghadirkan produk yang memberikan social impact yang lebih di masa pandemi ini sebagai solusi atas guncangan perekonomian global ini, bukan hanya fokus pada profit maximization. Sesuai dengan trek rekord yang telah dilampaui oleh bank syariah, bank syariah mampu menghasilkan pertumbuhan keuntungan yang besar dibandingkan tahun sebelumnya. Jadi tidak ada salahnya pada tahun ini fokusnya pada pemulihan ekonomi dan membantu para nasabah yang terdampak dengan harapan agar kondisi perekonomian negara ini dapat recovery dan pulih sehingga kondisi UMKM pun dapat berjalan kembali seperti sebelum adanya pandemi covid-19 ini.
Tetap berkarya walaupun dari rumah, terimakasih sahabat pena..... salam pena dari Sumatera Utara.
Sumber : www. Republika.id
          www. Kemenkeu.go.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI